Kala Walhi Laporkan Puluhan Kasus Lingkungan dan Korupsi

18 hours ago 7
  • Organisasi lingkungan di Indonesia, Walhi nasional dan daerah melaporkan 47 korporasi atas dugaan kasus kejahatan lingkungan hidup dan korupsi sumber daya alam ke Kejaksaan Agung (Kejagung), 7 Maret lalu.
  • Korporasi-korporasi ini ada di 17 provinsi, dari Aceh sampai Papua. Mereka bergerak di berbagai sektor seperti perkebunan sawit, pertambangan nikel, batubara, emas, dan timah, juga bisnis kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, dan pariwisata.
  • Korupsi sumber daya alam ini merugikan negara dan perekonomian dengan hilangnya mata pencarian rakyat, sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan. Juga biaya eksternalitas harus negara tanggung dampak aktivitas korporasi.
  • Harli Siregar,  Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, menerima laporan Walhi.  Laporan akan mereka telaah dan sampaikan kepada jajaran terkait.

Organisasi lingkungan di Indonesia, Walhi nasional dan daerah melaporkan 47 korporasi atas dugaan kasus kejahatan lingkungan hidup dan korupsi sumber daya alam ke Kejaksaan Agung (Kejagung), 7 Maret lalu.

Korporasi-korporasi ini ada di 17 provinsi, dari Aceh sampai Papua. Mereka bergerak di berbagai sektor seperti perkebunan sawit, pertambangan nikel, batubara, emas, dan timah, juga bisnis kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, dan pariwisata.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi menjelaskan, modus dugaan korupsi dan gratifikasi ini berupa: mengubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun Pasal 110 A dan 110 B Undang-undang Cipta Kerja.

“Gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai tata ruang,” katanya di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan.

Pelepasan kawasan hutan, katanya, hingga kini terjadi 12,7 juta hektar dengan target 26 juta hektar. Pelepasan kawasan hutan itu hanya menguntungkan korporasi.

Modus pelepasan kawasan hutan itu, katanya,  marak terjadi pada tahun pemilu dan pemilihan kepala daerah. Modus lain, membeli tanah murah dari masyarakat dan menghilangkan jejak kepemilikan tanah masyarakat.

Lebih besar lagi, katanya, modus dengan mengubah atau membentuk produk hukum yang mengakomodir kepentingan eksploitasi sumber daya alam dan pengampunan pelanggaran, atau yang biasa disebut state capture corruption.

Dia mengatakan, dugaan korupsi dan gratifikasi ini ada yang mengorkestrasi dan tergabung dalam kelompok atau “kartel”. Kejahatan sumber alam ini tidak hanya melibatkan korporasi, juga pejabat pemerintah dari tingkat desa sampai kementerian dan  wakil rakyat.

“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktik korupsi tersebut,” kata Zenzi.

Korupsi sumber daya alam ini merugikan negara dan perekonomian dengan hilangnya mata pencarian rakyat, sumber-sumber penghidupan, konflik, dan kerusakan lingkungan. Juga biaya eksternalitas harus negara tanggung dampak aktivitas korporasi.

Zenzi menaksir,  kerugian negara dari korupsi korporasi ini mencapai Rp437 triliun.

Selama ini, katanya, banyak kasus di daerah Walhi laporkan kepada aparat, namun mandek, cuma sedikit yang  proses.

Walhi nasional, katanya, bersama 17 Walhi daerah mendesak, Kejagung turun tangan mengusut dugaan korupsi itu. Mereka melihat Kejagung memiliki peran kunci guna memastikan penegakan hukum korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tak ada impunitas bagi pelaku.

Harli Siregar,  Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, menerima laporan Walhi.  Dia bilang, laporan akan mereka telaah dan sampaikan kepada jajaran terkait.

“Karena yang menjadi kewenangan kami terkait dengan tindak pidana korupsi dengan lingkungan. Jika nanti terkait pidana korupsi yang berkaitan dengan lingkungan, mungkin itu bisa ditindaklanjuti,” katanya.

Pelaporan Kasus Kejahatan Lingkungan dan Korupsi SDA ke Kejaksaan Agung 

Made with Flourish

Kasus-kasus di daerah

Kasus pertama yang Walhi presentasikan dalam audiensi dengan Kejaksaan Agung dari Aceh. Di sana, terdapat dua perusahaan sawit bermasalah. Masing-masing perusahaan mencemari lingkungan hingga memicu banjir.

Perusahaan sawit juga land clearing sebelum ada izin lingkungan. Perusahaan ini membuka hutan seluas 1.706 hektar. “Mereka mendapat izin tahun 2024, tetapi proses pembersihan lahan pertengahan 2023 sampai akhir 2023,” ujar Ahmad Shalihin,  Direktur Eksekutif Walhi Aceh.

