- Kementerian Kehutanan mengajak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kerjasama antara lain soal penertiban dan pengawasan termasuk ajakan memanfaatkan kawasan hutan dalam mendukung program ketahanan pangan dan energi. Berbagai kalangan mengkritik dan menilai pemerintah luput memahami masalah dasar pangan dalam negeri, dan berisiko menggusur masyarakat adat dan petani skala kecil.
- Eko Cahyono, Sosiolog Pedesaan, menyebut, pemerintah memiliki logika yang bengkok. Pasalnya, krisis pangan yang selama ini jadi alasan pemerintah berkonsentrasi dengan program tersebut tidak mungkin dijawab dengan keterlibatan Polri, bahkan TNI.
- Abdon Nababan, Pejuang masyarakat adat, menilai, keterlibatan Polri dalam memanfaatkan hutan merupakan skenario yang dibuat pemerintah untuk mengundang bencana. Pasalnya, masyarakat adat dan komunitas lokal bisa jadi pihak yang paling dirugikan.
- Sandrayati Moniaga, pegiat HAM dan masyarakat adat mengatakan, saat duduk di Komnas HAM, banyak warga adukan polisi ke Komnas HAM.
Kementerian Kehutanan mengajak Kepolisian (Polri) kerjasama antara lain soal penertiban dan pengawasan termasuk ajakan memanfaatkan kawasan hutan dalam mendukung program ketahanan pangan dan energi. Berbagai kalangan mengkritik dan menilai pemerintah luput memahami masalah dasar pangan dalam negeri, dan berisiko menggusur masyarakat adat dan petani skala kecil.
Pintu bagi Polri itu Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan (Menhut), lontarkan saat penandatanganan nota kesepahaman dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Dilansir Tempo.co, Raja berharap akan ada penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara Kapolda dengan UPT Dinas Kehutanan di daerah untuk mengidentifikasi lahan yang bisa jadi cadangan pangan dan energi.
Eko Cahyono, periset dari Sajogjo Institute, menyebut, pemerintah memiliki logika bengkok. Pasalnya, krisis pangan yang selama ini jadi alasan pemerintah berkonsentrasi dengan program tidak mungkin terjawab dengan keterlibatan Polri, bahkan TNI.
“Kalau memang masalah krisis pangan, apakah jawabannya dengan ekstensifikasi? Buka lahan baru lagi?”
Padahal, katanya, secara ketersediaan lahan, sumber pangan dan cetak sawah masih dalam kategori cukup hingga yang perlu sebenarnyamemastikan keamanan daerah-daerah itu.
Sayangnya, konversi kawasan produktif pangan malah masif. “Di luar Jawa, desa mandiri pangan berubah jadi desa tambang dan desa sawit. Di Jawa, konversinya untuk infrastruktur,” katanya.
Lebih parah, kalau menggusur lahan pertanian subur di Jawa, lalu membuka lahan untuk pengembangan pangan skala besar (food estate) di Merauke.
“Logikanya bengkok sekali.”
Dia bilang, pemerintah tak melihat masalah dasar petani dalam menyediakan pangan. Akses pupuk dan benih yang petani hadapi, tidak akan nyambung kalau mereka jawab lewat membuka hutan dengan melibatkan Polri/TNI.
“Jadi sebenarnya buka wilayah baru, buka sawah baru, itu untuk siapa sih?”
Menurut Eko, melibatkan Polri /TNI mengelola hutan demi pangan, sama saja dengan membawa negara kembali ke era sebelum reformasi. Dia sebut Menhut memfasilitasi kembalinya militer di sektor kehutanan secara legal.
Hal ini, katanya, mengancam demokrasi secara gamblang. Pasalnya, prinsip kesetaraan jadi hilang ketika polri, dengan persenjataan yang lengkap, berhadapan dengan masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan.
“Keberadaan mereka di sektor yang bukan wilayahnya, membuat tidak ada kesetaraan.”
Sementara, kata dia, pendekatan kepolisian selalu berdasarkan hukum positif. Dengan demikian, mereka akan menang ketika mereka berhadapan dengan masyarakat adat atau komunitas lokal yang selama ini hak kelolanya tidak diberikan oleh negara.
Masyarakat yang melawan, akan berujung kriminalisasi.
“Dulu ketika belum dilegalkan, polanya seperti itu. Sekarang kebayang kan bagaimana kalau dilegalkan?”
Pelibatan Polri dalam sektor pangan juga dinilainya sebagai cara negara menunjukkan program prioritas. Dengan demikian, tiap orang atau kelompok masyarakat yang kontra, akan dituding melawan negara.
Hal ini berbahaya. Pasalnya, negara semakin menunjukkan otoritarian dan memfabrikasi narasi tunggal yang menyempitkan tafsir nasionalisme.
“Ini yang kita khawatirkan. Ada tafsir tunggal, dan bisa memicu militerisme agraria.”

