Ilusi Kesejahteraan Pekerja Kapal Tuna

3 weeks ago 44
  • Pekerja kapal tuna masih jauh dari kata sejahtera. Upah kecil, beban kerja berat. Dengan beban kerja begitu berat, tak sedikit pekerja alami depresi, bertikai dengan AKP lain, bahkan jatuh sakit. Meskipun begitu, banyak tetap terpaksa kerja.
  • Destructive Fishing Watch (DFW( melakukan penelitian guna memotret kondisi para pekerja di industri tuna di Bali, berikut rantai pasoknya. Sekitar 40% para pekerja perikanan di Benoa, Bali, mendapatkan informasi pekerjaan dari agen (calo), 67%  bekerja hanya bermodalkan KTP dan tak ada pelatihan sertifikat kecakapan bekerja di atas kapal. Bahkan, 59% tidak memiliki perjanjian kerja laut (PKL).
  • Nyoman Sudarta,  Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) mengatakan, pada 1990-2000-an masa tangkapan tuna melimpah. Bahkan, tuna-tuna berukuran besar mudah mereka dapat hanya radius 12 mil. Kini,  kapal-kapal longline harus melaut hingga di atas 200 mil.
  • DFW pun merekomendasikan pemerintah segera menyusun standarisasi dan perbaikan pola rekrutmen AKP. Misal, minimal SMK, memiliki keterampilan atau terlatih dan mengantongi sertifikat. Juga mendesak,  pemerintah memprioritaskan tata kelola perikanan yang komprehensif dan terkoordinasi.  Lalu, mendorong pemerintah segera menyusun skema pengupahan lebih adil dan transparan.

 Andika, awak kapal perikanan (AKP) tuna asal Tegal, Jawa Tengah itu mengemasi barang-barangnya di atas kapal, begitu menerima upah dari sang bos, akhir Juni lalu. Dia merasa sudah cukup menghabiskan waktu 10 bulan bekerja sebagai AKP tuna di Pelabuhan Benoa, Bali.

Dia ingin segera pulang dan kembali bekerja di daratan. “Saya kapok rasanya,” katanya sembari membetulkan rambut panjangnya yang menutupi kening.

Selama hampir setahun di atas kapal, Andika hanya mendapat penghasilan Rp33 juta. Itu pun belum potong biaya lain-lain, seperti pengganti travel dari rumah ke Benoa, kas bon, buku kapal dan lain-lain.

Pekerja 43 tahun ini bilang, dari Rp33 juta, bersih hanya Rp23 juta karena membayar utang dan potongan. Dengan begitu, rata-rata tak sampai Rp2,5 juta per bulan, jauh dari bayangannya.

Andika menceritakan, bekerja di kapal tuna tak pernah ada dalam benaknya. Namun, desakan ekonomi memaksa dia mengambil pekerjaan yang membuatnya jauh dari keluarga. Kemajuan teknologi komunikasi yang pekerja rasakan di daratan, tak berlaku bagi mereka di tengah laut. Apalagi di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) atau perairan lepas.

“Tidak ada sinyal. Wong kita melaut terkadang sampai ke dekat kutub selatan sana. Dingin, tidak ada sinyal sama sekali,” katanya.

Kapal-kapal memang punya telepon satelit tetapi tidak ada pekerja yang boleh menggunakan. Biasanya, fasilitas itu hanya untuk berkomunikasi dengan kantor perusahaan di darat.

Irfan, mantan AKP asal Jawa Barat,  pernah dua tahun bekerja di kapal tuna. Dia mengisahkan bagaimana pola kerja di kapal penangkap tuna.

Pukuk 04. 00 pagi, harus sudah bangun menabur pancing rawai tuna (longline). Proses ini memakan waktu cukup lama karena panjang tali utama bisa mencapai 80 kilometer dengan mata pancingsampai 1.500.

“Pancing itu dipasang di tali utama sambil kapal terus jalan,” katanya.

Perlu waktu sekitar 7-12 jam hanya untuk mengatur  dan mengulur pancing. Dari sejak subuh, proses ulur pancing berakhir sekitar pukul 12. 00 siang. Baru setelah itu, AKP istirahat sebentar dan kembali bangun pukul 16. 00 untuk menarik pancing.

Sama seperti saat pengaturan rawai, penarikan pancing ini juga memakan waktu lama. Dengan mata pancing sebanyak itu, proses tarikan bisa berlangsung hingga subuh. Praktis, Irfan dan AKP lain hanya punya waktu istirahat empat jam.

“Siklus itu terus selama 9 bulan, sampai waktunya pulang.”

Selain tuna, katanya, ada juga beberapa jenis ikan lain yang biasa mereka dapatkan, seperti hiu, pari, marlin, dan abangan (kakap merah).

Untuk hiu dan pari, para pekerja biasa diminta potong sirip di atas kapal dan pisahkan dengan tangkapan lain.

Dengan beban kerja begitu berat, tak sedikit pekerja alami depresi, bertikai dengan AKP lain, bahkan jatuh sakit. Meskipun begitu, banyak tetap terpaksa kerja. “Baru kalau sudah sekarat, dititipkan ke kapal collecting. Makanya, kerja di kapal itu keras, bisa-bisa pulang tinggal nama.” 

