- Suku Megapoda atau Megapodiidae secara harfiah berarti kaki besar. Ini mengacu pada kaki yang digunakan untuk menggali dan menimbun lubang telur di tanah maupun pasir. Seluruh jenis megapoda berperilaku sama.
- Induk jenis-jenis Megapoda tidak pernah mengerami telurnya. Mereka memanfaatkan tiga sumber panas alami untuk proses inkubasi telur mereka, yaitu panas dari proses penguraian serasah daun oleh mikroba, geothermal, dan sinar matahari.
- Terdapat tujuh jenis megapoda di kawasan Wallacea, dari tiga genus, yaitu Megapodius, Macrocephalon, dan Eulipoa. Sumber panas dari proses penguraian serasah biasanya dimanfaatkan hanya oleh jenis-jenis Megapodius, sedangkan yang memanfaatkan geothermal dan sinar matahari dari semua genus.
- Megapoda paling ikonis tentunya maleo, endemis Sulawesi dan Buton. Ukurannya seperti ayam kampung jantan. Beberapa lokasi penelurannya berada di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, TN Lore Lindu, dan Cagar Alam Morowali, serta di pesisir pantai Sulawesi. Maleo sangat pemalu sehingga susah menjumpainya di hutan, habitat alaminya.
Perjalanan mencari jejak megapoda di kawasan Wallacea, merupakan kegiatan menantang yang menguji kesabaran. Pencarian jejak yang harus dilakukan berulang di sejumlah lokasi pengamatan dengan waktu berbeda pula.
Setengah lima pagi, akhir 2024 lalu, saya bersama Amran [32], Uwa [64], Rifai [29], dan Emet [29], meluncur dengan perahu ketinting menuju pulau kecil di pesisir selatan Pulau Peling, Sulawesi Tengah. Mereka merupakan masyarakat setempat yang terbiasa memandu para pengamat burung dari dalam maupun mancanegara.
“Tenang, pasti datang,” ujar Amran, setelah tiga puluh menit kami menunggu kehadiran gosong sula di pondok kamuflase. Suara cekikikan bersahutan terdengar, menandakan kehadiran kaliong, biasa masyarakat Peling menyebutnya.
Gosong sula (Megapodius bernsteinii) hanya tersebar alami di Kepulauan Sula dan Banggai, termasuk di Peling dan sekitar. Tubuhnya gelap kecokelatan, sebesar ayam kampung, dengan muka sedikit hitam dan kaki merah gelap.
Kata bernsteinii diambil dari nama Heinrich Agathon Bernstein, seorang dokter, zoologis, dan kolektor asal Jerman yang berkelana di Indonesia (1854–1865). Dia juga yang menjadi rival berat Alfred Russel Wallace dalam mengoleksi berbagai spesimen burung di Indonesia.
Baca: Bukan Cara Biasa Menjaga Maleo

Megapoda
Burung gosong termasuk dalam Suku Megapoda atau Megapodiidae, jenis khas wilayah biogeografi Australasia dan Wallacea, termasuk Papua, Kepulauan Pasifik, Filipina, dan Australia. Namun demikian, sebarannya paling barat yaitu di Kepulauan Nicobar, Laut Andaman, sebelah utara Aceh, yang termasuk wilayah biogeografi Oriental atau Asia.
Megapodiidae secara harfiah berarti kaki besar, yang digunakan untuk menggali dan menimbun lubang telur di tanah maupun pasir. Seluruh jenis megapoda berperilaku sama.
Satu hal uniknya adalah proses berbiak. Jones dkk. (1995) menyatakan, jenis-jenis megapoda dikenal dengan istilah “mound-builder” atau penimbun gundukan dan “burrow-nester” atau pembuat lubang.
Induk jenis-jenis Megapoda tidak pernah mengerami telurnya. Mereka memanfaatkan tiga sumber panas alami untuk proses inkubasi telur mereka, yaitu panas dari proses penguraian serasah daun oleh mikroba, geothermal, dan sinar matahari.
Terdapat tujuh jenis megapoda di kawasan Wallacea, dari tiga genus, yaitu Megapodius, Macrocephalon, dan Eulipoa. Sumber panas dari proses penguraian serasah biasanya dimanfaatkan hanya oleh jenis-jenis Megapodius, sedangkan yang memanfaatkan geothermal dan sinar matahari dari semua genus.
Baca: Eliza Marthen Kissya, Penjaga Sejati Negeri Haruku

