Menyoal Kebun Sawit di Lahan Gambut Kalteng

1 week ago 19
  • Tata kelola lahan gambut dan hutan di Kalimantan Tengah masih buruk. Pasalnya, deforestasi dan kerusakan gambut terus terjadi tiap tahun dampak perubahan tata guna lahan dan aktivitas perusahaan.
  •  Studi terbaru Pantau Gambut dan Kaoem Telapak bertajuk ‘Melacak Jejak Pengelolaan Gambut: Ancaman, Konflik, dan masa Depan Berkelanjutan’ memperlihatkan fenomena ini.  Kajian ini melihat praktik tiga  perusahaan sawit di Pulang Pisau dan Kapuas.
  • Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, menyebut perusahaan ini sebagai residivis. “Berulang kali dapat teguran dan terus melakukan kerusakan.” 
  • Ziadatunnisa Latifa, Juru Kampanye Kaoem Telapak, menyebutkan, salah satu perusahaan, BCMP tidak melaporkan pemilik manfaat (beneficiary owner) sejak tahun 2021. Padahal ini kewajiban ini termaktub dalam Pasal 18 dan Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Transparansi Pemilik Manfaat Korporasi. 

Tata kelola lahan gambut dan hutan di Kalimantan Tengah masih buruk. Pasalnya, deforestasi dan kerusakan gambut terus terjadi tiap tahun dampak perubahan tata guna lahan dan aktivitas perusahaan.

Studi terbaru Pantau Gambut dan Kaoem Telapak bertajuk ‘Melacak Jejak Pengelolaan Gambut: Ancaman, Konflik, dan masa Depan Berkelanjutan’ memperlihatkan fenomena ini. Kajian ini melihat praktik tiga perusahaan sawit di Pulang Pisau dan Kapuas.

Di Pulang Pisau, ada PT Agrindo Green Lestari (AGL) dan Citra Agro Abadi (CAA). Keduanya diduga sengja melakukan kanalisasi untuk pengeringan gambut. Padahal, kawasan berada dalam fungsi indikatif gambut lindung. 

“Perusahaan-perusahaan ini jika dalam istilah narapidana sudah residivis,” kata Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut, dalam peluncuran studi, akhir Februari lalu.

“Berulang kali dapat teguran dan terus melakukan kerusakan.” 

Tahun 2017, AGL mendapat perintah Dirjen Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mewajibkan perusahaan mengambil langkah pencegahan atau pemulihan lingkungan terkait kebakaran hutan dan lahan di konsesi mereka antara 2015-2019. 

Tidak lama, perusahaan ini malah kembali kena sanksi administrasi karena kebakaran berulang pada 2018.

Karena tidak mematuhi, pemerintah cabut izin kedua anak usaha Ciliandry Anky Abadi Group ini berdasarkan arahan presiden dalam rapat kabinet terbatas mengenai pengendalian izin pertambangan, kehutanan dan pertanahan.

Pencabutan izin pelepasan kawasan hutan AGL tercantum dalam SK No. 568/MENHUT/II/2014 seluas 8.834,16 hektar, sedangkan CAA berdasarkan SK No. 5/1/PKH/PMDN/2016 seluas 8.920,18 hektar.

AGL dan CAA memiliki luas konsesi masing-masing 8.968,2 hektar dan 9.256,2 hektar yang awalnya  hutan produksi konversi (HPK) yang berubah jadi  areal peggunaan lain (APL). 

Analisis tutupan lahan Pantau Gambut dan Kaoem Telapak menunjukkan, daerah itu dominan tanah terbuka. Sisa areal hutan di AGL 4.333,5 hektar dan CAA 5.111 hektar.

Meskipun demikian, data Palmoil.io justru menunjukkan masih ada aktivitas pembukaan lahan pasca sanksi. Deforestasi terdeteksi di lahan AGL di Desa Kasali Baru, Kecamatan Banama Tingang, estimasi sekitar 130 hektar pada November 2023. Di CAA,  deforestasi terjadi di Desa Lawang Uru, Kecamatan Banama Tingang, sekitar 55 hektar pada September 2022.

Menurut Wahyu, kasus ini menunjukkan awetnya masalah tata kelola sawit dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Penegakan hukum yang tidak berdampak signifikan ini pun harus jadi perhatian  lebih lanjut.

“Izin dicabut tapi kemudian di lapangan beroperasi, ada banyak hal berarti yang tidak teridentifikasi, termasuk dalam konteks keuangan negara. Karena, jika nanti terjadi bencana seperti kebakaran yang lebih banyak keluar dan melakukan upaya tanggap darurat kan itu juga dari duit publik.”

