Masa depan transisi energi berada di ambang ketidakjelasan. Pemerintah Indonesia tampak ingin mengikuti jejak Amerika Serikat yang menarik diri dari Perjanjian Paris 2015. Utusan Khusus Presiden di Bidang Iklim, yakni, Hasyim Djojohadikusumo, mengatakan Indonesia tak boleh bunuh diri ekonomi. Di luar pernyataan itu, berbagai agenda percepatan transisi energi dan dekarbonisasi sebenarnya telah beredar dan berjalan.
Koridor-koridor energi terbarukan dan rendah karbon sudah terancang dan sebagian sudah berjalan. Seperti. bagian mana wilayah eksplorasi nikel untuk mengembangkan baterai, wilayah mana eksplorasi panas bumi untuk membangun pembangkit tenaga geothermal. Juga, wilayah mana ekspansi pembangunan solar panel raksasa, dan wilayah mana hutan-hutan untuk memproduksi sumber energi biomassa.
Semua koridor energi ini terencana dalam skala ekstrem. Ekstrem dari segi jumlah pembangkit, dari segi kapasitas, dan dari segi ekstraksi sumber daya alam, maupun ekstrem dari segi pengerahan pendanaannya. Semua ingin bangun dalam skala gigantik, besar, luas dan dalam waktu nyaris serempak, lengkap dengan tahun-tahun target.
Tulisan ini hendak mengingatkan , pengerahan ekstrem menunjukkan bahwa tidak ada transisi energi. Namun, mengatakan tidak ada transisi energi, sepertinya kurang tepat dan suatu kesimpulan yang melompat.
Transisi energi ada, setidaknya dalam pengertian teknis. Peralihan dari penggunaan satu sumber energi ke sumber energi lain, atau dari satu jenis teknologi ke jenis teknologi lain untuk eksplorasi energi. Pembangkit batubara akan berganti biomassa, dan kini bertahap sedang coba dengan cara mencampur keduanya lalu berlabel PLTU co-firing. Upaya lain, coba gasifikasi batubara dengan mengubah jadi bentuk cair. Agar tidak bergantung pada bahan bakar fosil, kendaraan-kendaraan bermotor beralih dengan listrik yang tersimpan dalam baterai.
Transisi energi ada. Sebagian kalangan percaya itu ada hingga berusaha mengawalnya. Macam-macam yang ingin dikawal. Kelembagaan pemerintah sepertinya perlu pendampingan agar suara masyarakat sipil terdengar dan mereka tak berlaku sewenang-wenang.
Di sana, di lembaga keuangan, perlu transparan dan pendanaan tepat guna. Sisi lain, ada kalangan yang tergerak mengawal supaya partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan tersedia.
Kalangan lain akan mengawal hukum, atau soal mengawal HAM, atau mengawal perbincangan di media dan lain lagi dan seterusnya. Mereka yang percaya menjadi pengawal, pengawas atau pemantau menyebar di banyak sudut.
Meskipun begitu, transisi energi ada sekaligus tidak ada. Tidak ada perubahan sistemik dari ekonomi-politiknya. Eksplorasi sumber energi terbarukan, kata beberapa kajian, sudah sejak dari sananya dikerjakan, dikelola dan diperebutkan seperti fosil.
Negara-negara adidaya atau sebutlah kekuatan imperialis lama seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa, kemudian kekuatan ekonomi raksasa baru seperti China, baku rebut untuk memonopoli, untuk lebih dulu mencengkeramkan investasinya dan di antara mereka saling blokade kepentingan bisnis. Dari sini, muncullah sebutan fossilizing renewable energy untuk menyebut betapa ekonomi-politik energi terbarukan merupakan ekonomi politik energi fosil.

Ekonomi politik fosil
Apa itu ekonomi politik energi fosil? Ini menuntut pembahasan sejarah panjang, tetapi mari kita ringkas, ‘’penggunaan sumber energi fosil menandai babakan sejarah kapitalisme, keragaman rezim sosial dan inovasi teknologinya.’
Batubara menulis sejarah revolusi industri di Inggris dan sejarah imperialisme sepanjang 1877–1925. Eksplorasi minyak dan gas menceritakan dominasi imperialisme Amerika, otomobilisasi, dan kontrol buruh yang lebih mutakhir.
Eletrifikasi, yang bersumber dari pembakaran batubara, menggores babakan integrasi sistem sosial kapitalisme industrial ke ranah sangat domestik. Perluasan pabrik menjadi pabrik sosial dalam bentuk paling lebih mutakhir lagi.
