- Masyarakat Kampung Cibetus, Desa Curug Goang, Padarincang, Banten, bertahun-tahun protes dan mengeluh polusi lingkungan karena operasi kandang ayam perusahaan, tetapi tak mendapatkan respon memadai dari pihak berwenang. Akhirnya, terjadi pembakaran peterkanan ayam perusahaan November tahun lalu. Polisi mulai menahan 11 warga pada 7 Februari lalu.
- Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Pijar, Walhi, dan YLBHI menyatakan, penangkapan 11 warga Padarincang bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan haknya.
- Roy, Koordinator Aksi Pembebasan Warga Padarincang, mengatakan, warga Padarincang sudah lakukan segala upaya memperjuangkan hak mereka atas lingkungan yang sehat. Sejak peternakan beroperasi, warga berulang kali mengajukan keluhan kepada aparat desa hingga kepala daerah. Sayangnya, aduan mereka seolah terabaikan.
- Rizal Hakiki, perwakilan TAUD, mengatakan, sejak beroperasi, peternakan sudah mencemari lingkungan dengan limbah yang mengganggu kesehatan warga dan merusak sumber air bersih di Padarincang. Alih-alih mendengar keluhan warga dan menyelesaikan akar masalah, kata Rizal, aparat justru melakukan tindakan represif.
“Suami saya diseret, dipaksa ikut. Saya ditodong senjata oleh polisi.” Begitu bunyi poster yang Saenah saat aksi di depan Gedung Polda Banten, 10 Februari lalu.
Perempuan 47 tahun ini dan puluhan warga Kampung Cibetus, Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Serang, protes penangkapan 11 warga yang diduga terlibat pembakaran kandang ayam PT Sinar Ternak Sejahtera (STS).
Tangis Saenah pecah saat mengingat suaminya, bersama 10 warga lain, aparat keamanan giring tanpa penjelasan.
Pada malam kejadian, puluhan polisi bersenjata lengkap mendatangi rumah-rumah warga.
“Suami saya tidak bersalah. Kami butuh keadilan, bebaskan suami saya, bebaskan semua yang ditangkap,” teriak Saenah saat aksi di depan Gedung Polda Banten, Senin (10/2/25).
Penangkapan warga berawal dari pembakaran kandang ayam 24 November 2024. Setelah pengusutan, polisi menangkap 11 warga Kampung Cibetus 7 Februari 2025, termasuk suami Saenah. Dari 11 orang, lima orang merupakan anak di bawah umur.
Polda Banten beralasan memiliki cukup bukti. Kombes Pol Dian Setyawan, Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Banten, mengatakan, tak melakukan klarifikasi terhadap para tersangka sebelum penangkapan karena telah mengantongi bukti cukup.
Penangkapan juga berdasarkan laporan STS, yang mengklaim mengalami kerugian Rp11 miliar.
“Kami masih mendalami kasus ini. Karena sudah naik ke tahap penyidikan, klarifikasi tidak lagi diperlukan karena penyidik telah mengantongi cukup bukti,” katanya kepada wartawan di Mapolda Banten, Senin (10/2/25).
Kakak dan anak Entu juga kena tangkap saat pulang mengaji dari surau. Keduanya baru saja selesai mengikuti pengajian rutin di surau kampung.
“Mereka tidak tahu apa-apa, hanya pulang dari mengaji, tiba-tiba ada aparat yang menangkap tanpa alasan jelas,” katanya dengan suara bergetar.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LBH Pijar, Walhi, dan YLBHI menyatakan, penangkapan 11 warga Padarincang bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan haknya.
Rizal Hakiki, perwakilan TAUD, mengatakan, penangkapan warga menunjukkan bagaimana aparat lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dibandingkan masyarakat terdampak. Dia menegaskan, protes warga terhadap keberadaan peternakan ayam milik STS bukan tanpa alasan.
Sejak beroperasi, peternakan sudah mencemari lingkungan dengan limbah yang mengganggu kesehatan warga dan merusak sumber air bersih di Padarincang.
Alih-alih mendengar keluhan warga dan menyelesaikan akar masalah, kata Rizal, aparat justru melakukan tindakan represif.
“Apa yang dilakukan Polda Banten adalah bentuk kriminalisasi warga yang berusaha memperjuangkan ruang hidupnya. Ini pola kriminalisasi yang sering terjadi ketika masyarakat berusaha membela hak mereka atas lingkungan yang sehat.”
Dari hasil audiensi dengan Polda Banten, mereka meminta kepolisian memfasilitasi pertemuan antara warga dengan pemerintah daerah, terutama Bupati Kabupaten Serang.
“Keinginan kami, 11 warga yang kini ditahan Polda Banten segera dibebaskan. Mereka (warga) sama sekali tidak ingin melakukan kejahatan.”