Dua plang perusahaan perkebunan kelapa sawit berbeda di sebuah lahan. Plang pertama mengklaim tanah tersebut milik PT. Citra Agro Abadi dengan HGU No: 15.09.00.00.2.00022. Plang kedua menyatakan bahwa tanah tersebut dalam pengawasan kantor hukum Myisi Law Firm dan dikuasakan kepada pengacara Mylane Lubis, SH dan Bagoes W. Hernanto, SH. Foto: Dokumentasi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak.

Di Kabupaten Kapuas, ada PT Bangun Cipta Mitra Perkasa (BCMP). Laporan itu menyebut, sekitar 1.636 hektar dari 13.063,9 hektar konsesi dalam kawasan gambut fungsi lindung. 

Perusahaan ini juga residivis kebakaran. Pada  2015, area terbakar mencapai 6.271 hektar. Di  2023, Greenpeace juga mencatat karhutla di konsesi BCMP mencapai 8.928,6 hektar.

Selain itu, perusahaan ini terbukti tidak melaksanakan kewajiban pemulihan fungsi ekosistem pada area yang terbakar. Padahal, Pasal 6 dan Pasal 19 Permen LHK Nomor 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, mengharuskan pelaku usaha bertanggung jawab atas pemulihan itu.

Ziadatunnisa Latifa, Juru Kampanye Kaoem Telapak, mengatakan, BCMP juga tak  melaporkan pemilik manfaat (beneficiary owner) sejak 2021. Padahal, kewajiban ini termaktub dalam Pasal 18 dan Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 13/2018 tentang Transparansi Pemilik Manfaat Korporasi. 

Data perusahaan ini pun tidak ada dalam administrasi hukum umum (AHU), hingga dugaan ada pelanggaran administratif serius.

“Mereka tidak melaporkan pemilik manfaat pada Ditjen AHU padahal sudah diatur setiap korporasi itu wajib,” katanya.

Selain itu, ada  tumpang tindih perizinan di dalam konsesi BCMP dengan lahan eks proyek lahan gambut (PLG) yang masuk proyek  food estate  padi

Meskipun tidak ada operasional perkebunan, namun  kebun sawit di area itu menunjukkan risiko pelanggaran terhadap peruntukan lahan yang  pemerintah tetapkan. Pengembangan food estate di Kalimantan Tengah berada di area of interest (AoI), dengan prioritas wilayah di  eks-PLG. 

Konflik dengan masyarakat adat

Kajian mereka juga menemukan dugaan sengketa hingga  intimidasi  masyarakat adat dan tumpang tindih perizinan. Salah satu insiden yang viral, ketika masyarakat adat menyegel Kantor CAA di Jalan Argopuro, Palangka Raya, saat ritual Hinting Pali.

Menurut Walhi Kalimantan Tengah, 14 desa di Kecamatan Malamatimang sebenarnya menolak CAA sejak 2014. Pasalnya, kebun masyarakat masuk konsesi perusahaan dan skema plasma yang tidak sesuai ketentuan. 

Pelanggarannya, CAA tidak musyawarah dengan masyarakat hukum adat, melanggar Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 39/2014 tentang Perkebunan. Dalam UU itu  mengharuskan persetujuan masyarakat adat sebelum menggunakan tanah ulayat mereka.

Konflik makin rumit seperti di Desa Manen Kaleka. Beberapa titik pemukiman dan  pemakaman penduduk terletak di tengah konsesi CAA. Akses jalan masyarakat 17 hektar perusahaan tutup dengan timbunan tanah.

Dari penuturan warga, katanya, CAA tidak pernah memberikan ganti rugi atau tali asih atas lahan yang mereka rampas. Tudingan lain, perusahaan melecehkan adat istiadat Kalimantan Tengah dengan tidak menanggapi keputusan damang. Ritual Hinting Pali menegaskan barang-barang di dalam kantor tidak boleh dibawa keluar, bentuk penolakan masyarakat terhadap tindakan perusahaan yang dianggap merugikan hak mereka.

Peta Konsesi dan Tutupan Lahan PT AGL dan PT CAA. Menunjukkan luas konsesi serta sisa areal hutan yang dikelola kedua perusahaan. Foto: Laporan Pantau Gambut dan Kaoem Telapak

Pertanyakan RTRW

Henri Subagyo, Pakar Hukum Lingkungan, mendesak koreksi  izin usaha perkebunan sawit di Indonesia. Temuan lapangan Pantau Gambut dan Kaoem Telapak menunjukkan,  perusahaan beroperasi di lahan dengan fungsi ekologi gambut lindung maupun budidaya.

“Harus ada jalan keluar untuk masalah ini.” 

