Banjir Berulang di Sulsel, Krisis Ekologi Kian Parah?

2 months ago 83
  • Banjir melanda Makassar dan beberapa daerah lain di Sulsel, Rabu (12/2/2025). Ribuan warga terdampak, termasuk 2 korban jiwa di Kabupaten Maros.
  • Walhi Sulsel menilai banjir yang terjadi mengindikasikan krisis ekologi yang kian parah. Dari 139 DAS yang ada di Sulsel, hanya 38 yang masuk kategori sehat karena memiliki tutupan hutan di atas 30%. Sisanya, 101 DAS atau sekitar 72,6%, kritis.
  • Mitigasi dan penanganan bencana di provinsi ini harus dilakukan secara holistik, dengan pendekatan berbasis bentang alam. Pendekatan yang hanya berfokus pada wilayah administratif tidak lagi relevan mengingat keterkaitan ekosistem antar-daerah.
  • Rizal Pauzi, dosen kebijakan publik dari Universitas Hasanuddin sepakat banjir dan bencana berulang di Sulsel, khusus Kota Makassar, bukan sekadar karena intensitas curah hujan tinggi tetapi  menunjukkan  desain pembangunan kurang tepat. Pemerintah perlu evaluasi  komprehensif terkait tata ruang.

Hujan lebat dan angin kencang kembali melanda Sulawesi Selatan (Sulsel), menyebabkan banjir dan longsor di berbagai wilayah Rabu (12/2/25). Maros, Makassar, dan Gowa,  paling terdampak. Ribuan warga terpaksa mengungsi karena  bencana  ini. 

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maros menyebut, sekitar 4.000 keluarga  terdampak banjir tersebar di 14 kecamatan. Di Makassar, lebih  2.164 jiwa terdampak. Di Gowa juga mencatat enam kecamatan terdampak cuaca ekstrem kali ini.

Tim SAR gabungan turun ke berbagai titik terdampak di Makassar dan Maros untuk evakuasi korban. Kondisi jalan  sulit hingga  upaya tak mudah. 

Dua korban yang sebelumnya dilaporkan hilang di Maros  dalam kondisi tak bernyawa. Daeng Mading (60), warga Dusun Pampangan, Desa Abulo Sibatang, ditemukan 500 meter dari lokasi hilangnya. Alif (19), warga Kecamatan Turikale,  ketemu 100 meter dari titik terakhir  terlihat.

Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel, mengatakan,  banjir bukan sekadar fenomena alam tetapi  mengindikasikan krisis ekologi makin parah.

Catatan Walhi, dalam satu dekade terakhir, bencana di Sulsel meningkat drastis. Pada 2014, bencana  tercatat ‘hanya’ 54 kejadian, pada  2024,  melonjak hingga 362 kejadian!

Akhir 2024, Kota Makassar banjir karena hujan deras  terus-menerus. Banjir menyebabkan 1.969 jiwa dari 515 keluarga mengungsi di 28 titik. Empat kecamatan yang terdampak paling parah adalah Manggala, Biringkanaya, Panakkukang, dan Tamalanrea. Kerugian akibat bencana 2024 capai Rp1,95 triliun!. 

“Provinsi ini mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang sangat signifikan. Salah satu indikatornya adalah luas tutupan hutan yang tersisa hanya 1.359.039 hektare atau sekitar 29,70% dari total luas wilayah Sulsel. Ini membuat Sulsel masuk kategori kritis,” ujar Slamet, Sabtu (15/2/25).

Tim Basarnas mengevakuasi korban banjir di Sulsesl. Berkurangnya tutupan hutan serta buruknya tata ruang dinilai berkontribusi terhadap bencana yang terus berulang. Foto: Basarnas/Mongabay Indonesia.

Alih fungsi hutan dan lahan

Menurut kajian Walhi, berkurangnya tutupan hutan di Sulsel terpicu  beberapa faktor utama, seperti masifnya pertambangan, alih fungsi lahan, penebangan liar, dan pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Hilangnya hutan  besar-besaran berdampak langsung pada kondisi daerah aliran sungai (DAS) wilayah ini.

“Dari 139 DAS di Sulsel, hanya 38 masuk kategori sehat karena masih memiliki tutupan hutan lebih  30%. Sisanya, 101 DAS atau 72,6%, dalam kondisi kritis.”