Burung gosong di Wallacea
Gosong sula merupakan satu dari lima jenis Megapodius di Wallacea, yaitu area yang meliputi Sulawesi, Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara. Selain gosong sula, empat jenis Megapodius lain yaitu gosong filipina, gosong kelam, gosong tanimbar, dan gosong kaki-merah.
Gosong filipina [M. cumingii] tersebar mulai dari Filipina, pesisir Kalimantan bagian utara, sampai ke Sulawesi dan sekitarnya. Selain di pesisir dan pulau-pulau kecil, gosong filipina juga hidup di hutan pegunungan. Suaranya berupa siulan panjang, seperti kesedihan yang merintih. Mereka biasa bersuara di pagi hari, namun kadang tengah malam.
Cumingii diambil dari nama naturalis dan kolektor spesimen satwa asal Inggris, Hugh Cuming (1791–1865), yang banyak menjelajah Kepulauan Polinesia, Filipina, sampai Nusantara.
Di Maluku Utara, Pulau Seram–Buru dan sekitarnya, sampai Raja Ampat Papua Barat, terdapat jenis gosong kelam [M. freycinet]. Sesuai namanya, tubuh jenis ini hampir semuanya terlihat gelap. Mereka biasa hidup di hutan daratan rendah. Sarangnya berupa gundukan serasah dedaunan, sehingga sangat mudah dikenali di tengah hutan.
Nama freycinet diambil dari Louis Claude de Saulces de Freycinet (1779–1812), seorang perwira Angkatan Laut Perancis, sekaligus navigator dan penjelajah di Pasifik. Di Indonesia, dia mendatangi Pulau Waigeo, tempat dia mengumpulkan spesimen Megapoda pada Desember 1818.
Gosong tanimbar [M. tenimberensis] tersebar di Kepulauan Tanimbar, selatan Provinsi Maluku. Nama tenimberensis mudah ditebak, mengacu pada area persebarannya. Jenis ini hidup di pulau-pulau kecil sampai tengah hutan daratan rendah. Warna tubuhnya cokelat muda, muka sedikit kemerahan, dan kaki oranye bercampur abu-abu.
Baca: Burung Gosong, Inilah Kerabat Maleo dari Maluku

Satu lagi, gosong kaki-merah [M. reinwardt]. Mereka tersebar cukup luas, mulai di Kepulauan Masalembu–Masakambing serta Kepulauan Kangean di Jawa Timur, Kepulauan Selayar–Tanajampea di Sulawesi Selatan, hampir seluruh Kepulauan di Nusa Tenggara, sebagian Kepulauan Maluku, sampai ke Papua dan utara Australia.
Tubuhnya abu-abu gelap dengan sayap cokelat tua. Sesuai namanya, kakinya merah atau oranye menyala. Hal yang cukup menarik adalah, adanya simbiosis antara gosong kaki-merah dan biawak komodo (Varanus komodoensis) di Nusa Tenggara. Mereka sama-sama memanfaatkan panas alami untuk menginkubasi telur-telurnya. Bahkan Imansyah dkk. (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komodo juga memangsa telur-telur gosong ini.
Nama reinwardt mengacu ke tokoh yang cukup terkenal dalam dunia botani di Indonesia. Dia adalah C.G. Carl Reinwardt (1773–1854), seorang dokter dan botanis asal Belanda, sekaligus pendiri dan pemimpin pertama Kebun Raya Bogor.
Baca: Surga Biota Air Endemis Itu Adalah Wallacea

Gundukan tanah
Di alam, lubang sarang jenis-jenis Megapodius dapat dikenali dari bentuk gundukan tanah atau pasir, dari yang berukuran kecil sampai setinggi dua meter lebih. Perilaku inilah yang menyebabkan mereka mendapat julukan mound-builder atau penimbun gundukan. Para Megapodius kadang membuat gundukan di sela banir pohon mati.
Jenis-jenis Megapodius juga dapat berperilaku seperti para burrow-nester, yaitu menggali tanah atau pasir, kemudian menimbun kembali, tidak sampai membuat gundukan. Hal ini mereka lakukan untuk mendapatkan sumber panas dari geothermal atau sinar matahari.
Para burrow-nester sejati di Wallacea ada dua jenis, yaitu Macrocephalon maleo atau maleo senkawor dan Eulipoa wallacei atau gosong maluku.
Baca: Wallacea, Surganya Burung Unik dan Endemik

