- Perempuan masih alami diskriminasi, hak dan perlindungan mereka kerap terabaikan termasuk dalam kehidupan masyarakat adat. Dominasi laki-laki dan budaya patriarki masih kental. Partisipasi perempuan dalam meramu kebijakan-kebijakan masyarakat adat pun minim. Untuk itu, Koalisi RUU Masyarakat Adat mendorong DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) karena di dalamnya mencantumkan kesetaraan hak perempuan.
- UU Masyarakat Adat sebagai payung hukum guna memastikan perlindungan hak masyarakat adat termasuk perempuan adat baik budaya maupun kelestarian ruang hidup mereka. Mengingat, banyak proyek atau izin-izin pemerintah tak jarang bersinggungan dengan wilayah-wilayah masyarakat adat hingga merampas ruang hidup mereka.
- Veni Siregar, Koordinator Koalisi RUU Masyarakat Adat, mengatakan, pengesahan RUU akan berdampak termasuk pada perempuan adat karena di dalamnya terdapat kesetaraan hak perempuan. Perempuan memiliki peran penting dalam membangun kehidupan masyarakat adat, seperti, meracik makanan, meramu obat-obatan, pertanian melestarikan budaya dan lingkungan.
- Moch Yasir Sani, Program Manager Kemitraan mengatakan, perempuan adat memiliki peran sentral dalam menjaga kearifan lokal, termasuk pertanian, konservasi hutan, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Namun, peran mereka masih sering terabaikan dan menghadapi diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Perempuan masih alami diskriminasi, hak dan perlindungan merekaa kerap terabaikan termasuk dalam kehidupan masyarakat adat. Dominasi laki-laki dan budaya patriarki masih kental. Partisipasi perempuan dalam meramu kebijakan-kebijakan masyarakat adat pun minim. Untuk itu, Koalisi RUU Masyarakat Adat mendorong DPR dan pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) karena di dalamnya mencantumkan kesetaraan hak perempuan.
UU ini sebagai payung hukum guna memastikan perlindungan hak masyarakat adat termasuk perempuan adat baik budaya maupun kelestarian ruang hidup mereka. Mengingat, banyak proyek atau izin-izin pemerintah tak jarang bersinggungan dengan wilayah-wilayah masyarakat adat hingga merampas ruang hidup mereka.
Veni Siregar, Koordinator Koalisi RUU Masyarakat Adat, mengatakan, rancangan aturan ini masuk bahasan sejak 2000-an, ke parlemen pada 2012. Hingga kini, RUU Masyarakat Adat hanya berkutat dalam pembahasan, belum ketok palu.
Pengesahan RUU akan berdampak termasuk pada perempuan adat karena di dalamnya terdapat kesetaraan hak perempuan. Perempuan memiliki peran penting dalam membangun kehidupan masyarakat adat, seperti, meracik makanan, meramu obat-obatan, pertanian melestarikan budaya dan lingkungan.
“Itulah urgensinya mengesahkan RUU Masyarakat adat, menjamin dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Terutama hak perempuan adat. Alam itu lestari dan berdaya karena perempuan adat,” katanya dalam Talkshow bertema Perempuan Adat, Diskriminasi dan Praktik Baik di Jakarta, Rabu, (12/2/25).
Veni bilang, pengalaman perempuan adat dapat memperkuat substansi RUU Masyarakat Adat dalam memastikan pengakuan, kepastian hukum dan menjamin partisipasi perempuan adat secara penuh di komunitasnya. Kebijakan ini, katanya, harus menjawab persoalan dan kerentanan perempuan adat.
Namun, perubahan drastis dalam tata kehidupan masyarakat adat karena perampasan lahan, alih fungsi hutan, serta tata kelola pembangunan yang tak berpihak membawa dampak serius.
Perempuan adat, katanya, makin rentan diskriminasi dan berbagai bentuk kekerasan, termasuk yang berbungkus dalih adat dan patriarki. Hambatan terhadap akses layanan dasar, ruang, serta partisipasi publik makin menguat, membuat perempuan adat terpinggirkan dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
“RUU Masyarakat Adat menjadi instrumen krusial untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat, terutama perempuan adat, dari berbagai bentuk ketidakadilan struktural,” katanya.

