Hutan untuk Pangan dan Energi? Perkuat Petani dan Sumber Lokal

3 weeks ago 48
  • Wacana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi tuai kritik. Alih-alih,  akan terjadi kedaulatan pangan dan energi, yang rentan terjadi ganggu kemandirian pangan masyarakat adat/lokal atau daerah bahkan memperburuk bencana ekologis. Mereka sarankan, lebih baik perkuat petani sebagai produsen pangan dan masyarakat penuhi energi dengan sumber terbarukan.
  • Ketika negara bicara masalah pangan, energi, dan air, dengan meletakkan semua itu dalam bingkai bisnis, tak akan pernah ada keadilan untuk rakyat dan lingkungan. Yang terjadi, pengabaian pangan lokal, masyarakat adat, dan budaya,  terutama dalam memenuhi kedaulatan pangan.
  • Seharusnya, pemerintah lakukan pendekatan pertanian berpusat pada manusia, penggunaan bibit lokal dan sistem pertanian lokal yang beredar di masyarakat. Harus segera tinggalkan pendekatan lama yang terbukti gagal.
  • Tren Asia mendukung dan mendorong inisiatif-inisiatif lokal dalam memenuhi kebutuhan energi di masyarakat.  Di beberapa wilayah sudah ada inisiatif dalam pemenuhan energi, terutama pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Pemerintah harus dorong inisiatif seperti itu, bukan membangun pembangkit listrik berdasarkan kemauan pemerintah saja.

Wacana pembukaan 20 juta hektar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi tuai kritik. Alih-alih,  untuk  kedaulatan pangan dan energi, malah rentan ganggu kemandirian pangan masyarakat adat/lokal bahkan memperburuk bencana ekologis. Mereka sarankan, lebih baik perkuat petani sebagai produsen pangan dan masyarakat penuhi energi dengan sumber terbarukan.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan, pemerintah gagal menjalankan komitmen mengurangi emisi karbon dan mengelola hutan sejak ada rencana ini.

“Kalau proyek 20 juta hektar hutan ini jalan dengan legitimasi pangan, energi, dan air, sebenarnya akan jadi proyek legalisasi deforestasi terbesar panjang sejarah,” katanya.

Menurut dia, negara gagal melindungi dan mengelola hutan karena selalu menempatkan terpisah antara masyarakat dan hutan.

Hutan yang tadinya rumah bagi masyarakat adat, alami privatisasi dengan label status kawasan hutan oleh negara. Setelah itu,  izin keluar buat korporasi untuk babat hutan jadi kebun kayu, kebun sawit, atau pertambangan dan lain-lain.

Muaranya, ancaman bencana ekologis tak berkesudahan karena alam sudah tak seimbang, hutan beralih fungsi, terjadi krisis iklim yang mengakibatkan banyak korban.

Identifikasi Walhi 2015-2022, bencana ekologis—menurut BNPB bencana hidrometeorologi—sudah menyebabkan,  10.160 korban meninggal dan hilang.

“Sebenarnya, 43.302.391 jiwa itu alami luka, mengungsi, dan terdampak kebencanaan 2015-2022,” kata Uli.

Negara, katanya,  harus menanggung kerugian Rp101,2 triliun dari bencana hidrometeorologi ini.

Petani varietas lokal padi bulu yang ditanaman masyarakat adat Desa Beleq Gumantar Kabupaten Lombok Utara bisa tumbuh dengan baik di lahan kering. Sistem pertanian masyarakat adat terbukti lebih adaptif terhadap bencana kekeringan. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Ketika negara bicara masalah pangan, energi, dan air, dengan meletakkan semua itu dalam bingkai bisnis, tak akan pernah ada keadilan untuk rakyat dan lingkungan. Yang terjadi, katanya, pengabaian pangan lokal, masyarakat adat, dan budaya,  terutama dalam memenuhi kedaulatan pangan.

Produksi pangan dengan model bisnis seperti itu, katanya,  hanya lebih menguntungkan korporasi daripada para petani skala kecil. Bahkan, pemerintah biasa menggunakan aparat keamanan negara untuk menjaga proyek ambisius itu.

“Dampaknya itu bukan hanya deforestasi, bukan hanya konflik agraria, bukan hanya biodiversitas hilang, bisa jadi nyawa masyarakat hilang ketika berjuang mempertahankan tanah. Negara memakai pendekatan keamanan agar proyek-proyek berjalan dengan mulus.”