Megapoda paling ikonis tentunya maleo, endemis Sulawesi dan Buton. Ukurannya seperti ayam kampung jantan. Beberapa lokasi penelurannya berada di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, TN Lore Lindu, dan Cagar Alam Morowali, serta di pesisir pantai Sulawesi. Maleo sangat pemalu sehingga susah menjumpainya di hutan, habitat alaminya.
Macrocephalon berasal dari frasa Yunani makrocephalos, yang berarti kepala panjang atau besar. Hal ini mengacu bentuk fisik kepala maleo yang memiliki benjolan besar di bagian belakang. Sedangkan kata maleo mengacu pada bahasa lokal secara umum untuk jenis-jenis Megapoda di Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Sementara itu, gosong maluku tersebar di Maluku–Maluku Utara dan Pulau Misool Papua Barat. Dalam bahasa lokal sering disebut momoa atau mamoa. Perilaku uniknya adalah bertelur tengah malam hingga menjelang fajar, baik di pasir pantai ataupun area geothermal untuk proses inkubasi telurnya.
Eulipoa berasal dari Bahasa Yunani, artinya meninggalkan telur dengan baik. Sedangkan kata wallacei tentu saja mengacu pada ahli zoologi Inggris tersohor, Alfred Russel Wallace (1823–1913), yang mencatat perjumpaan gosong maluku selama perjalanannya di Kepulauan Nusantara.
Foto: Opior Wallacea, Si Kuning Mungil Endemik Nusa Tenggara

Telur jumbo
Megapoda memiliki telur besar, ukurannya antara 75–230 gram per butir. Maleo memiliki telur terbesar, sekitar 230 gram, atau lima kali telur ayam kampung.
Telur mereka timbun di kedalaman 20–50 cm yang sekitar dua bulan menetas. Anakan akan merangkak ke permukaan tanah selama 1–2 hari. Hal inilah yang menyebabkan mereka sangat rentan dimangsa ketika muncul ke permukaan, karena dalam kondisi lemah. Anak megapoda secara fisik sudah mampu terbang, namun jika terdesak, seperti menghindari predator.
Megapoda lebih banyak hidup di lantai hutan, memakan berbagai buah dan biji. Mereka juga sering terlihat memakan siput, serangga kecil dan sedang, kelabang, kalajengking, bahkan berburu reptilia dan ikan kecil.

Tantangan konservasi
Indonesia memiliki keragaman tertinggi Megapoda, yaitu 14 dari 21 jenis di dunia. Mereka tersebar di Wallacea, Papua, dan sekitarnya. Dari 7 genus Megapoda di dunia, 5 genus hidup di Indonesia, dan 2 genus endemis Indonesia, yaitu Macrocephalon dan Eulipoa.
Tasirin dkk. (2021) menyatakan, mengurangi atau menghilangkan gangguan perburuan telur dan perusakan habitat oleh manusia, merupakan upaya utama dalam pelestarian maleo, atau Megapoda secara umum. Pemangsaan alami oleh predatornya, umumnya tidak terlalu signifikan menurunkan populasi mereka.
Secara global berdasarkan IUCN, maleo adalah jenis Megapoda di kawasan Wallacea yang paling terancam dengan status Kritis. Selanjutnya gosong sula, gosong tanimbar, dan gosong maluku dengan status Rentan. Tiga jenis lainnya yaitu gosong kelam, gosong filipina, dan gosong kaki-merah berstatus Risiko Rendah. Pemerintah telah memasukkan seluruh jenis ini sebagai jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor: P. 106/2018.
Kita berharap, kelestarian si kaki besar ini tetap terjaga dari segala ancaman dan menjadi kebanggaan kita bersama, sekarang dan masa mendatang.
*Hanom Bashari, Peneliti burung liar di Wallacea, aktif di Forest Programme III Sulawesi
Referensi:
Jones, et al. 1995. The Megapodes. Oxford, UK: Oxford University Press.
Imansyah, et al. 2009. Distribution, seasonal use, and predation of incubation mounds of Orange-footed Scrubfowl on Komodo Island, Indonesia. J. Field Ornithol. 80(2):119–126.
Tasirin, et al. 2021. Maleo Macrocephalon maleo population recovery at two Sulawesi nesting grounds after community engagement to prevent egg poaching. Global Ecology and Conservation (28) e01699.
Gua Topogaro, Jejak Kehidupan Manusia Prasejarah di Kawasan Wallacea