Banjir, Urgensi Mitigasi Bencana di Jember 

1 week ago 21
  • Banjir jadi langganan Jember, Jawa Timur.   Seperti  banjir  setinggi hanpir setengah meter menggenangi jalan nasional penghubung Jember-Bondowoso, Jalan Slamet Riyadi, Kecamatan Patrang, akhir Februari lalu.  Hari itu, beberapa orang terlihat saling bantu mendorong kendaraan yang terjebak banjir. Lalu lintas lumpuh. 
  • Banjir di Jember mempertegas persoalan tata ruang yang problematik. Banyak daerah resapan yang beralih fungsi jadi permukiman. Masalahnya, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember 2024-2044 tak kunjung selesai dibahas. 
  • Joko Mulyono, ahli kebencanaan Universitas Jember katakan, potensi bencana di Jember cukup tinggi. Meliputi banjir, tanah longsor dan puting beliung. Pemetaan wilayah seharusnya menjadi dasar menyusun RTRW mengingat isu bencana erat kaitannya dengan keselamatan warga. 
  • Nanang Saiful Rizal, Ahli Teknik Sumber Daya Air Universitas Muhammadiyah Jember, mengatakan, selain memperbaharui drainase dua kali lipat dari yang ada sekarang, ia juga rekomendasikan konsep zero run off untuk atasi banjir. Sederhananya, begitu hujan turun di satu wilayah, harus meresap di wilayah itu, tidak boleh ke sungai atau ke wilayah lain. 

Banjir jadi langganan Jember, Jawa Timur. Seperti banjir etinggi hanpir setengah meter menggenangi jalan nasional penghubung Jember-Bondowoso, Jalan Slamet Riyadi, Kecamatan Patrang, akhir Februari lalu. Hari itu, beberapa orang terlihat saling bantu mendorong kendaraan yang terjebak banjir. Lalu lintas lumpuh. 

Penta Satria, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember,  menjelaskan, banjir terjadi usai  hujan lebat sekitar pukul 13.30. Debit air  tak tertampung  saluran irigasi hingga meluber ke jalanan.

Elisatul Hasanah,  pelajar kelas 3 SD, hilang terseret arus banjir. “Korban terbawa aliran Sungai Bedadung, Kelurahan Baratan, Kecamatan Patrang,” kata Penta. Sepekan sebelumnya, satu mobil putih mengambang dan berputar di atas air berwarna coklat saat banjir melanda  Jalan Kaliurang, Kecamatan Sumbersari, Jember.

Ahmad Halili, Ketua RW 15 di Kelurahan Kaliurang, mengatakan, banjir  sejatinya sudah biasa. Karena Kaliurang jadi buangan air dari hulu, seperti Sumber Beringin dan lain-lain. Air bisa masuk ke rumah warga sampai selutut.

Dia tinggal di Kaliurang mulai  1991 dan menjadi Ketua RW sejak  2014. Sejak itu, Kaliurang sudah sering tergenang. Kala itu, belum separah beberapa tahun terakhir ini.  Untuk mengurangi banjir itu, tahun lalu, Pemkab Jember menormalisasi beberapa saluran di Kaliurang.  Banjir  tak separah  sebelumnya, meski tetap  terjadi .

Halil menyebut, tidak ada sumur resapan di Kaliurang turut memperparah banjir. Sedangkan,  titik-titik yang dulu berfungsi sebagai daerah resapan, beralih fungsi menjadi permukiman. “Sekarang,  sedang pesat-pesatnya perumahan. Kalau ada sumur resapan, mungkin banjir bisa diminimalisir.”

Seorang warga menggendong ibu-ibu saat banjir melanda Jember. Foto: BPBD Jatim/Mongabay Indonesia.

Masalah tata ruang

Banjir di Jember mempertegas persoalan tata ruang yang problematik. Masalahnya, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Jember 2024-2044 tak kunjung selesai. 