Martin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, mengatakan, cara-cara pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional serupa dengan masa orde baru. Lewat program revolusi hijaunya, pemerintah memaksakan sistem pertanian di masyarakat tapak sesuai kepentingan korporasi.

Waktu itu, terjadi pemaksaan penggunaan benih, pupuk kimia, pestisida, kepada para petani melalui aparatur negara. Swasembada pangan seperti pemerintah inginkan terjadi, tetapi tidak berlangsung lama, hanya lima tahun.

“Tapi apa yang terjadi kemudian adalah pangan kita kemudian tergantung sama beras. Pada akhirnya, membuat tidak swasembada lagi,” katanya.

Dia bilang, 10 tahun terakhir,  2013-2023, petani dengan lahan di bawah setengah hektar (petani gurem) makin meningkat.

Bagi Martin, swasembada pangan yang pemerintah hembuskan saat ini adalah ilusi.

Bila mengacu pada rencana pembukaan 20 hektar untuk pangan dan energi, prosesnya tidaklah sederhana dan punya efek besar karena akan terjadi perombakan sistem pangan di Indonesia. Pemerintah, tak melihat peran strategis para petani kecil selama ini.

Lokasi ini dulu masuk dalam proyek food estate sawah Kalteng, tetapi gagal dan berganti untuk persiapan jadi kebun sawit. Foto: Pantau Gambut

Tak jelas

Keterbukaan informasi pemerintah minim,  hingga lokasi hutan proyek 20 juta hektar ini masih belum diketahui pasti. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, tertanggal 5 Desember 2014, hutan 20 juta hektar itu berasal dari 15.53 juta hektar belum berizin dan 5,07 juta hektar sudah berizin.

Dari yang sudah berizin itu, termasuk sekitar 1,9 juta hektar perhutanan sosial. Yang belum berizin, dari 2,29 juta hektar hutan lindung dan 13,24 juta hektar hutan produksi.

Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, menduga,  yang akan dibuka adalah hutan di Kalimantan dan Papua karena di dua daerah itu hutan  masih tersisa.

Yang mengejutkan bagi Amel, sapaan akrabnya,  masuknya hutan lindung dalam proyek 20 juta hektar ini.

“Hutan lindung harus ditetapkan sebagai fungsi lindung, tidak kemudian dialifungsikan menjadi kebun tanaman monokultur itu,” katanya.

Periode 2020-2024, Tren Asia mencatat, terjadi deforestasi legal dan terencana di dalam kawasan hutan yang sudah terbebani izin hutan alam dan hutan produksi di Kalimantan seluas 1,49 juta hektar dan Papua 408.000 hektar hutan.

Kalau tambah lagi pembukaan hutan, maka potensi bencana akan makin besar. Di Kalimantan,  sudah berkali-kali mengalami banjir besar dan longsor sejak alih fungsi hutan besar-besaran.

Dari 120 juta hektar lebih hutan Indonesia, ada 36,6 juta hektar kawasan hutan belum penetapan tata batas sampai saat ini.

Baginya, program pemerintah rencana pembukaan 20 hektar itu problematik di tengah masih banyak belum penetapan tata batas kawasan hutan.

Amal bilang, tujuan utama penetapan adalah mewujudkan kawasan hutan yang punya status jelas, tegas, dan mendapat pengakuan masyarakat serta bebas dari hak-hak pihak ketiga.

“Menurut saya,  tidak bijak kemudian pemerintah mengeluarkan program cadangan pangan dan energi di atas berbagai banyak problematika yang sudah ada.”

Pembangkit mikro hidro masyarakat di Desa Renah Kasah, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Dorong, perkuat petani dan sumber lokal

Martin pun memberikan masukan kepada pemerintah.  Seharusnya, pemerintah lakukan pendekatan pertanian berpusat pada manusia, penggunaan bibit lokal dan sistem pertanian lokal yang beredar di masyarakat. Dia bilang, harus segera tinggalkan pendekatan lama yang terbukti gagal.

Bicara pangan, katanya,  bukan hanya tentang produksi hasil pertanian, juga budaya petani masyarakat. Hal itu, katanya,  perlu pemerintah benar-benar perhatikan.

Pemerintah mesti ajak bicara petani dalam menentukan kebijakan perihal pertanian, tak serta merta membuat program skala besar begitu saja seperti food estate yang tidak mempertimbangkan petani lokal sama sekali, hanya korporasi.

