- Pulau Sangihe belum baik-baik saja. Ketika ancaman dari tambang emas skala besar mereda karena izin sudah pemerintah cabut, tetapi ancaman lain muncul. Tambang emas ilegal pun masih bercokol menggerogoti pulau kecil di Sulawesi Utara itu.
- Agustinus Manahonas (79) sebut, aktivitas tambang di Sanghie hanya akan menghadirkan kerusakan, mengancam sumber pangan dan masa depan anak cucu warga Sangihe. Para nelayan juga akan kehilangan wilayah tangkap karena laut yang tercemar.
- Sebelumnya, ancaman tambang di Sangihe juga datang dari PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang peroleh konsesi seluas 42.000 hektar, mencakup 80 desa dan 7 kecamatan. Atas tuntutan warga, pengadilan kemudian membatalkan izin lingkungan dan operasi perusahaan ini.
- Frans Gruber Ijong, Guru Besar Politeknik Negeri Nusa Utara, Tahuna, Sangihe memiliki sumber daya laut melimpah. Seyogyanya, potensi itu dimanfaatkan optimal, bukan malah menghadirkan tambang yang justru menimbulkan kerusakan di darat dan lautan.
Agustinus Mananohas dan dua cucu perempuannya menyeberangi jembatan bambu. Jembatan memanjang di antara akar-akar mangrove yang mencengkeram tanah di pesisir Sangihe. Di ujung jembatan, ada keramba ikan belum lama terbangun. Tanaman sagu pun tumbuh subur.
Bagi Opa Agus, sapaannya, mengatakan, sagu tak sekadar sumber pangan juga kehidupan. “Warisan berharga untuk orang Sangihe,” kata lelaki 79 tahun itu kepada Mongabay, akhir Desember lalu.
Sayangnya, kehadiran tambang belakangan ini ancam masa depan sagu di Sangihe.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, hamparan bukit yang dulu hijau kini menganga luka. Tanah merah terkoyak oleh aktivitas pertambangan emas ilegal. Air laut yang seharusnya biru dan jernih, keruh dan berwarna coklat kemerahan karena terkena limbah.
Agus tinggal di Desa Salurang, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Sangihe, Sulawesi Utara (Sulut). Desanya berdekatan dengan Desa Bowone, lokasi pertambangan emas ilegal. Dulu, Bowone bagian dari Desa Salurang, sebelum jadi desa sendiri.
Bukit tempat tambang ilegal, dulu adalah hutan. Kehadiran tambang mengubah wajah kawasan hijau itu. Tak jarang, saat hujan tiba, air bercampur lumpur mengalir deras ke laut hingga kampung-kampung. “Benar-benar ancaman bagi kehidupan kami.”
Sebelumnya, Sangihe juga terancam pertambangan emas skala besar, PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Warga menolak keras dan menggugat hukum hingga pemerintah cabut izin operasi produksi perusahaan.
Lebih dari tiga tahun Opa Agus berjuang menolak rencana tambang TMS. Baginya, tambang akan rusak sumber penghidupan warga yang mayoritas petani dan nelayan. Kebun-kebun sagu, kelapa, cengkih, merica, akan rusak.
Begitu juga dengan kehidupan di laut dan pesisir, pasti terdampak karena cemaran sisa material yang terbawa ke laut. Buntutnya, hasil tangkapan akan turun yang akhirnya mengurangi pendapatan nelayan. “Sejak rencana tambang itu datang, warga merasa tidak tenang,” katanya
Agus masih ingat peristiwa yang dia sebut malam paling mencekam dalam hidupnya. Ketika itu, menjelang 17 Agustus 2022. Bersama 13 orang lain, termasuk lima perempuan, dia menghadang alat-alat berat perusahaan.
Aksi itu sebagai puncak kekesalan warga dari Kampung Salurang, Bowone, dan Binebas terhadap TMS . Terlebih, perusahaan diam-diam mobilisasi alat berat di tengah malam ketika warga tertidur, menuju lokasi pertambangan.