Mengutip laman laman DPRD Jember, pada Agustus 2024, ada pembahasan raperda  tetapi  tertunda karena belum memuat peta mitigasi bencana di Jember, salah satunya soal  potensi gempa bumi dahsyat atau megathrust dari Samudera Hindia. 

Tabroni, Ketua Pansus 4 DPRD mengatakan, penundaan itu karena Kabupaten Jember masih belum menetapkan perda tentang penanggulangan bencana. “Raperda tentang Penanggulangan Bencana hingga saat ini masih  proses pembahasan dalam Pansus DPRD Kabupaten Jember,” katanya. 

Belum ada informasi baru tentang langkah-langkah apa yang akan bupati dan wakil bupati baru tempuh tentang raperda RTRW ini. Namun situasi banjir awal tahun 2025 ini sudah selayaknya menjadi atensi pemerintah.

Penta Satria, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik katakan, Pemkab Jember  mengeluarkan surat keputusan terkait status siaga darurat bencana hidrometeorologi tahun 2024–2025 pada 18 November 2024. “SK itu berlaku selama 199 hari sejak ditetapkan, atau berakhir pada tanggal 31 Mei 2025,” katanya.

Data BPBD, titik yang sering genangan meliputi Jalan Gajah Mada, Jalan Kaliurang, Kecamatan Patrang, Kecamatan Kaliwates dan di barat ada daerah Kecamatan Bangsalsari. 

Wilayah yang agak jauh dari kota tetapi rentan banjir meliputi Kecamatan Semboro, Sumberbaru, Puger, Ambulu, Wuluhan. Di wilayah kota dan sekitar, Kaliwates, Sumbersari, Patrang. Kalau tanah longsor potensinya di Kecamatan Ledokombo. 

Baru Desember lalu, bencana hidrometeorologi terjadi di Kecamatan Sumberjambe.  Banjir bandang menimpa tiga desa,  Desa Rowosari, Jambearum, dan Gunungmalang. Kala itu,  curah hujan tinggi membawa lumpur dan  kayu maupun material alam lain menerjang area di bawahnya.

Dia bilang, banjir juga ada kaitan dengan tata ruang, sistem drainase dan pola hidup masyarakat. “Kalau banjir di Jember, khususnya kota, ini genangan karena drainase sudah tersumbat sedimentasi dan sampah. Genangan bisa sampai 30 cm bahkan lebih,” katanya.

Banjir saat melanda Kabupaten Jember, Jawa Timur. Foto: BPBD Jember/Mongabay Indonesia.

Apa kata pakar?

Joko Mulyono, ahli kebencanaan Universitas Jember mengatakan,  berdasarkan indeks risiko bencana nasional, Jember punya risiko bencana cukup tinggi, meliputi banjir, tanah longsor dan puting beliung. Kondisi ini, rawan memburuk seiring  perubahan iklim. 

Indeks risiko bencana dan kajian pemetaan wilayah, kata Joko,  seharusnya menjadi dasar menyusun RTRW mengingat isu bencana erat kaitan dengan keselamatan warga. Artinya, dokumen RTRW harus berbasis mitigasi dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi dan warga. 

Universitas Jember, katanya,  sudah melakukan beberapa penelitian tentang kebencanaan di tingkat desa. Salah satunya, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kalijompo. Saat itu,  tim memasang alat pemantau di hulu untuk mengukur debit air.

“Kami berjejaring dengan Forum Pengurangan Risiko Bencana Kalijompo, melibatkan masyarakat lokal, perusahaan, perkebunan, perangkat desa, Babinsa dan Kamtibmas sampai akademisi dan BPBD,” katanya. 

Menurut dia, di bagian atas wilayah Kalijompo itu ada risiko longsor. Titik rawan berbentuk L di sisi hulu. Kalau longsor, Jember kota bisa terendam. 