Mongabay sempat berbincang dengan Dewi, kerabat dari AKP yang dinyatakan hilang. Bahkan, sampai kini, korban yang bekerja untuk kapal tuna salah satu perusahaan di Benoa, ini tak pernah ditemukan.

“Saya dikabari kalau adik saya sempat sakit. Beberapa hari kemudian dihubungi kalau hilang, tidak ada di kapal,” katanya.

Sistem kerja buruk dengan jam kerja panjang menyebabkan AKP datang dan pergi. Ibarat lingkaran setan, banyak para penganggur melamar jadi AKP, kendati pun tak memiliki bekal pengetahuan memadai.

Ujung-ujungnya, mereka dapat bayaran upah murah tanpa jaminan perlindungan, bahkan jadi korban kekerasan di atas kapal, oleh AKP senior maupun kapten kapal.

Irfan tak menampik praktik kekerasan itu. Meskipun dia tak alami langsung, cerita kekerasan itu kerap dia dengar dari kapal-kapal lain. “Sering dengar cerita kekerasan itu dari teman-teman yang lain,” katanya.

Tak tahan dengan pola kerja kapal tuna yang super berat, Irfan pun memilih pulang dan mencoba mencari peruntungan di daratan.

Pemindahan tuna dari kapal pengumpul di Pelabuhan Benoa, Bali, ke kendaraan untuk masuk gudang perusahaan. Hasil tangkapan tuna dari laut sampai ke pelabuhan ini memerlukan proses panjang dan kerja keras para pekerja.  Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Jauh dari harapan

Bali dengan Benoa-nya adalah salah satu produsen perikanan terbesar di Indonesia. Riset Destructive Fishing Watch (DFW) pada 2022 memperlihatkan, potensi ekspor produk perikanan provinsi ini mencapai Rp1,9 triliun. Sayangnya, potensi ekonomi besar ternyata tak berjalan dengan kondisi para pekerjanya.

“Laporan kami menemukan kondisi pekerja sebagian belum ideal, kesejahteraan mereka masih jauh dari harapan,” kata Abdi Suhufan,  Direktur DWF, dalam wawancara dengan Mongabay, belum lama ini.

Sebelumnya, DFW melakukan penelitian guna memotret kondisi para pekerja di industri tuna di Bali, berikut rantai pasoknya. Data penelitian mereka dapatkan dengan mewawancarai langsung atau tak langsung (online) kepada para AKP di Benoa.

Laporan berjudul Kondisi Pekerja Perikanan dan Rantai Pasok Industri Perikanan di Pelabuhan Benoa, Bali (2023) itu terungkap, mayoritas pekerja perikanan di Benoa dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan persentase 29%, Nusa Tenggara Barat (NTB) 23%, Jawa Tengah (Jateng) 19%, Jawa Barat (16%) dan daerah lain 13%.

Temuan lain, sekitar 40% para pekerja mendapatkan informasi pekerjaan dari agen (calo), 67%  bekerja hanya bermodalkan KTP dan tak ada pelatihan sertifikat kecakapan bekerja di atas kapal. Bahkan, 59% tidak memiliki perjanjian kerja laut (PKL).

Laporan ini sejalan dengan temuan Mongabay di lapangan. Beberapa AKP ditemui sesaat sebelum lepas tali mengaku tak memiliki perjanjian kerja apapun. “Tidak tahu, pokoknya KTP dikumpulkan, begitu saja,” terang AKP asal Lombok, dibenarkan AKP lainnya.

Mereka bahkan tak tahu siapa pemilik kapal atau perusahaan tempat bekerja. Para AKP ini hanya diminta mengumpulkan KTP kepada seseorang yang disebut sebagai ‘orang kepercayaan perusahaan’, beberapa hari sebelum berangkat. Tak ada pembekalan atau pelatihan berkaitan dengan pekerjaan mereka di tengah laut.

Sipil hiu yang diangkut dari kapal pengumpul ke gudang perusahaan. Foto: A. Asnawi/Mongab ay Indonesia

Hasil riset juga ungkap kondisi para AKP yang tidak sejahtera, ada praktik kekerasan terhadap AKP baru non pengalaman, hingga upah tidak sesuai dan jauh di bawah UMR. Sistem bagi hasil, sebagaimana kesepakatan awal, seringkali tidak transparan, terutama berkaitan dengan timbangan hasil tangkapan, serta banyaknya potongan.

Abdi mengatakan, berdasar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33/2021, ada dua skema upah bagi AKP, yakni gaji pokok dan premi (bagi hasil) berdasar jumlah hasil tangkapan.  Sayangnya, perhitungan timbangan hasil tangkapan seringkali tidak transparan.

Dia bilang, hasil penelitian setidaknya ungkap ada kesenjangan mulai dari proses rekrutmen, sebelum dan saat bekerja hingga setelah bekerja yang tak sesuai ketentuan ILO. Akibatnya, terdapat pihak-pihak yang mampu mengekesploitasi celah itu dan berisiko memunculkan pelanggaran HAM pada pekerja perikanan.

“Pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan legislasi, peraturan dan regulasi menjamin hak tenaga kerja perikanan. Namun, persoalan seperti dualisme peraturan, dan persoalan tata kelola menghambat implementasi dari aturan itu,” kata Abdi.

DFW pun merekomendasikan pemerintah segera menyusun standarisasi dan perbaikan pola rekrutmen AKP. Misal, minimal SMK, memiliki keterampilan atau terlatih dan mengantongi sertifikat.

Organisasi ini juga mendesak,  pemerintah memprioritaskan tata kelola perikanan yang komprehensif dan terkoordinasi.  Juga, mendorong pemerintah segera menyusun skema pengupahan lebih adil dan transparan.

Selama ini,  katanya, ada potongan biaya operasional yang tidak mereka informasikan kepada pekerja, baik melalui PKL saat awal bekerja maupun selesai bekerja.

para pekerja kapan tuna  di Benoa. Setelah bongkar muatan, mereka lanjut melaut lagi. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Banyak tantangan

Terlepas dari persoalan tenaga kerja yang begitu komplek, industri tuna memang menghadapi banyak tantangan. Satu sisi, permintaan pasar memingkat memantik penangkapan berlebih . Sisi lain, perubahan iklim kian menambah beban pekerjaan di lapangan.

Wardai mengatakan, puluhan tahun jadi nelayan membuatnya tahu betul bagaimana sektor ini alami perubahan. Terutama,  dari jarak tempuh, beban kerja, dan biaya yang makin berat. Dulu, katanya, jumlah kapal belum sebanyak seperti sekarang, baik dari jumlah maupun ukuran. Menangkap tuna pun relatif mudah.

“Awal-awal dulu, tidak sepanjang ini kalau melaut. Dari yang awalnya dua hari, jadi lima hari, dua minggu, dua bulan, bahkan lebih,” cerita kapten kapal asal Pekalongan,  Jawa Tengah ini.

Untuk kapal pencari tuna, dia bahkan harus melaut 9-10 bulan baru bisa kembali ke pelabuhan.  Sebagai kelompok pelagis besar, hanya bisa dapatkan tuna di perairan lepas dengan suhu maksimum 27° celsius.

Belakangan, meningkatnya suhu di perairan tropis menyebabkan tuna kian bergeser mendekati kutub guna mencari suhu lebih sesuai.

Kastolani, nakhoda kapal tuna lainnya katakan hal serupa. Dia bilang peningkatan suhu laut menyebabkan gerombolan tuna tak tenang dan cenderung turun ke perairan dalam. “Tuna ini kan kelompok pelagis atas, artinya dekat dengan permukaan laut. Kalau suhu permukaan terlalu panas, otomatis mereka turun.”

Dulu, saat tuna sedang ramai, sebulan dia bisa mendapatkan 40-60 ton tuna. Kini, untuk mendapatkan tangkapan sama sudah sangat sulit. “Mungkin karena peningkatan suhu, juga kapal yang terus bertambah,” katanya.

Sulitnya dapatkan tuna itu kontras dengan beban kerja para anak buah kapal (ABK). Untuk mendapatkan tangkapan sebanyak itu, mereka harus bekerja lebih 12 jam di kapal di tengah samudera dengan gaji rata-rata Rp1,8-Rp2 juta.

Nyoman Sudarta,  Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) mengatakan, pada 1990-2000-an masa tangkapan tuna melimpah. Bahkan, tuna-tuna berukuran besar mudah mereka dapat hanya radius 12 mil. Kini,  kapal-kapal longline harus melaut hingga di atas 200 mil.

Nyoman bilang, dulu, setiap 100 mata pancing, bisa mendapatkan 50 tuna dengan ukuran rata-rata lebih 60 kilogram. Kini, dengan mata pancing sama, tak sampai 10 tuna dengan rata-rata yang tertangkap tak sampai 30 kilogram.

Dampak dari kondisi itu, katanya, biaya operasional menangkap tuna naik berlipat. Untuk menutupi pembengkakan biaya operasional, ikan-ikan non target seperti pedang, bahkan hiu juga diambil demi menutup kerugian. Dulu, tangkapan sampingan (by catch) hanya 10%, sekarang jadi 60%.

Nyoman mengingat, sekitar 15 tahun lalu, kapal longline tercatat 1.000 lebih. Belakangan terus berkurang, pada 2014  jadi 700, dan 2024 tersisa 275. “Karena itu tadi, biaya sangat besar, sementara tuna juga makin sulit.”

Abdi mengatakan, pemerintah perlu meningkatkan upaya pembudidayaan tuna di tengah permintaan pasar yang terus meningkat. Upaya Turki maupun Australia melalui tuna farming bisa jadi contoh. “Kalau tidak begitu, ke depan [tuna] pasti habis.”

Bongkar muat tuna dari kapal ikan ke angkutan darat di Pelabuhan Benoa, Bali. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

********

Tantangan Menuju Industri Tuna Berkelanjutan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|