Dugaan cemari lingkungan
Ceritanya, pada 2013, Djohar Setiawan mendirikan usaha pembibitan dan budidaya ayam ras di Kampung Cigadel, Desa Curug Goong, Padarincang, kapasitas awal 30.000 ayam.
Setelah pendirian usaha, masyarakat sekitar mulai merasakan dampak limbah. Puncaknya, pada 2018, warga aksi mendesak penutupan pabrik. Pada Februari 2018, warga berhasil menutup peternakan.
Namun, pada 2019, PT Sinar Ternak Sejahtera (STS), bagian dari kelompok usaha PT Charoen Pokphand Indonesia, mengambil alih perusahaan peternakan ayam tanpa pemberitahuan kepada warga. Kapasitas peternakan jadi 270.000 ayam.
STS mendirikan usaha di Kampung Cibetus, Padarincang, berjarak hanya 15 meter dari permukiman warga. Tak ayal, banyak warga mengeluhkan bau busuk dari.
“Baunya menyengat sampai ke dalam rumah. Bayangkan selama 13 tahun kami harus hidup di lingkungan yang bau kotoran ayam,” kata Saenah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/2011 tentang Pedoman Pembibitan Ayam Ras yang Baik, jarak antara lokasi peternakan dengan lingkungan permukiman minimal 500 meter dari pagar terluar.
Warga Padarincang juga mengeluhkan sesak napas dan air sumur yang terkontaminasi limbah peternakan.
“Sumur-sumur warga di Padarincang banyak lendirnya sampai berwarna hitam pekat. Kami harus beli air galon buat menuhin kebutuhan sehari-hari kayak minum dan masak,” kata Saenah.
Roy, Koordinator Aksi Pembebasan Warga Padarincang, mengatakan, warga Padarincang sudah lakukan segala upaya memperjuangkan hak mereka atas lingkungan yang sehat. Sejak peternakan beroperasi, warga berulang kali mengajukan keluhan kepada aparat desa hingga kepala daerah. Sayangnya, aduan mereka seolah terabaikan.
Mongabay berupaya mengonfirmasi soal kebakaran peternakan sampai dugaan pencemaran lingkungan kepada perusahaan melalui surel Senin (10/2/25). Sampai berita ini terbit belum ada respons.

KPPU pernah putuskan melanggar kemitraan
Sebelumnya, STS juga terbukti melakukan praktik kemitraan tak adil terhadap peternak plasma. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menggugat perusahaan ini. Pada 2022, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi KPPU.
STS terbukti melanggar pelaksanaan kemitraan pola inti plasma sektor peternakan ayam terkait pengembangan dan modernisasi kandang.
Sebelumnya, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan Putusan KPPU Nomor 09/KPPU-K/2020 yang menyatakan STS melanggar Pasal 35 ayat (1) UU tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dalam pelaksanaan kemitraan dengan 117 plasma.
Dengan kasasi itu, putusan KPPU sebelumnya memiliki kekuatan hukum tetap dan wajib dilaksanakan.
Atas pelanggaran itu, KPPU menjatuhkan sanksi denda Rp10 miliar kepada STS dan merekomendasikan pencabutan izin usaha kalau tidak melakukan perbaikan dalam perjanjian kerja sama kemitraannya.
Adam Kurniawan, Kepala Divisi Pelibatan Publik Eksekutif Nasional Walhi, kepada Mongabay, Selasa (11/2/25) mengatakan, dugaan pencemaran dari peternakan ayam STS menyebabkan warga mengalami gangguan kesehatan mulai dari iritasi kulit, demam, hingga gangguan pernapasan lebih serius seperti infeksi paru-paru.
Per Desember 2024, kata Adam, ada sekitar 200 warga Padarincang terpapar gejala infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
“Protes warga terhadap perusahaan sudah lama sekali. Seharusnya pemerintah mengambil tindakan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti gejolak sosial.”

********
Menyoal Resistensi Antimikroba: Perketat Pengawasan Peternakan Ayam