Menurut dia, pemerintah juga perlu menggunakan pendekatan pangan lokal dalam memenuhi kebutuhan pangan. Tak hanya berbasis pada beras, tetapi bisa ke sumber pangan lain yang melimpah di Indonesia.

Kebijakan pertanian, katanya, harus berpihak pada petani, terutama petani kecil. “Indonesia sudah ada Undang-undang Petani (tahun) 2013, tapi itu tidak pernah operasional … Itu hanya on paper, kertas,” kata Martin.

Martin  juga singgung penggunaan terminologi.  Dia memilih gunakan kedaulatan pangan daripada swasembada pangan karena lebih memihak terhadap para nelayan, petani, dan masyarakat adat.

“Kedaulatan pangan itu menunjukkan, bagaimana rakyat negara itu bisa memenuhi pangan dengan cara yang menghormati alam.”

Kalau dengan model buka hutan, berdasarkan perhitungan Tren Asia, terdapat risiko emisi karbon 4,9 miliar ton, deforestasi 38% dari 20 juta hektar itu. Angka 38% berasal dari sejarah deforestasi perizinan berusaha pemanfaatan hutan tanaman eksisting sampai 2021.

Tren Asia mendukung dan mendorong inisiatif-inisiatif lokal dalam memenuhi kebutuhan energi di masyarakat.

Di beberapa wilayah sudah ada inisiatif dalam pemenuhan energi, terutama pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).

Pengolahan sagu. Sagu, salah satu jenis pangan lokal Papua. Sayangnya, dengan begitu banyak bisnis skala besar masuk, hutan-hutan sagu tergusur untuk berbagai kepentingan. Proyek proyek pangan dan energi di Merauke, Papua, makin mengancam salah satu sumber makanan pokok Orang Papua ini. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

Bagi Amel, pemerintah harus dorong inisiatif seperti itu, bukan membangun pembangkit listrik berdasarkan kemauan pemerintah saja.

Dia contohkan,  pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di Mentawai. Waktu itu, penduduk Mentawai sudah dapat bekal modul dan pelatihan membuat PLTS. Masing-masing keluarga di setiap rumah sudah punya modul. Setelah selama satu tahun, muncul proyek pembangkit listrik biomassa.

Penduduk pun menjual modul mereka karena akan beralih ke tenaga biomassa yang dibilang listrik bisa nyala 24 jam.

“Pembangkit listrik (biomassa) cuma berjalan enam bulan, sementara masyarakat sudah tidak punya modul. Jadi, masyarakat sekarang tidak ada akses lagi kepada listrik.”

Kebijakan yang bersifat top down seperti itu, menurut Amel, hanya akan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat di bawah, padahal sebelumnya mereka sudah berdaulat energi.

Di negara-negara daratan Eropa, seperti Inggris, yang saat ini pakai bioenergi sudah kebingungan memasok bahan dasar pembangkit listriknya. Justru Indonesia kini ekspor bahan-bahan itu ke negara-negara Uni Eropa,  Inggris, Korea Selatan, dan Jepang. Indonesia, katanya,  harus belajar dari tantangan negara lain itu.

Inisitif serupa bisa juga berasal dari masyarakat adat, seperti Masyarakat Adat Seberuang, Kampung Silit, Kalimantan Barat. Mereka bangun PLTMH dalam hutan adat seluas 4.000 hektar dan sudah ada pengakuan negara. Mereka bersolidaritas membangun kebutuhan pangan dan energi secara mandiri.

“Sungainya mereka pakai PLTMH dan mereka bangun sendiri, solidaritas. Enggak ada tuh uang dari negara. Mereka cuman butuh, proteksi aja hutannya’,” kata Uli.

Sayangnya, pemerintah mengeluarkan izin konsesi tambang emas di hulu hutan mereka. Yang terjadi, masyarakat berjuang melawan tambang emas itu. Masyarakat berhasil memenangkan, hutan mereka mendapat pengakuan.

“Berhentilah Indonesia menerapkan transisi energi yang energinya bergantung industri lahan. Semua bioenergi industrial pasti akan bergantung pada industri, pada lahan,” kata Amel.

Lahan sudah dibersihkan untuk food estate dan energi di Merauke, Papua. Proyek model ini malah berisiko hilangkan sumber pangan dan sumber segala masyarakat adat/lokal.  Foto: Yayasan Pusaka

*******

Berbagai Kalangan Ingatkan Bahaya Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|