Singkatnya, penggunaan energi fosil untuk melancarkan ekspansi industri kapital. Energi fosil mudah terangkut. Berbeda dengan air atau udara atau matahari yang tidak bisa angkut, dan ketersediaan bergantung musim.
Energi fosil tidak. Energi fosil masuk kapal atau tersalur melalui pipa-pipa dari lokasi ekstraksi ke pusat industri buat mengoperasikan pabrik-pabrik siang malam. Juga, untuk menyalakan pusat-pusat bisnis tiada henti, menghidupkan kota-kota besar tempat segala “kemajuan peradaban” memamerkan diri.
Di tangan siapa kendali pabrik-pabrik itu, pusat-pusat bisnis itu?
Ya, sejak dari awal, energi fosil untuk memusatkan dominasi politik-ekonomi pada segelintir kekuatan. Sejak dari sana, energi fosil diburu dan dicari karena kebutuhan untuk mengatasi “kendala-kendala politik” seperti perlawanan para buruh, petani dan negara-negara terjajah.
Sejak awal, penggunaan energi fosil untuk memaksa buruh bekerja lebih banyak, lebih intens, dan upah lebih murah. Sejak awal, energi fosil bukan berdasarkan pertimbangan bahwa bahan bakar terbaik, melainkan lebih karena paling cocok untuk mengembangkan pengaturan politik ekstraktif (extractive political governmentality).
Pengaturan politik ekstraktif (extractive political governmentality) beroperasi dengan mekanisme dominasi dan eksploitasi. Yang pertama berada di ranah politik, tentang distribusi kekuasaan politik: tentang siapa mengatur dan diatur. Sedang yang terakhir menempati ranah ekonomi, yang mana ini terjadi pada aras proses produksi dan hubungan-hubungannya di dalamnya: tentang siapa bekerja dan siapa yang menikmati hasil kerja.
Kedua kaki ini, dominasi dan eksploitasi, bekerja dalam suatu hubungan ekspresif: modalitas dominasi “merefleksikan” modalitas eksploitasi. Dengan kata lain, eksploitasi merupakan hubungan antagonistik yang reproduksinya membutuhkan pengerahan dominasi politik tertentu.
Energi fosil memberi tenaga dominasi dan eksploitasi ini agar bisa berjalan, mengeruk sumber daya alam sebanyak mungkin dan mempekerjakan buruh semurah mungkin. Juga, mengatur hukum supaya perambahan dan perampasan mereka terlindungi, mengutus aparat keamanan supaya tak ada perlawanan atau ada perlawanan tetapi lekas padam.
Dari mengatur media, intelektual dan lain-lain supaya hanya ada satu gagasan dominan tentang energi, seperti bahwa energi membawa kemajuan dan kita, semua manusia, membutuhkannya.
Dengan kata lain, energi fosil beroperasi dengan dua modus kuasa politik: kuasa atas alam dan kuasa atas manusia. Itulah ekonomi-politik energi fosil.
Dengan energi fosil, kapital industri meluas dan merambah ke mana-mana. Mereka mengkonsentrasikan produksi nilai-lebih di dalam pabrik-pabrik skala besar di perkotaan, menjangkau wilayah-wilayah yang menyediakan tenaga kerja murah, menciptakan, dan sekaligus memainkan peran penting dalam, ekspansi geografi ekonomi baru.
Energi fosil menjadi penggerak utama (prime mover) untuk menopang perluasan reorganisasi ruang bagi akumulasi nilai-lebih. Demikianlah, kita hari ini tak pernah keluar dari perangkap bahasa fosil bahkan ketika membicarakan transisi energi ke sumber terbarukan dan lebih bersih.

Diversifikasi (bisnis) fosil
Ya, kita tidak keluar dari bahan bakar fosil. Alih-alih menghentikan ketergantungan terhadapnya, pengembangan energi terbarukan menguatkan kecenderungan diversifikasi (bisnis) fosil.
Pengertian pertama mengenai “diversifikasi (bisnis) fosil” adalah penggunaan energi fosil senantiasa sebagai bahan bakar di sepanjang rantai ekstraksi dan produksi apa yang disebut energi terbarukan dan energi bersih.
Sebagai contoh, pengembangan baterai untuk kendaraan listrik, yang diklaim sebagai industri energi hijau dalam melakukan transisi ke sumber lebih rendah karbon. Justru meneruskan dan memperpanjang jalinan rantai ekstraktivisme dengan dukungan tekno-industrial modern berbahan bakar fosil.
