- Berbagai kalangan mendesak putusan adil bagi Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak di Huta Dolok Parmonangan ini yang berkonflik dengan perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Kini, kasus Sorbatua masuk kasasi Mahkamah Agung.
- Dukungan terhadap Sorbatua datang dari berbagai kalangan. Termasuk aksi Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan di depan Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (27/02/2025). Elisabet Simanjuntak, koordinator aksi yang juga dari Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menyatakan, aksi tersebut mencerminkan keresahan publik terhadap maraknya kriminalisasi masyarakat adat di berbagai wilayah.
- Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mengatakan, kasus Surbatua Siallagan menjadi sorotan luas. Kasus ini menjadi cermin masalah struktural penanganan hak masyarakat adat.
- Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengkritik proses hukum Sorbatua yang saat ini berlanjut di MA. Menurutnya, kasus ini dluar nalar. Pasalnya, kawasan yang bersengketa masih dalam tahap penunjukkan, dan belum ada penetapan resmi sebagai kawasan hutan.
Berbagai kalangan mendesak putusan adil bagi Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak di Huta Dolok Parmonangan yang berkonflik dengan perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Kini, kasus Sorbatua masuk kasasi Mahkamah Agung.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Medan, Sumatera Utara, menyatakan Sorbatua tidak bersalah, menggugurkan vonis 2 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dari Pengadilan Negeri Simalungun. Atas dasar itu, Kejaksaan Negeri Simalungun upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Dukungan terhadap Sorbatua datang dari berbagai kalangan. Termasuk menggelar aksi Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Sorbatua Siallagan di depan Mahkamah Agung, Jakarta, 27 Februari lalu.
Elisabet Simanjuntak, koordinator aksi juga Sekretariat Nasional Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menyatakan, aksi ini mencerminkan keresahan publik terhadap maraknya kriminalisasi masyarakat adat di berbagai wilayah.
“Masyarakat adat berhak mengelola tanah leluhurnya, tetapi sering menghadapi ketidakadilan, Sorbatua Siallagan salah satunya,”
Juandi Gultom, Anggota Bidang Advokasi Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), meminta, Mahkamah Agung mempertimbangkan dissenting opinion yang muncul dalam putusan Pengadilan Negeri Simalungun.
Kasus ini, bukan sekedar konflik hukum antara negara dan masyarakat adat, juga berkaitan dengan sejarah kepemilikan tanah yang sejak awal sudah bermasalah.
“Penetapan lahan konsesi TPL sejak awal bermasalah karena tidak melibatkan masyarakat adat. Ketika muncul konflik, masyarakat adat justru disalahkan,” katanya.
PGI meminta, pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan konflik yang terus berlarut dan mengakui keberadaan masyarakat adat. Data mereka sudah ada di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).
Muhammad Bagir Shadr, Koordinator Bidang Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia mengecam langkah Kejaksaan Negeri Simalungun mengajukan kasasi terhadap Sorbatua Siallagan.
Menurut dia, Sorbatua itu seorang pejuang HAM yang alami kriminalisasi dan meminta MA berikan keputusan yang berkeadilan.

depan Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (27/02/2025). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Hindari kriminalisasi
Judianto Simanjuntak, pengacara publik dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), mendesak, Mahkamah Agung mempertimbangkan seksama setiap aspek dalam perkara itu. Juga, menghindari praktik kriminalisasi berulang terhadap masyarakat adat.
Mufti Fathul Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengkritik proses hukum Sorbatua yang berlanjut di MA. Kasus ini, katanya, diluar nalar karena kawasan yang bersengketa masih dalam tahap penunjukkan, dan belum ada penetapan resmi sebagai kawasan hutan.
“Berdasarkan UU Kehutanan No.41/1999, suatu kawasan hutan harus melalui beberapa tahapan, yakni, penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan. Dalam kasus ini, baru sebatas penunjukan, belum ada keputusan final.”
Belum lagi, objek lahan sengketa antara Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dan TPL di Sektor Aek Nauli masih proses penyelesaian tingkat administratif.
“Ini bukan ranah pidana,” katanya.
Sinung Karto, perwakilan Divisi Penanganan Kasus Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nuasantara (AMAN), tegaskan, masyarakat adat terjamin dalam konstitusi, termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 281 ayat (3) UUD 1945, serta berbagai instrumen hukum, termasuk UU No.39/1999 tentang HAM

adil. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Tanah sebagai identitas
Sorbatua Siallagan, mengatakan, tanah ulayat mereka kelola turun temurun sejak 1700 itu bukan sekadar tanah garapan. Ia bagian identitas dan kehidupan komunitas mereka.
“Tak hanya menanam, kami juga merawat pohon-pohon di hutan,” katanya pada Mongabay.
Selain jadi tempat tinggal maupun sumber penghidupan, kawasan yang mereka yakini sebagai hutan adat juga bagian warisan leluhur yang mesti terjaga kelestariannya.
“Kami menanam kemenyan, durian, jengkol, nangka, kopi. Dulu, tanah ini subur, pohon-pohon besar masih berdiri tegak.”
Hasil panen di hutan adat, katanya, menjadi sumber utama penghidupan masyarakat.
Situasi berubah ketika pemerintah berikan izin pada TPL. Klaim perusahaan menyebabkan hutan adat rusak dan berdampak pada ekosistem sekitar.
Dulu, sungai di sekitar hutan masih bersih dan kaya ikan. “Kami tidak perlu beli ikan di pasar. Sekarang, karena pohon-pohon ditebang dan diganti dengan eucalyptus, sungai menjadi dangkal dan tercemar.”

konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dan perusahaan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
*****