Satu perusahaan lain menyerobot lahan warga seluas 160 hektar. Shalihin mengatakan, warga mendesak perusahaan kembalikan lahan garapan mereka.

Di Sumatera Utara, Walhi melaporkan kasus perkebunan seluas 47.000 hektar di kawasan hutan. Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut mengatakan, perkebunan ini mengakibatkan kerusakan hutan dan menggusur paksa masyarakat.

“Berbagai modus dan praktik penguasaan hutan secara sepihak oleh perusahaan tampak nyata dan gamblang merugikan negara dan masyarakat, serta ekosistem,” katanya kepada Mongabay.

Keberadaan perusahaan itu, menggusur 3.500 keluarga yang tergabung dalam kelompok tani. Dia bilang, sudah 20 tahun kelompok tani menuntut pemerintah, tetapi hasil nihil.

Kementerian Kehutanan, DPR, hingga proses hukum menyatakan perusahaan menguasai hutan secara ilegal. Dia mendesak,  Kejagung mengusut tuntas segala bentuk pelanggaran dan indikasi korupsi sumber daya alam di Sumut.

Di Sumatera Barat,  hal serupa terjadi: perusahaan sawit beroperasi tanpa izin sejak Januari 2021. Dugaan korupsi juga terjadi, atas pengambilalihan kebun sawit plasma seluas 374 hektar.

Sektor perikanan juga tidak luput dari kejahatan lingkungan. Tambak udang beroperasi di sempadan pantai secara ilegal dengan perkiraan rugi negara atas pemulihan lingkungan hidup.

Di sektor pertambangan, tambang batu gamping di Nagari Air Dingin, menyebabkan bencana banjir dan longsor yang merusak 52 rumah, 1,5 hektar lahan pertanian, dan memutus akses jalan masyarakat.

Di Riau,  hutan tergerus korporasi sawit, mulai dari perkebunan sawit merambah kawasan hutan seluas 124,1 hektar; perusahaan beroperasi tak ber-HGU; dan ada 150 hektar kebun sawit baru.

Perkebunan sawit dalam kawasan hutan seluas 4.822,19 hektar, terkonfirmasi mengalami kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2012-2015, 2019, dan 2023.

Pada sektor hutan tanaman industri terjadi berulang kali kebakaran, namun perusahaan tak menjalankan kewajiban restorasi. Ada dugaan perusahaan melanggar hak-hak pekerja, kekerasan perempuan dan mempekerjakan anak di bawah umur.

Di Jambi,  perampasan lahan marak terjadi, ada enam kasus melibatkan perusahaan, pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan tuan tanah lokal. Perampasan lahan merambah hingga wilayah adat Suku Talang Mamak.

Di Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung,  juga ada persoalan perkebunan. Terjadi tumpang tindih konsesi HGU yang masuk Suaka Margasatwa Dangku, tumpang tindih dengan hutan produksi.

Juga ada perusahaan tak menaati kewajiban plasma,  tidak mematuhi sanksi administrasi, izin HGU habis tetapi tetap beroperasi.

Tambang emas seluas 30.010 hektar berada di kawasan hutan Lindung Bukit Sanggul, Kabupaten Seluma, Bengkulu. Perusahaan belum mengantongi rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) dan amdal sebagai syarat operasi produksi pertambangan.

Di Kepulauan Bangka Belitung, pertambangan timah beroperasi tanpa izin, dokumen amdal cacat prosedur, dan aktivitas tambang ilegal di zonasi perikanan budidaya. Juga, melanggar Peraturan Daerah DAS dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

Di Kalimantan Tengah, sejumlah perkebunan sawit beroperasi tanpa izin lengkap, dari tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) seluas 15.932 hektar.

Juga melakukan aktivitas pembangunan kebun di ekosistem gambut fungsi lindung seluas 8.693 hektar, melakukan perusakan lingkungan dengan menanam di kawasan sempadan sungai dan raw, kebakaran berulang,hingga konflik agraria dengan warga.

Aparat kepolisian di kebun kemitraan PT HIP. Perushaaan lakukan pelanggaran kemitraan, dengan petani plasma. Foto: dokumen warga

Di Kalimantan Selatan, laporkan satu perusahaan tambang batubara karena menambang di luar izin konsesi. Juga infrastruktur tak sesuai standar kelayakan; dan aktivitas tambang mencemari lingkungan.

Lalu, tiga perusahaan sawit dilaporkan karena melakukan pembersihan lahan ilegal dengan dibakar, rekayasa sungai tanpa izin. Juga pelanggaran administrasi dalam penerbitan HGU, tanpa izin pelepasan kawasan hutan, pemanfaatan lahan tidak sesuai peruntukan menurut peraturan perundang-undangan.