“Penelitian lain adalah di Desa Wonoasri. Di Jember itu kita perlu bicara Gunung Meru Betiri. Karena di sana juga jadi salah satu titik konservasi air. Nah, Desa Wonoasri ini justru ada alami kekeringan. Padahal, logikanya, kalau di pinggir hutan, sumur tidak akan mati airnya,” kata Joko.

Hasil penelitian mereka ungkap,  ada alih fungsi hutan. Ada oknum masyarakat netel atau mengubah hutan jadi lahan pertanian dan kebun. Alih fungsi lahan dan pelanggaran tata ruang itu jadi masalah. Padahal,  dokumen RTRW  sebelumnya pun sudah menetapkan pembagian wilayah zonasi untuk hutan, pertanian, industri dan lain-lain. 

Ketika lereng bukit sudah berubah fungsi lahan menjadi pertanian produktif atau bangunan hunian, fungsi hutan lenyap. Pegunungan yang dulu banyak pohon dan jadi area tangkapan air kini sudah berubah hingga air tidak bisa meresap. 

Pembangunan hotel dan villa di dataran tinggi ikut menambah kerusakan. Di kota, pembangunan hunian yang melanggar garis sempadan sungai marak terjadi. Kondisi ini, membuat badan sungai semakin sempit. Dengan air meluber, kanalisasi di hilir tidak terpadu. 

Di pesisir, banyak tambak menghalangi laju air dari daratan. “Umpama rob, volume air dari utara besar, tapi rob besar juga, maka air terhambat ke lautnya, ngembeng sepanjang daerah aliran sungai. Apa yang terjadi? Maka daerah Kencong dan sekitarnya akan banjir,” katanya. 

Para peneliti juga sudah memetakan alur sungai sampai ke pesisir dari hulu ke hilir, mana yang tidak boleh jadi hunian  atau untuk pertanian. Namun , dia  tak begitu tahu perkembangan  pembahasan RTRW saat ini. 

Drainae di depan SDN Sumbersari, Jember. Para pakar mendorong pemerintah menambah kapasitas drainse hingga lipat dua guna cegah banjir. Foto: Gafur Abdullah/Mongabay Indonesia.

Mengamini Joko, Nanang Saiful Rizal, Ahli Ilmu Teknik Sumber Daya Air Universitas Muhammadiyah Jember, mengatakan,  posisi Jember yang rendah membuat air dari dataran tinggi datang berlimpah. Keberadaan sungai besar yang membelah kota berikut anak sungainya menjadikan Jember rawan banjir. 

Era Bupati Faida (2016-2021),  timnya pernah meneliti drainase Jember yang sudah melampaui kapasitas. “Seharusnya Jember memperbaharui drainase dua kali lipat dari yang ada sekarang,” katanya. 

Menurut Nanang, hasil penelitian itu, mereka serahkan ke pemerintah kabupaten, menjadi seminar publik dan publis di jurnal penelitian. Artinya, perguruan tinggi di Jember, sudah berupaya berkontribusi gagasan sesuai kapasitas keilmuan. Namun,  dia tak mengikuti bagaimana respon pemerintah atas penelitian itu.  

Nanang merekomendasikan,  solusi mencegah banjir dengan konsep zero run off. Secara sederhana, katanya, begitu hujan turun di satu wilayah harus meresap di wilayah itu, tidak boleh ke sungai atau ke wilayah lain. 

Untuk itu, setiap perumahan harus memiliki bendungan atau danau kota untuk menampung air hujan. Pemerintah kabupaten harus memastikan aturan ini bisa terlaksana dan  ada pengawasan. “Jadi, air hujan yang dari langit itu, seharusnya tidak dibuang begitu saja. Air hujan itu harus dimanfaatkan.”

***

*Liputan ini didukung oleh platform Lapor Iklim dan Yayasan Pikul.

Banjir Bandang Terjang Jember, Apa Penyebabnya?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|