Sabila, Perempuan Adat Desa Kaluppini, Sulawesi Selatan mengatakan, di desanya budaya dan kebiasaan adat masih kental. Desa Kaluppini, berjarak sekitar 250 kilometer dari Makassar, ibukota Sulawesi Selatan, dan masih menggunakan sistem kepemimpinan adat. Pemangku adat mengemban jabatan tertinggi.
Dalam kepemimpinan itu, perempuan adat Kaluppini tak dapat ruang untuk terlibat. Meski begitu, perempuan Kaluppini sebagian besar ibu rumah tangga dan sebagian kecil pegawai negeri serta swasta ini mendapat perlakuan baik. Sabila bilang, tidak ada aturan adat yang membatasi para perempuan dalam kehidupan sehari-hari, baik pendidikan, pekerjaan dan sosialisasi.
Secara keyakinan, masyarakat Kaluppini dominan beragama Islam, dengan masih mempertahankan tradisi dan pengetahuan tradisional nenek moyang. Misal, untuk menyokong kemandirian pangan, masyarakat Kaluppini punya ritual khusus dari penanaman sampai panen.
“Begitulah kita mempertahankan kedaulatan pangan, bukan cuma pertanian atau perkebunan. Tetapi bagaimana memanfaatkan hasil hutan sebaik-baiknya dengan tidak merusak hutan.”
Hutan, katanya, tak bisa lepas dari masyarakat adat, keduanya saling terkait. Ketika hutan lestari, akan memberikan kekayaannya untuk masyarakat Desa Kaluppini.
“Kami menyadari betul bahwa hutan sumber kehidupan yang tidak ada habisnya apabila kita bisa memanfaatkannya dengan baik,” katanya.
Hutan juga sumber ekonomi. “Memenuhi kebutuhan hidup dari sayur hasil panen dan membantu perekonomian keluarga. Misal, dari madunya itu satu botol Rp300.000 kita jual.”
Sabila bilang, ada 13 hutan adat yang sakral di Desa Kaluppini. Dalam aturan adat, hutan tidak boleh terganggu. Masyarakat tak boleh memanfaatkan atau mengelola sumber daya di hutan itu.
Agetha Lestari, Pengkampanye Kaoem Telapak, mengatakan, selama observasi di beberapa daerah, para pemuda termasuk perempuan adat optimis melestarikan lingkungan. Sayangnya, masih ada perlakuan beda kepada para pemuda dan perempuan adat.
Biasanya, orang tua mendominasi karena merasa lebih berpengalaman dan memiliki peran strategis daripada pemuda, dan perempuan. Perempuan pun mendapat perlakuan beda dari aturan adat maupun dalam keluarga.
Perempuan adat, katanya, memiliki peran penting dan strategis dalam menata kehidupan adat. Seperti, di Kalimantan Barat, perempuan berkontribusi dalam hal pertanian mulai penyemaian bibit, sampai pemupukan maupun panen. Perempuan adat ini juga bertugas memenuhi kebutuhan rumah tangga.
“Terlihat kalau sosok perempuan mengurus dari hulu ke hilir suatu kegiatan, ini bukti kalau perempuan bisa melakukan banyak hal.”
Perempuan juga bisa jadi garda terdepan dalam memperjuangkan lingkungan dan ruang hidup. Contoh, perempuan di Halmahera Selatan, menolak ekspansi perusahaan karena merusak lingkungan.
Moch Yasir Sani, Program Manager Kemitraan mengatakan, perempuan adat memiliki peran sentral dalam menjaga kearifan lokal, termasuk pertanian, konservasi hutan, dan pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan. Namun, peran mereka masih sering terabaikan dan menghadapi diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Untuk itu, RUU Masyarakat Adat penting ada. “UU Masyarakat Adat bukan hanya soal pengakuan, juga perlindungan terhadap kelompok paling rentan di dalamnya, termasuk perempuan, disabilitas, anak, dan penghayat kepercayaan. Kita perlu memastikan, hak-hak mereka benar-benar terlindungi dalam sistem hukum nasional, hingga tidak lagi menghadapi diskriminasi dan marjinalisasi.”

********