- Hutan mangrove di Asia Tenggara masih menghadapi risiko konversi lahan untuk perkebunan sawit, tanaman pangan, dan akuakultur.
- Deforestasi yang didorong produk komoditas serta berbagai risiko terkait perubahan iklim bakal mengancam 85% hutan mangrove di wilayah ini yang secara potensial dapat mendukung proyek kredit karbon.
- Dengan harga pasar saat ini, kredit karbon biru kemungkinan hanya akan menghasilkan pendapatan lebih besar daripada produksi komoditas di 37% area mangrove di Asia Tenggara.
- Para peneliti merekomendasikan mekanisme pendanaan konservasi yang beragam, bukan hanya mengandalkan kredit karbon biru, tetapi dari investasi dana publik, program hibah, dan keterlibatan swasata
Sebuah studi baru yang dipimpin Valerie Kwan, peneliti di University of Queensland, Australia, menunjukkan bahwa 1,8 juta hektar, atau 85%, dari hutan mangrove di Asia Tenggara yang dianggap layak untuk investasi kredit karbon biru berisiko mengalami kerusakan akibat ekspansi sawit, perluasan tanaman pangan, dan akuakultur dalam 25 tahun ke depan.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Communications Earth & Environment ini menyimpulkan bahwa tekanan-tekanan itu bakal merusak integritas kredit karbon biru sebagai cara untuk mendanai konservasi.
Menurut para penulis, hal ini dapat membuat para pembuat kebijakan akan lebih sulit untuk mewujudkan potensi sebenarnya dari mangrove dalam mitigasi tantangan global keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
“Ini semacam kenyataan, bahwa pasar karbon tidak dapat diandalkan untuk pelestarian mangrove,” kata kolega penulis studi, Yiwen Zeng, seorang ilmuwan konservasi di Nanyang Technological University di Singapura, kepada Mongabay.
Dalam studinya, Kwan dan rekan-rekannya menemukan bahwa risiko terkait penggunaan lahan dan perubahan iklim berpotensi membahayakan 15,9 juta metrik ton penyerapan karbon setiap tahun. Belum lagi hilangnya habitat satwa liar yang penting, perikanan, dan perlindungan pantai yang juga disediakan oleh mangrove.

Studi ini pun menemukan bahwa terdapat 4,7 juta hektar hutan mangrove di Asia Tenggara, dengan sekitar 45% sebenarnya berpotensi memenuhi syarat untuk proyek pendanaan karbon. Syaratnya, hanya jika dapat memenuhi syarat mereka berada dalam ancaman langsung kehancuran jika tidak dilindungi oleh intervensi konservasi.
Kelayakan kredit ini, biasanya dibeli oleh perusahaan untuk mengimbangi emisi mereka, tergantung pada apakah hutan mangrove tersebut dapat tetap utuh sehingga dapat menyimpan karbon dalam biomassa atau sedimen.
Mangrove dapat menyimpan gas rumah kaca hingga lima kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis biasa, menjadikannya sebagai fokus utama dalam kredit karbon biru. Di Asia Tenggara, ancaman terbesar konversi adalah akuakultur, yang diikuti pembukaan perkebunan sawit, cetak sawah, secara khusus di Indonesia, Kamboja, dan Filipina.

Dapat Mengurangi Separuh dari Emisi Tahunan
Sebagai rumah bagi sepertiga mangrove di dunia, Asia Tenggara, – yang menyumbang sepertiga dari total emisi penggunaan lahan global, memiliki potensi besar untuk menyimpan gas rumah kaca di ekosistem padat karbon ini.
Namun, deforestasi akibat lahan komoditas, ancaman bencana siklon, dan kenaikan permukaan laut sangat membahayakan kemampuan wilayah ini untuk mengandalkan mangrove sebagai solusi berbasis alam untuk perubahan iklim.
Sebuah studi terpisah yang dipimpin Sigit Sasmito, peneliti di James Cook University, Australia, menunjukkan bahwa melestarikan dan memulihkan mangrove serta lahan gambut di Asia Tenggara maka akan dapat mengurangi separuh emisi tahunan dari penggunaan lahan di wilayah tersebut dan mengurangi emisi global dari penggunaan lahan sekitar 16%.
Ini amat mengesankan mengingat ekosistem ini hanya mencakup 5,4% dari luas daratan Asia Tenggara.
“Dengan berinvestasi dalam konservasi lahan gambut dan mangrove, Asia Tenggara dapat menjadi contoh dunia dalam menerapkan solusi berbasis alam yang efektif secara biaya, memberikan manfaat iklim, serta keanekaragaman hayati yang berkelanjutan,” sebut Sasmito.