Pemerintah bergeming
Setelah putusan PTUN yang memenangkan gugatan 56 perempuan Sangihe pada 2022, perusahaan juga melakukan upaya serupa. “Yang saya heran bagaimana sikap pemerintah, aturan sudah ada, izin lingkungan sudah dicabut, tapi pemerintah diam saja.”
Ketidakpuasan itu mendorong Agus aksi lain. Dia bahkan pernah berdemonstrasi dengan membawa seluruh anggota keluarga, termasuk kedua cucunya. Baginya, ini bukan sekadar persoalan ekonomi, juga menyangkut masa depan anak cucu dan kelestarian alam Sangihe.
Konsistensi penolakan itu membuat TMS mendekatinya dan menawarkan pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi. Dia menolak. Hingga pada 2024, perwakilan perusahaan kembali datang untuk membujuk.
Bukan tanpa alasan bila Agus bersikukuh Menurut dia, tambang TMS yang konsesi sampai 42.000 hektar, meliputi 80 desa dan tujuh kecamatan akan mendatangkan kekusahan. Dia tak bisa membayangkan, kalau tambang seluas itu benar-benar beroperasi. “Pasti kerusakan massif,”katanya.
Sayangnya, di tengah kekhawatiran kerusakan Sangihe , sebagian warga memilih diam dan berharap ada orang lain yang berjuang. “Mungkin sudah didekati oleh orang perusahaan,” duga Agus..
Dengan kelestarian Sangihe, katanya, dapat dinikmati hingga anak cucu ke depan. Tatkala Sangihe rusak karena tambang, yang tersisa hanya kesengsaraan. Sedangkan perusahaan, bebas melenggang menambang di tempat lain.
Karena itu, demi menjaga harapan Sangihe yang bebas tambang, dia terus menanam sagu. Tanaman ini tidak hanya menjadi sumber makanan pokok warga, juga simbol perlawanan.

Kemenangan di meja hijau
Perlawanan warga Pulau Sangihe terhadap rencana tambang emas TMS, anak usaha Baru Gold Corp cukup panjang. Kala itu, Elbi Pieter bersama tujuh warga lain, didukung 30 penggugat intervensi, menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke PTUN 23 Juni 2022. Gugatan buntut peberbitan izin produksi TMS dari ESDM Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021.
Sempat PTUN tolak gugatan, warga memenangkan gugatan itu di tingkat banding. Putusan sama didapat warga ketika perusahaan dan ESDM ajukan kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK).
Sayangnya, kendati putusan pengadilan mencabut izin lingkungan dan produksi, TMS bergeming. Alih-alih menjalankan putusan itu, perusahaan justru manggandeng PT Arsari Tambang (Arsari Grup) untuk melanjutkan rencananya.
Jull Takaliuang, Koordinator Save Sangihe Island (SSI), mengatakan, sikap acuh TMS terhadap putusan pengadilan, tak lepas dari sikap cenderung diam pemerintah terkait persoalan ini. “Bahkan, ketika tambang-tambang ilegal sekarang marak di Sangihe, pemerintah juga tidak bertindak apa-apa.”

Frans Gruber Ijong, Guru Besar Politeknik Negeri Nusa Utara, Tahuna, Sangihe, dengan tegas menyatakan, aktivitas pertambangan, terutama yang dekat laut, hanya akan menimbulkan kerusakan signifikan pada ekosistem laut. Dampaknya bisa dirasakan pada skala regional.
Ijong menyoroti masalah bioakumulasi yang mungkin terjadi kalau ada pembukaan tambang. Menurut dia, biakumulasi merupakan konsentrasi zat beracun dalam rantai makanan. Situasi ini, katanya, mulai dari plankton tercemar oleh merkuri (Hg), merupakan salah satu limbah tambang. Ikan makan plankton, yang akhirnya membawa racun ke banyak tempat dan berujuing di manusia.
“Ini seperti nila setitik merusak susu sebelanga. Dampak pencemaran tidak hanya dirasakan biota laut di sekitar Bowone, juga merusak keanekaragaman hayati dan sumber daya perikanan di seluruh kawasan coral triangle,” katanya.
Sangihe, katanya, memiliki sumber daya laut melimpah. Seharusnya, terus dorong optimalkan potensi ini . “Seharusnya, ini yang menjadi fokus utama, bukan pertambangan yang jelas-jelas merusak.”
Berdasarkan data, potensi ikan pelagis kecil sebesar 323.400 ton, pelagis besar (tuna-cakalang) 1.062 ton, dan pelagis besar (tongkol) 18.505 ton. Potensi besar ini membuka peluang bagi pengembangan industri perikanan yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Sangihe tanpa harus mengorbankan lingkungan.
Pengembangan sektor perikanan sebagai alternatif ekonomi di Sangihe bukan hanya memanfaatkan sumber daya alam. Juga, membangun ekonomi berbasis pada potensi lokal dan ramah lingkungan.
Dengan fokus pada perikanan, katanya, Sangihe dapat membangun ekonomi lebih tangguh dan berkelanjutan, serta mewariskan lingkungan yang sehat bagi generasi mendatang.
Hal ini sejalan dengan kearifan lokal masyarakat Sangihe yang sejak dahulu hidup berdampingan dengan laut.
“Masyarakat Sangihe sejak dulu identik dengan nelayan. Laut adalah sumber kehidupan kami. Mengapa kita harus merusaknya dengan tambang?” ujar Robison Saul, nelayan yang menolak tambang emas . Dia sempat kena kriminalisasi dan masuk penjara 9 bulan.
******
Kala KESDM Cabut Izin Operasi Produksi PT TMS, Sangihe Belum Aman?