- Hasil kajian kondisi pekerja perikanan dan rantai pasok industri perikanan indonesia di Pelabuhan Benoa, Provinsi Bali oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia 2023 menunjukkan belum terpenuhinya unsur kesejahteraan pekerja.
- Sebuah inisiatif mulai terbangun sebagai kerangka perlindungan para pekerja perikanan dengan membentuk Forum Perlindungan Pekerja Perikanan di Bali. Kegiatan di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bali, tengah Januari itu melibatkan multi pihak. Mulai dari pemerintah, pekerja kapal, hingga pengusaha.
- Sekitar 67% responden Awak Kerja Perikanan (AKP) menyatakan hanya menggunakan KTP ketika melaut dengan tidak terdapat pelatihan untuk mendapatkan sertifikat sebelum bekerja di laut dan 59% tidak memiliki atau memahami Perjanjian Kerja Laut (PKL).
- Nyoman Sudarta, Sekjen Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), sepakat dengan berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja perikanan. Termasuk, mengikutsertakan mereka pada program jaminan sosial. Ia juga dorong pemerintah melakukan harmonisasi regulasi antara Permen KP 33/2021 tentang Tata Kelola Awak Perikanan dan beleid lain yang Kemenaker terbitkan, seperti UU Ketenagakerjaan.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan menunjukkan tren positif dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2024, PDB mencapai Rp407 triliun atau 2,25% dari total PDB nasional, sebagaimana laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sayangnya, tingginya kontribusi sektor perikanan tak berjalan linier dengan kondisi para pekerja di jaringan rantai pasok sektor ini. Di Bali, yang merupakan pusat pendaratan, pengolahan dan distribusi perikanan terbesar kedua di Indonesia setelah Muara Angke, Jakarta, misal, para pekerja kerap dapat bayaran murah dengan jam kerja tinggi dan masalah lain.
Sebuah inisiatif mulai terbangun sebagai kerangka perlindungan para pekerja perikanan dengan membentuk Forum Perlindungan Pekerja Perikanan di Bali. Kegiatan di Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bali, tengah Januari itu melibatkan multi pihak. Mulai dari pemerintah, pekerja kapal, hingga pengusaha.
“Ada banyak yang dibahas. Mulai dari penentuan upah, pola rekrutmen, dan sebagainya. Para pekerja kapal itu kan minim perlindungan, padahal risiko kerjanya tinggi,” kata Putu Sumardiana, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Bali, di sela kegiatan kepada Mongabay.
Dalam catatannya, ada sekitar 2000 pekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI) atau di darat dan tersebar di 58 perusahaan. Sementara jumlah pekerja di kapal 15.000-18.000 orang dengan 600-700 kapal. “Ada kesenjangan besar antara peraturan dan pelaksanaan,” katanya.
Pada tahap rekrutmen, calon pekerja belum memiliki kemampuan dasar. Pun demikian dengan akses pelatihan, dalam waktu bersamaan, perusahaan meminta sertifikat bagi anak buah kapal. Kontrak kerja di atas kapal juga belum banyak mereka pahami, hingga sistem pengupahan yang tak transparan.
Penelusuran Mongabay sebelumnya mengonfirmasi hal itu. Beberapa awak kapal perikanan (AKP) yang bekerja di kapal-kapal tuna tidak mendapatkan upah layak. Hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dan pemilik kapal/perusahaan tidak terbangun atas dasar perjanjian yang kuat.
Sumardiana berharap, kehadiran forum perlindungan pekerja perikanan ini tidak hanya dapat mendorong keberlanjutan produksi perikanan juga memastikan tata kelola perlindungan pekerja perikanan berjalan baik.
Berdasar data DKP Bali, potensi lestari perikanan tangkap di Bali 147.278,75 ton/tahun terbagi ke dalam kelompok ikan pelagis 123.906 ton/tahun dan demersal 23.372,75 ton/tahun. Dari jumlah itu, nilai ekonomi sebesar Rp3,35 triliun pertahun.
Sejauh ini, tingkat pemanfaatan baru 64% hingga terbuka untuk pengembangan. Dalam proyeksinya, 75-80% dari potensi lestari khusus untuk nelayan tradisional. Sedangkan pengembangan perikanan komersial mengarah ke pemanfaatan ZEEI dan laut lepas dengan jumlah nelayan sekitar 37.786 orang.