Industri pemurnian nikel untuk bahan baku baterai sangat bergantung pada pembakaran batubara di PLTU captive. Dalam 10 tahun terakhir (2013-2023), kapasitas terpasang PLTU captive naik 10 kali lipat: dari 1,4 gigawatt ke 10,8 gigawatt. Terdapat 39 proyek PLTU baru berkapasitas 13.000 megawatt hingga 2030.
Pengembangan baterai untuk kendaraan listrik— diklaim sebagai industri energi hijau dalam bertransisi ke sumber lebih rendah karbon–, justru meneruskan dan memperpanjang jalinan rantai ekstraktivisme yang ditenagai tekno-industrial modern berbahan bakar fosil.
Bahan untuk komponen baterai memerlukan penambangan mineral kritis dari perut bumi dalam jumlah teramat besar. Kobalt, lithium, grafiti dan nikel adalah beberapa bahan untuk baterai.
Penambangan bahan-bahan itu sudah menghancurkan ruang hidup dan kehidupan banyak warga di banyak negara-negara selatan. Pengolahan bahan-bahan ini—seperti pemurnian nikel—bergantung terhadap batubara yang pengerukan telah menghancurkan ruang hidup dan kehidupan banyak warga di banyak negara-negara selatan.
Singkatnya, penambangan nikel untuk jadi baterai, penambangan batubara, hingga penggunaan air dalam skala besar dalam pabrik smelter adalah satu gambaran bagaimana rantai ekstraktivisme berjejalin. Hal ini melahirkan rantai penghancuran ruang hidup (alam dan manusia, tanah dan tubuh) yang bersifat akumulatif dan berjejaring.
Penelitian kolaboratif antara Kora Maluku dan Sajogyo Insitute, yang berjudul “PLTU Captive: Proses Kavitasi Kondisi Sosial-Ekologi Pulau Obi,” menunjukkan, kehancuran dampak industri nikel berskala pulau.
Cerita Kawasi dan Pulau Obi terkoneksi dengan penambangan batubara di Kalimantan, terhubung dengan kawasan industri nikel lain. Jalinan rantai ini menghancurkan alam dan kehidupan berbagai komunitas lokal serta masyarakat adat, sekaligus pada saat bersamaan mengeksploitasi berlebihan buruh dalam setiap tahapan proses ekstraksi hingga produksi.
Selain itu, “diversifikasi (bisnis) fosil” merujuk pada konversi bahan bakar fosil menjadi beragam bentuk baru; dan lisensi bagi perusahaan energi fosil atau industri ekstraktif untuk ekspansi bisnis ke sektor energi baru dan terbarukan.
Periksalah regulasi energi nasional, seperti Perpres No. 112/2022 dan RPP KEN terbaru, sedang proses pengesahan. Keduanya memberi ruang pada keberlanjutan penggunaan bahan bakar fosil dan pada ekspansi perusahaan perusahaan energi fosil atau industri ekstraktif.

Diversifikasi (bisnis) fosil bukan sekadar tertuang di atas kertas dokumen kebijakan. Ia terdapat berbagai uji coba mengonversi batubara menjadi berbagai produk lain.
Di Riau, PT Bukit Asam sedang mengembangkan katoda dari batubara. Di Sumatera Selatan, PT Bukit Asam menggagas gasifikasi batubara menjadi dimethly ether (DME) untuk jadi alternatif LPG. Proyek ini berstatus sebagai PSN sejak 2020. Status itu mereka dapatkan karena melakukan hilirisasi industri batubara.
Sementara itu, di bawah nama diversifikasi energi, perusahaan energi fosil dan industri ekstraktif melakukan ekspansi bisnis energi mereka. Beberapa perusahaan energi di Indonesia mulai berinvestasi dalam energi terbarukan.
Pertamina mengembangkan energi panas bumi dan tenaga surya, dengan target kapasitas panas bumi 2.300 MW pada 2025. Adaro Energy menggarap proyek tenaga surya, angin, dan hidro di Kalimantan Selatan. Bumi Resources menjajaki gasifikasi batubara dan PLTS atap. Sedang Indika Energy membangun PLTS hybrid dengan baterai untuk program de-dieselisasi PLN. Perusahaan kehutanan dengan portofolio deforestasi besar juga merambah bisnis biomassa, dan tren ini terus berkembang.
Ekspansi ke pengembangan energi terbarukan dan rendah karbon itu memberi legitimasi bagi perusahaan energi fosil untuk melanjutkan ekstraksi sumber daya alam. Diversifikasi bisnis energi ini menyediakan lisensi bagi perusahaan energi fosil untuk mengakses berbagai kemudahan perizinan lahan, serta akses terhadap berbagai insentif fiskal dan non fiskal. Tentu saja ini makin memperkokoh dominasi kuasa mereka.