Satu jalan, katanya, dengan menyelaraskan rencana tata ruang nasional (RTRWN) 2017 dengan rencana tata ruang provinsi (RTRWP) kabupaten/kota. Di dalamnya, termasuk penetapan fungsi lahan gambut.

“Saya sudah mencoba mencari informasi terkait hal ini, meskipun latar belakang saya bukan di bidang pemetaan. Namun, saya tidak menemukan bagaimana RTRWP Kalimantan Tengah menerjemahkan fungsi lindung dan budidaya gambut,” katanya.

Padahal, kata Henri, penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP) Gambut dan penetapan fungsi lahan juga menjadi hal krusial agar “keterlanjuran” dapat terus dipantau dan tidak berlarut-larut.

Menurut dia, RTRW sangat penting karena seharusnya dapat terpantau langsung masyarakat, meskipun memerlukan keterampilan khusus.

Apa tanggapan perusahaan?

Raden Agus Hiramawan, GM Umum & Plasma CAA Region Pulpis, yang mewakili CAA dan AGL, menepis semua tudingan dalam laporan Pantau Gambut dan Kaoem Telapak. Menurut dia, kedua perusahaan merupakan entitas yang patuh dan taat hukum.

Dia mengklaim, sudah menjaga perkebunan, terlebih sertifikasi ISPO yang mereka miliki mengharuskan audit tahunan, guna mematuhi standar keberlanjutan yang  pemerintah tetapkan. 

Mereka juga kerjasama dengan dinas terkait, termasuk BPBD, Polres hingga Masyarakat Peduli Api (MPA), dalam upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di AGL dan CAA.

“Tidak benar. Persoalan masalah kebakaran kita sangat menjaga saat ini, apalagi kita sudah ISPO. Jadi,  tidak benar kalau perusahaan ini lalai dengan kebakaran.”  

Dia menyebut, tidak ada lagi kasus karhutla di anak perusahaan Ciliandry Anky Abadi Group ini tahun 2022-2024. Raden juga menyebut, kawasan konsesi bukan lagi bagian lahan gambut.

“Kita bukan lahan gambut. Itu yang perlu digaris bawahi.”  

Hal ini, katanya, mengacu Surat Keputusan Pelepasan Kawasan yang terbit melalui proses evaluasi berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru untuk kawasan hutan alam primer dan gambut  oleh Kementerian Kehutanan.

Rekomendasi izin dari pemerintah, juga sudah melewati beberapa proses, menyatakan kawasan tidak lagi termasuk dalam klasifikasi gambut. Dengan demikian, klaim lahan gambut dalam kawasan dia nilai tidak relevan.

Raden bilang, isu sanksi dan perintah Dirjen Gakkum tak jalan juga tidak benar. Perusahaan, bahkan masih berhak beroperasi, dan memiliki kerjasama plasma dengan Koperasi Citra Kahayan Jaya.

“Tidak ada sanksi yang disebutkan itu. Kita rilis kegiatan plasma, bahkan 2023 itu Bupati Pulang Pisau melakukan verifikasi petaninya.”  

Dia juga menyebut, konflik dengan masyarakat adat keliru. Menurut dia, yang berselisih bukalah masyarakat adat. Sebab, satu-satunya masyarakat adat yang negara akui di Pulang Pisau adalah komunitas adat  di Jabiren.

“Jadi,  kalau buka peta di AGL dan CAA itu tidak ada yang namanya hutan adat. Konflik yang terjadi kebetulan ada masyarakat yang notabene adalah Mantir saja di Desa Parahangan. Waktu itu dia melakukan klaim lahan yang sama sekali dia tidak punya surat menyurat, kemudian dia bawa ke ranah ormas, sehingga gemanya itu dianggap masyarakat adat” katanya.

Ketika semua proses, katanya, tanah itu secara administrasi negara terbukti bukan tanah dan masuk dalam kelompok masyarakat adat.

“Itu sudah clear and clear, kok, dengan ormasnya juga. Apakah kasusnya kemarin itu tidak selesai? Oh selesai. Kan begitu.”  

Untuk  BCMP, Mongabay  berupaya mencari kontak perusahaan tersebut melalui berbagai jaringan dan referensi yang tersedia. 

Namun, hasil penelusuran tidak menemukan perusahaan ini tercatat dalam sistem AHU, hingga makin menguatkan dugaan pelanggaran administratif.

Kanalisasi lahan gambut. Foto: Dokumentasi Pantau Gambut dan Kaoem Telapak.

*****

Gambut Konsesi Terbakar di Kalteng, Bukan Restorasi Malah jadi Sawit

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|