Kerjasama lintas sektor
Mohammad Abdi Suhufan, Staf Ahli KKP Bidang Perlindungan Nelayan dan ABK memaparkan, KKP bekerjasama dengan Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kemnaker untuk memperkuat kelembagaan perekrutan AKP dalam negeri, sosialisasi dan koordinasi penggunaan AKP asing.
Kerja sama ini juga dalam konteks pertukaran data dan informasi. “Terutama terkait perekrutan dan penempatan tenaga kerja bidang penangkapan dan pengangkutan ikan,”katanya.
Perjanjian juga dengan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Kemnaker. Ruang lingkup perjanjian berkaitan dengan pelaksanaan pengembangan sistem pengawasan ketenagakerjaan pada kapal perikanan, terutama implementasi K3.
Nyoman Sudarta, Sekjen Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI), sepakat dengan berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja perikanan. Termasuk, mengikutsertakan mereka pada program jaminan sosial. Masalahnya, ada pada AKP yang tidak memiliki KTP.
Dia mendorong, pemerintah melakukan harmonisasi regulasi antara Permen KP 33/2021 tentang Tata Kelola Awak Perikanan dan beleid lain yang Kemenaker terbitkan, seperti UU Ketenagakerjaan. Pun demikian dengan persoalan rekrutmen. Merujuk UU Pelayaran, rekrutmen seharusnya melalui agen resmi. Sampai saat ini, praktik itu tidak banyak berlaku.
Nyoman Erawan dari Kesatuan Pelaut dan Pekerja Perikanan Indonesia (KP3I) di Bali mengusulkan, sistem pengupahan non UMK/UMP pada pekerja perikanan di laut. Alasannya, jam kerja di laut berbeda dengan di darat, nyaris 24 jam. “Risiko kerjanya tinggi otomatis kesejahteraannya beda.”

Pembentukan Forum Perlindungan Pekerja Perikanan ini menindaklanjuti hasil kajian kondisi pekerja perikanan dan rantai pasok industri perikanan Indonesia di Pelabuhan Benoa, Bali oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia 2023. Dalam kajiannya, DFW menemukan banyak ketimpangan dialami para pekerja perikanan.
Profil responden adalah 51% AKP dan pekerja perikanan di Benoa berasal dari Provinsi NTT dan NTB, 23% dari Pulau Jawa, dan 26% dari Bali dan Sulawesi. Para pekerja mendapatkan informasi pekerjaan di kapal atau UPI 40% dari agent dan 27% dari teman/saudara.
Sekitar 67% responden AKP menyatakan, hanya menggunakan KTP ketika melaut dengan tidak terdapat pelatihan untuk mendapatkan sertifikat sebelum bekerja di laut dan 59% tidak memiliki atau memahami perjanjian kerja laut (PKL).
Sejumlah peristiwa yang pernah terjadi Benoa antara lain, AKP melarikan diri dari kapal, kekerasan akibat tidak ada pengalaman sebelumnya, dan upah tidak sesuai janji awal.
Abdi mengatakan, dengan sistem upah, seringkali upah AKP di bawah UMR. Sedangkan sistem bagi hasil, juga tak transparan, terutama timbangan hasil tangkapan. Selain itu, banyak potongan biaya operasional di laut, seperti rokok dan makanan.
Keadaan makin parah ketika jam kerja 16 jam sehari dengan fasilitas dan kebutuhan dasar tidak mencukupi, seperti, air bersih dan makanan sehat kurang.
Kondisi sangat berbeda dengan pekerja UPI yang lebih sejahtera dengan gaji minimal UMR Bali Rp2,7 juta, memiliki jaminan BPJS Ketenagakerjaan, dan kenaikan gaji setiap tahun.
Saat ini, terdapat tiga otoritas tata kelola di Pelabuhan Benoa yakni Pelindo (BUMN), Kementerian Perhubungan, dan KKP. Pelabuhan Benoa merupakan pelabuhan umum bukan perikanan menyebabkan tumpang tindih pengelolaan hingga terjadi ketidaksesuaian penerapan pengupahan pada AKP.
******