Ancam masyarakat adat
Abdon Nababan, tokoh gerakan masyarakat adat, menilai, keterlibatan Polri dalam memanfaatkan hutan merupakan skenario pemerintah yang rawan mengundang bencana. Pasalnya, masyarakat adat dan komunitas lokal bisa jadi pihak paling dirugikan.
Hal ini mengacu pada kawasan hutan dengan status masih abu-abu berdasarkan Keputusan MK 45/2011. Karena penetapan kawasan hutan belum ada tata batas dan kesepakatan dengan para pihak, termasuk masyarakat adat.
“Masyarakat adat dan komunitas lokal yang kawasan hutannya belum berkekuatan hukum tetap akan jadi korban. Artinya, politik akan dominan, bukan hukum. Ini ancaman serius terhadap masyarakat adat.”
Dia khawatir, terhadap kekerasan yang bisa timbul ketika kepolisian masuk memanfaatkan hutan. Masyarakat adat dan komunitas lokal tidak memiliki kapasitas bertahan menghadapi kehadiran polisi dan tentara.
Polisi atau tentara, katanya, tak memiliki profesionalitas untuk mengelola hutan. Mereka merupakan alat untuk mempertahankan negara dan mengamankan situasi.
“Saya berpikir, horor orde baru akan lebih parah ketika polisi dan tentara masuk hutan,” ucap pria yang pernah jadi Sekjen AMAN 2007-2017 itu.
Sandrayati Moniaga, pegiat HAM dan masyarakat adat, mengatakan, saat duduk di Komnas HAM, warga banyak adukan polisi ke Komnas HAM.
“Bukan berarti salah, tapi de facto, paling banyak diadukan,” katanya.
Untuk kasus perampasan tanah, penyerobotan lahan oleh perusahaan yang masyarakat adat atau komunitas lokal di sekitar hutan laporkan ke kepolisian kerap tidak mendapat respons positif. Yang ada, sebaliknya. Kepolisian lebih merespons aduan pengusaha untuk mengusir masyarakat adat.
Fakta ini, katanya, seharusnya Raja Juli pikirkan saat mengajak Polri/TNI memanfaatkan hutan. “Secara logika, bisa enggak mereka menjamin bahwa hak masyarakat dilindungi?” kata Sandra, sapaan akrabnya.
Masyarakat adat, katanya, sudah lama sebagai produsen pangan. Keterlibatan polisi dan tentara, kata Sandra, tak boleh menggusur mereka.
Dia menilai, pengalaman Raja Juli sebagai mantan Wakil Menteri ATR/BPN seharusnya bisa mendorong pemahaman terkait akar masalah klaim sepihak negara atas kawasan hutan era orde baru. Seharusnya, Raja fokus dalam membenahi akar masalah itu.
Merangkul TNI/Polri ke kehutanan, katanya, sama dengan melanggengkan masalah itu. “Kalau dia dari PSI idenya adalah mengikuti Jokowi (Joko Widodo), ya jalankan ide Jokowi, memberikan tanah dan pengakuan pada masyarakat.”

Jalankan reforma agraria
Keterlibatan polri/TNI di kehutanan seharusnya lebih fokus pada reforma agraria sejati. Sandra bilang, Komnas HAM pernah lakukan Inkuiri Nasional yang menyimpulkan ada kekeliruan hukum dan perundangan. Pemerintah sepakat melakukan perubahan.
“Melibatkan TNI/Polri itu harusnya untuk mengusir para perampas tanah kan?”
Dia berharap, tidak ada kekerasan jika ide Raja Juli terimplementasi. Menurut dia, perlu ada dialog berbagai pihak untuk menjalankan ide ini.
“Menurut saya semua harus kembali ke konstitusi, kembali pada tugas pokok masing-masing.”
Eko Cahyono menilai, masyarakat sipil perlu menciptakan tafsir tandingan prioritas-prioritas negara. Hal ini untuk melawan nasionalisme sempit yang pemerintah hembuskan. Antara lain dengan mendorong isu pendidikan, kesehatan dan lainnya sebagai persoalan bangsa yang juga tidak kalah penting. “Dengan demikian, fokus dan sumber daya pemerintah bisa diarahkan ke sana.”
Untuk isu pangan, harus mendorong tafsir kerakyatan. Selama ini, tafsir pemerintah terhadap pangan melalui industri skala besar.
“Pangan untuk rakyat yang harus kita dorong ya diversifikasi produk. Kalau padi semua, itu akan berujung pada gastro kolonialisme.” (Bersambung)
******

Aturan Penertiban Kawasan Hutan Libatkan Militer Tuai Kritik