“Kami melaporkan empat korporasi di sektor sawit dan tambang yang diduga korupsi. Hanya sebagian kecil dari sekian banyak perusahaan yang melanggar lingkungan hidup dan hak masyarakat adat serta petani,” kata Raden Rafiq, Direktur Eksekutif  Walhi Kalimantan Selatan.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), perusahaan daerah penyedia air bersih beroperasi di kawasan konservasi perairan, izin pemanfaatan ruang laut (PRL) telah dicabut Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jadi, ada dugaan dugaan gratifikasi dalam proses perizinan, dan penyalahgunaan tata ruang untuk kepentingan bisnis.

Di sektor tambang, keterlibatan tenaga kerja asing tanpa izin, beroperasi tanpa izin,  eksploitasi di zona konservasi dan aliran sungai.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), sektor energi menjadi problem. Geothermal Poco Leok, misal, menyebabkan perampasan lahan masyarakat adat dan kriminalisasi masyarakat adat.

PLTU Lifuleo dan PLTU Bolok di Kabupaten Kupang mencemari wilayah laut, Biota laut, dan berdampak pada petani rumput laut. Pencemaran itu, kata Walhi NTT, berpotensi merugikan negara.

Di sektor pertambangan mangan, aktivitas eksploitasi pada kawasan hutan lindung, menggusur kebun dan sumber air masyarakat, reklamasi pasca tambang tidak pernah perusahaan lakukan.

Di Bali,  laporkan dua kasus infrastruktur pariwisata. Pertama, kasus Jalan Tol Gilimanuk Mengwi, proyek strategis nasional era Jokowi ini menerabas 480,54 hektar sawah produktif.

Made Krisna Dinata, Direktur Eksekutif Walhi Bali mengatakan, pembangunan jalan tol ini akan menghilangkan hutan produksi terbatas seluas 76,35 hektar. Juga,  Taman Nasional Bali Barat (TNBB) 19,54 hektar, hutan 20,36 hektar, dan hutan lindung sekitar satu hektar.

“Proses pembangunan proyek ini diduga ada kasus korupsi. Itu terungkap pada 3 Januari 2024, I Wayan Koster (Gubernur Bali) diperiksa Polda Bali. Pemeriksaan itu diduga terkait kasus korupsi pembebasan lahan Jalan Tol Mengwi-Gilimanuk Bali,” katanya kepada Mongabay.

Kedua, investasi di Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali di Pulau Serangan, dia nilai diskriminatif dan merampas hak masyarakat lokal. Juga,  membatasi akses nelayan melaut.

Protes Suku Tobelo Boeng Wasile Selatan atas aktivitas tambang nikel  di hutan adat Halmahera Timur. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

Krisna mengatakan, upaya penguasaan Pulau Serangan oleh investor terlihat dengan pengajuan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).

“Ini mengkhawatirkan masyarakat lokal, sampai saat ini saja masyarakat aksesnya terbatas bila ingin melaut.”

Industri nikel mengancam lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara. Faisal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara mengatakan, ekspansi nikel menghancurkan wilayah tangkap nelayan, pencemaran lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati seperti mangrove, sigres, dan koral.

“Penegakan hukum tindak pidana korupsi harus segera dilakukan Kejagung, sebab bukti permulaan yang kami laporkan cukup kuat. Ditambah lagi, kasus korupsi perizinan tambang sebelumnya juga diungkap KPK,” katanya.

Di Papua, ada  laporan dua kasus. Pertama, di Kabupaten Merauke, hutan tanaman industri akan berubah jadi hutan tanaman energi.

Luas konsesi sekitar 159 hektar, meliputi wilayah adat di Papua Selatan: Kampung Kaliki, Kampung Senegi, Kampung Baad, Kampung Wayau, dan Kampung Koa Distrik Animba.

“Kami menduga ada pelanggaran terkait hak-hak masyarakat. Perusahaan melakukan pembelian kayu ke masyarakat di hutan adat,” kata Maikel Primus Peuki, Direktur Eksekutif Walhi Papua,  kepada Mongabay.

Kedua, pembukaan hutan oleh perusahaan sawit tanpa izin. Deforestasi terjadi tidak hanya di dalam konsesi, juga di luar konsesi. Penebangan kayu ilegal juga ditemukan di Kabupaten Jayapura.

“Masyarakat sudah melakukan penolakan penebangan kayu, ada tumpang tindih konsesi yang terjadi dengan perkebunan sawit,” kata Maikel.

Pembuatan kanal dan pembukaan hutan untuk periapan kebun sawit. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

******

Cabut 18 Izin Hutan: Perbaikan atau Beralih ke Perusahaan Baru?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|