Pada akhirnya, bagaimana pun juga, penggunaan bahan bakar fosil mestilah berhenti untuk mencegah kehancuran lingkungan hidup. Namun, prosesnya bukan sesederhana sekadar mencabut energi kotor lantas mengganti dengan yang lebih bersih. Ini menuntut transformasi ekonomi-politik yang selama berabad-abad dilayani oleh bahan bakar fosil. Juga perlu perombakan radikal terhadap berbagai bentuk dominasi kuasa yang dibesarkan bisnis bahan bakar fosil.
Pernyataan Hasyim Djojohadikusumo bahwa Indonesia tidak akan lakukan pemensiunan PLTU sebetulnya mencerminkan bagaimana dominasi kuasa yang tumbuh dari bisnis bahan bakar fosil tidak ingin terganggu apalagi dirobohkan.
*****
*Penulis: Be’n Habib, adalah peneliti energi dan agraria di Sajogyo Institute, Bogor. Dia baru saja menerbitkan buku Energi: Kepengaturan-Politik Ekstraktif. Silakan diunduh: https://sajogyo-institute.org/energi-kepengaturan-politik-ekstraktif/. Tulisan ini adalah versi lebih panjang dari esai berjudul “Kegilaan Masa Transisi” yang tayang di platform pribadi. Penulis bisa dikunjungi di https://benhabib.substack.com/. Tulisan ini adalah opini penulis
Daftar Pustaka
Dagget, Cara. (2021) “Energy and Domination: Contesting the Fosil Myth of Fuel Expansion”. Environmental Politics. DOI: 10.1080/09644016.2020.180720.
Harvey, David. (2003) New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
Kamal S. Kumkelo, M. Jihad Hurasan, Mujakir Namma. “PLTU Captive: Proses Kavitasi Sosial-Ekologi Pulau Obi”. Working Paper Sajogyo Institute (Vol. 4, No. 1, Januari 2025). Bogor: Sajogyo Institute.
Larry Lohmann and Nicholas Hildyard. (2013) “Energy Alternatives: Surveying the Territory”. The Corner House.
————. (2014) “Energy, Work and Finance”, The Corner House.
Malm, Andreas. (2016) Fossil capital: the rise of steam power and the roots of global warming. Brooklyn, NY: Verso.
Pirani, Simon. (2021) “How energy was commodified, and how it could be decommodified”, People and Nature.
Raman, Sujatha. (2013) Fossilizing Renewable Energies. Science as Culture, Vol. 22. https://doi.org/10.1080/09505431.2013.786998
Franquesa, Jaume. (2018) Power Struggles: Dignity, Value, and the Renewable Energy Frontier in Spain. Indiana: Indiana University Press.
Sean Sweeney, John Treat and Daniel Chavez, Energy Transition or Energy Expansion?. New York and Amsterdam: Transnational Institute (TNI) and Trade Unions for Energy Democracy (TUED), October 2021.
Yuyun Indradi, et. al, Penangguk cuan transisi energi, Trend Asia: Juni 2024.
Akbar Bagaskara, “6 cara melepas jerat batu bara Indonesia secara bertahap”, the conversation, 10 Juli 2024.
Alexander Dunlap, “End the “Green” Delusions: Industrial-scale Renewable Energy is Fossil Fuel+”, Versobook.com, 18 Mei 2018.
CNBC Indonesia, “Begini Rencana Ekspansi Bumi Resources (BUMI)”, 13 September 2023.
Koran Tempo, “Pertamina Investasi Energi Terbarukan Rp 53 Triliun”, Jumat, 15 September 2017.
Kontan, “Geber ke Bisnis EBT, Adaro Energy (ADRO) Kembangkan Sejumlah Energi Ini”, Jumat, 22 Maret 2024.
Kompas.com, “Dalam 10 Tahun, PLTU Batu Bara “Captive” RI Naik 10 Kali Lipat”, Klik untuk baca: https://lestari.kompas.com/read/2024/04/26/150000786/dalam-10-tahun-pltu-batu-bara-captive-ri-naik-10-kali-lipat
Pradhipta Oktavianto, “Gasifikasi Batu Bara Bukan Kebijakan Tepat Transisi Energi”, Forest Diggest, 03 Februari 2025.
Tambang, “Indika Energy Akan Bangun PLTS Hybrid Dengan Baterai Di Indonesia Timur”, 27 Desember 2023.