Selain tutupan hutan  berkurang, faktor lain adalah eksploitasi sumber daya alam  tak  terkendali. Pertambangan, baik legal maupun ilegal,  merusak fungsi hulu sebagai penyerap air. Aktivitas ini berkontribusi pada erosi tanah, yang  akhirnya meningkatkan risiko banjir dan tanah longsor di berbagai tempat.

Alih fungsi lahan menjadi perkebunan skala besar juga berkontribusi. Menurut Walhi, banyak kawasan hutan  berubah jadi kebun sawit. Dampaknya, keanekaragaman hayati menurun dan mengurangi kapasitas ekosistem dalam menyerap air hujan.

Panorama Hutan Desa Labbo, Tampobulu, Banteng, Sulsel. Hutan Desa Labbo ditetapkan sebagai Hutan Desa melalui skema Perhutanan Sosial sejak 2010 lalu meliputi kawasan hutan seluas 342 hektar yang dibagi dalam 3 blok yaitu Blok Batu Leppa, Saroangin, dan Patiroang, serta 2 zona, yaitu Zona Lindung dan Zona Pemanfaatan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

“DAS Maros dan DAS Tallo menjadi contoh nyata. Drainase buruk dan  berkurangnya tutupan hutan membuat air tidak bisa terserap dengan baik. Di DAS Maros, misal, dalam 30 tahun terakhir luas hutannya telah menyusut hingga 1.057,90 hektar dari 70.860 hektar,” kata Slamet.

Dampak dari krisis ekologi ini pun makin masyarakat yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana rasakan. Mereka harus menghadapi ancaman kehilangan tempat tinggal, kerusakan infrastruktur, hingga hilangnya mata pencaharian akibat bencana yang terus berulang.

Di beberapa wilayah, masyarakat terpaksa mengungsi ke tempat aman. Namun, fasilitas pengungsian minim dan bantuan logistik yang terbatas membuat kondisi mereka makin sulit. Kondisi ini menunjukkan, pemerintah masih kurang sigap dalam menghadapi bencana yang sebenarnya bisa diprediksi.

Walhi Sulsel menekankan, pencegahan dan penanganan bencana di provinsi ini harus  holistik, dengan pendekatan berbasis bentang alam. Pendekatan berfokus wilayah administratif dia nilai tak relevan mengingat keterkaitan ekosistem antar-daerah.

“Tiap daerah tidak bisa hanya bertanggung jawab atas wilayahnya sendiri. Pemerintah perlu merumuskan strategi pencegahan dan penanganan bencana yang melibatkan berbagai daerah dalam satu kesatuan ekosistem. Kolaborasi antar-daerah mutlak diperlukan.”.

 Walhi juga mendesak, pemerintah memonitoring dan evaluasi ketat aktivitas industri yang merusak lingkungan. “Pertambangan dan pembangunan infrastruktur yang mengorbankan lingkungan harus ditindak tegas. Jika tidak, bencana akan terus meningkat, dan masyarakat jadi korban,” kata  Slamet.

Rizal Pauzi, dosen kebijakan publik dari Universitas Hasanuddin sepakat dengan pernyataan Walhi. Menurut dia, banjir dan bencana berulang di Sulsel, khusus Kota Makassar, bukan sekadar karena intensitas curah hujan tinggi tetapi  menunjukkan  desain pembangunan kurang tepat.

Dia  contohkan pada penggunaan ruang, seperti izin perumahan dan pembukaan tambang di lokasi zona banjir. “Perlu evaluasi  komprehensif terkait penggunaan ruang ini, sebagai landasan untuk perbaikan ke depan,” katanya.

Tak kalah penting, katanya, transparansi dan akuntalibitas publik terkait penyebab banjir. Selama ini,  pemerintah kurang terbuka mengenai penyebab bencana yang kian marak terjadi. “Kita tidak boleh membiarkan ketidakpedulian terhadap masalah ini, karena semua pihak harus terlibat dalam penanganan banjir ini,” katanya.  

Dia  mendorong, Pemerintah Sulsel menerbitkan kebijakan turunan dari UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) yang berkaitan dengan pengaturan pertambangan, hutan dan laut. Dengan begitu, upaya pencegahan dapat berjalan lebih efektif. “Termasuk mekanisme perizinan yang harus memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan lingkungan.” 

Petugas melakukan evakuasi korban terdampak banjir di Sulsel dengan menggunakan perahu karet. Foto: Basarnas/Mongabay Indonesia.

******

Koalisi Masyarakat Tuntut Evaluasi Konsesi Tambang Penyebab Banjir dan Longsor di Sulsel

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|