Kopi Tapia, Simbol Kepedulian Masyarakat Penukal Terhadap Hutan

3 weeks ago 48
  • Sejak 1930-an, warung kopi banyak ditemukan di Penukal, Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir), Sumatera Selatan. Tapi di Penukal tidak ada perkebunan kopi.
  • Di Penukal, kopi hanya ditanam di jongot, bersama tanaman buahan hutan dan kayu. Tanaman kopi dibelakukan sebagai tanaman hutan. Kopi yang disajikan yaitu tapia, kopi tubruk khas Penukal.
  • Jongot adalah kebun adat atau agroforestry yang dikembangkan masyarakat Penukal. Fungsinya, sebagai sumber pangan pendukung dan papan.
  • Warung kopi memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Tempirai Raya. Warung kopi menjadi tempat berkumpul untuk berdiskusi, bertukar informasi, dan menjalin silaturahmi antarwarga, serta membantu melatih kemampuan bernegosiasi dalam berdagang.

Awal abad ke-20, tanaman kopi seperti kopi robusta (Coffea canephora), mulai dikenal luas masyarakat di Sumatera Selatan. Perkebunannya mulai dikembangkan di wilayah dataran tinggi, seperti di Semende.

Masyarakat Sumatera Selatan yang sebelumnya terbiasa minuman teh, mulai coba menikmati kopi. Termasuk, masyarakat di Penukal, Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir).

Meskipun banyak dikonsumsi, tapi kopi tidak dikembangkan sebagai tanaman komoditas perkebunan di Penukal. Kopi diperlakukan sebagai tanaman hutan. Ditanam bersama buah hutan dan tanaman kayu di jongot.

Jongot adalah kebun adat atau agroforestry yang dikembangkan masyarakat Penukal. Fungsinya, sebagai sumber pangan pendukung dan papan.

“Kami pernah menanam kopi di jongot, tapi bukan berkebun. Pohon yang bisa tumbuh baik itu liberika, tapi tidak begitu disukai masyarakat Penukal karena terlalu asam. Tapi, ada yang minum sehingga dibiarkan tumbuh hingga sekarang,” kata Nanang Asri (90), warga Desa Tempirai Selatan, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI, awal Februari 2025.

Baca: Bukan Hanya Manusia, Satwa Liar juga Suka Durian

Kebun kopi masyarakat Semende, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, sudah ada sejak awal abad ke-20 atau sudah 7-10 generasi. Foto: Muhammad Tohir/Mongabay Indonesia

Sejak 1930-an, kampung Tempirai Raya dipenuhi warung kopi yang letaknya di bawah rumah panggung kayu. Kopi yang disajikan yaitu tapia, kopi tubruk khas Penukal.

“Dulu, warung kopi di sini selain dikunjungi warga, juga para pendatang yang ingin berniaga di Penukal. Sebab, Penukal dikenal sebagai sentra ikan air tawar dan getah karet. Tempirai merupakan permukiman tertua dan teramai di Penukal,” terang Nanang.

Kopi tapia berbahan kopi yang digiling kasar. Saat diseduh air mendidih, serbuknya mengapung di cangkir. Sebelum diminum, dibiarkan beberapa saat, kemudian diaduk dan serbuk yang mengapung diambil.

Air kopi yang didapat seperti hasil penyeduhan French Press, yang kali pertama diperkenalkan Mayer dan Delforge di Perancis pada 1852.

“Bubuk kopi ini hanya didapatkan di Pendopo, jenis robusta,” kata Marjito (46), pemilik Warung Marjito di Desa Tempirai, yang sudah berdiri tiga generasi.

Setiap hari, warung ini menghabiskan satu kilogram kopi, yang harga per kilogram Rp126 ribu. Satu kilogram ini menghasilkan 80 cangkir yang dijual Rp5 ribu.

Muhammad Faizal, Ketua Rumah Budaya Tempirai, mengatakan berdasarkan catatan komunitasnya jumlah warung kopi di Tempirai Raya saat ini hanya 18 unit.

Semua warung kopi ditandai dengan nama pemiliknya. “Dulunya puluhan, bahkan ada yang dikelola hingga enam generasi,” ujarnya.

Baca: Hebatnya Perempuan Tempirai, Bangga Jadi Petani dan Penyedia Pangan Masyarakat

Ini adalah pohon kopi liberika yang tumbuh liar di jongot, kebun buah masyarakat Penukal. Foto: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Kopi di jongot

Dijelaskan Muhammad Faizal, masyarakat Penukal tidak pernah berkebun kopi.

“Kopi ditanam di jongot saja, tumbuh di bawah naungan pohon-pohon besar.”

Biji kopi yang dikonsumsi masyarakat Penukal, awalnya dari kopi di jongot. Tapi karena kebutuhan meningkat, akhirnya masyarakat atau pemilik warung membeli dari luar, seperti dari pedagang di Pendopo (Ibu Kota Kabupaten PALI).

Berdasarkan penelusuran Mongabay, ditemukan beberapa pohon kopi liberika di jongot. Tapi, buahnya tidak begitu lebat dan ukurannya sangat kecil.

“Pohon ini peninggalan puyang/leluhur kami. Kalau banyak tumbuh, mungkin bijinya disebarkan tupai atau musang, bukan kami tanam. Pohonnya sulit besar,” kata Asmari [50], warga Desa Kota Baru, Kecamatan Penukal Utara.

Kopi tapia, kopi khas masyarakat Penukal, Kabupaten PALI, Sumatera Selatan. Foto: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Perkebunan kopi di Sumatera Selatan bukan yang pertama di Indonesia, tapi tanaman ini menyebar di berbagai wilayah dataran tinggi seperti di Semende, Empat Lawang, dan Lahat. Awalnya pada abad ke-19, kopi yang dikembangkan adalah kopi arabika (Coffea arabica), namun banyak mati akibat penyakit karat daun (Hemileia vastatrix).

Lalu, dicoba kopi liberika (Coffea liberica), tapi diserang karat daun juga. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mengembangkan kopi robusta, awal abad ke-20, yang tumbuh subur di berbagai perkebunan di Sumatera Selatan.

Saat ini, Sumatera Selatan menjadi produsen terbesar di Indonesia, khususnya jenis robusta. Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik] 2023, Sumatera Selatan menghasilkan 198 ribu ton dari total produksi nasional sekitar 760 ribu ton, yang berasal dari kebun kopi seluas 267.187 hektar. Dari 17 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan, hanya Kabupaten PALI, Kabupaten Ogan Ilir, Kota Palembang, dan Kota Prabumulih, yang tidak ditemukan perkebunan kopi.

Permukiman Tempirai, Penukal, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], Sumsel, yang berbentuk lingkaran. Foto drone: Ariadi Damara/Mongabay Indonesia

Warung kopi tradisional

Supriyanto (50), warga Desa Tempirai Selatan, mengatakan minum kopi seperti keharusan bagi warga Tempirai.

“Di warung kopi, berlangsung silahturahmi dan berbagi informasi. Masih terjaganya hutan dan rawa di Tempirai, juga hasil musyawarah di warung kopi. Kopi memberikan dampak baik bagi masyarakat Tempirai.”

Hampir semua perkampungan atau dusun di Penukal, memiliki warung kopi. Bukan hanya di Tempirai, juga di Air Itam, Mangkunegara, Sukarami, Gunung Menang, Talangubi, Prabu Menang, dan lainnya.

“Warung kopi tradisional yang banyak bertahan hanya di Tempirai,” ujar Faizal.

Mengapa warung kopi berkembang di Penukal?

Dijelaskan Faizal, sistem adat masyarakat Suku Musi di Penukal berpijak pada konsep musyawarah. Semua keputusan terkait kepentingan umum, berdasarkan rapat dari tetua atau pemangku adat setiap klan, atau keluarga pada setiap kampung.

Simbol musyawarah ini tercermin dari bentuk permukiman tua di wilayah Penukal, seperti di Tempirai, yang melingkar, dan menghadap satu titik tengah. Titik tengah ini berupa balai pertemuan dan rumah ibadah.

“Balai ini menjadi tempat berkumpul semua keluarga untuk musyawarah.”

Dengan budaya musyawarah ini, yang mengutamakan kesepakatan atau solusi, membuat warung kopi cepat diterima masyarakat Penukal.

“Di warung kopi, semua orang setara atau boleh menyampaikan pendapat. Tidak ada status sosial maupun usia,” paparnya.

Hebatnya Perempuan Tempirai, Bangga Jadi Petani dan Penyedia Pangan Masyarakat

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|