Apakah Kredit dan Pembayaran Karbon Efektif?
Meskipun kredit karbon dan pasar karbon telah banyak dikritik oleh komunitas konservasi sebagai pengalih perhatian bagi perusahaan yang seharusnya menghilangkan emisi gas rumah kaca dari seluruh aktivitas mereka. Namun, kredit karbon juga diakui sebagai cara untuk mengalirkan pendanaan yang sangat dibutuhkan ke arah konservasi.
Kwan dan rekan-rekannya menghitung bahwa pada harga pasar saat ini, kredit karbon biru kemungkinan hanya akan menghasilkan pendapatan lebih besar daripada produksi komoditas di 37% area mangrove yang dapat diinvestasikan di Asia Tenggara.
Bahkan dengan harga USD 200 per metrik ton karbon yang diserap, atau hampir tujuh kali lipat dari tarif yang digunakan dalam studi, kredit karbon biru tidak dapat menutupi seluruh biaya konservasi.
Untuk itu opsi pendanaan konservasi akan sangat penting, tutur Zeng. Opsi pendanaan campuran yang menggabungkan investasi publik, dana hibah, dan dana swasta adalah jalur yang menjanjikan, tambahnya.
“Kombinasi intervensi kebijakan dan penggabungan berbagai layanan ekosistem bersama dengan potensi mitigasi karbon atau perubahan iklim mungkin dapat menarik lebih banyak investasi dan dukungan,” kata Zeng.
Dengan dana yang cukup para pembuat kebijakan dapat mengatasi ancaman deforestasi dengan menyelaraskan kebijakan penggunaan lahan dengan tujuan iklim dan keanekaragaman hayati, serta memastikan keadilan manfaat bagi masyarakat lokal.
Meski memiliki garis pantai yang dipenuhi hutan, misalnya, Malaysia, Papua Nugini, dan Myanmar secara formal hanya melindungi kurang dari 5% mangrove mereka, menurut laporan 2024 State of the World’s Mangroves oleh Global Mangrove Alliance.
Sementara itu, Indonesia, yang menjadi rumah bagi seperlima mangrove dunia, hanya melindungi 15% mangrove mereka.
“Dunia sedang bergerak untuk melindungi 30% dari area daratan dan laut pada tahun 2030 dan saya percaya hutan mangrove adalah tempat yang baik untuk memulai, karena mereka memiliki semua layanan ekosistem dan harus jadi prioritas untuk konservasi,” tutupnya.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 25 Februari 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Kwan, V., Friess, D. A., Sarira, T. V., & Zeng, Y. (2025). Permanence risks limit blue carbon financing strategies to safeguard Southeast Asian mangroves. Communications Earth & Environment, 6(1). doi:10.1038/s43247-025-02035-4
Sasmito, S. D., Taillardat, P., Adinugroho, W. C., Krisnawati, H., Novita, N., Fatoyinbo, L., … Lupascu, M. (2025). Half of land use carbon emissions in Southeast Asia can be mitigated through peat swamp forest and mangrove conservation and restoration. Nature Communications, 16(1). doi:10.1038/s41467-025-55892-0
Zeng, Y., Friess, D. A., Sarira, T. V., Siman, K., & Koh, L. P. (2021). Global potential and limits of mangrove blue carbon for climate change mitigation. Current Biology, 31(8), 1737-1743.e3. doi:10.1016/j.cub.2021.01.070
***
Foto utama: Mangrove Bangko Tappampang, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan seluas 51,55 hektar, kawasan ini terancam antara lain oleh industri arang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia