- Sebagian besar wilayah Pulau Kabaena telah terbebani izin tambang nikel, melanggar regulasi yang melarang tambang di pulau kecil.
- Sejak 2011, masyarakat lokal telah menolak kehadiran industri nikel. Namun, pemerintah dan perusahaan tetap melanjutkan aktivitas tambang, meskipun dampaknya merusak mata pencaharian dan kesejahteraan warga setempat.
- Warga Kabaena kehilangan pekerjaan. Laut yang tercemar membuat nelayan kesulitan menangkap ikan, sementara lahan pertanian tak lagi produktif.
- Polusi akibat tambang nikel meningkatkan kasus ISPA, infeksi kulit, hingga keracunan logam berat.
Suku Bajo di Pulau Kabaena, Sulawesi Tenggara sangat bergantung pada laut. Suku Bajo terkenal sebagai penyelam handal dan dijuluki ‘Aquaman’ Indonesia. Sayangnya kini, mereka menjadi korban dari masifnya pertambangan nikel di Pulau Kabaena.
Pulau Kabaena memiliki luas hanya sepertiga dari luas Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur, yakni 872 km². Tapi 75% wilayahnya sudah terbebani izin tambang nikel. Pesisir laut yang berada di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara ini sudah tercemar limbah nikel. Semburat kuning kemerahan mewarnai pesisir laut secara masif, kadang juga hitam akibat limbah batubara dan ore nikel.
Tak hanya pencemaran laut, kerusakan hutan dan pencemaran udara pun terjadi. Penelitian Satya Bumi dan Walhi Sultra menyebutkan 3.374 hektar hutan di Kabaena hilang sejak 2001-2022. Deforestasi ini mengakibatkan penurunan kualitas air sungai dan laut sekitar. Tak hanya lingkungan, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat juga terganggu.

Lalu, sebenarnya apa yang terjadi di Pulau Kabaena? Simak informasinya di bawah ini.
75% Luas Pulau Kabaena Terbebani Izin Tambang Nikel
Demam nikel menjadi wabah dari ambisi pemerintah untuk menjadi aktor penting dalam ekosistem kendaraan listrik. Pertambangan ini merambah hingga pulau-pulau kecil, termasuk Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan regulasi Indonesia, Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² tidak boleh ada izin pertambangan.
Ada 15 konsesi tambang nikel dengan luas 655 km² dari 837 km² total luas Pulau Kabaena. Tiga di antaranya tidak berada di kawasan hutan. Sedangkan, belasan konsesi tumpang tindih dengan hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi terbatas. Tak hanya itu, 10 izin diantaranya terbit sebelum 2012.
Tambang nikel di Kabaena ada lebih dari 10 tahun lalu saat disahkannya revisi tata ruang Sultra yang menurunkan status hutan kawasan hutan lindung. Tepatnya pada 2010, Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara menurunkan status hutan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi. Penetapannya disahkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011.

Baca juga: Ketika Tambang Nikel Ancam Laut dan Udara Kabaena
Warga menolak tambang
Warga Pulau Kabaena menolak industri nikel sejak 2011. Mereka khawatir industri industri nikel hanya akan membawa kesengsaraan bagi penduduk setempat. Majid Ege, Ketua Lembaga Adat Moronene pada saat itu telah menyatakan bahwa kehadiran puluhan perusahaan tambang akan membawa dampak negatif bagi lingkungan sosial.
Warga lokal pun mengalami diskriminasi dalam lapangan pekerjaan, mereka hanya dijadikan sebagai buruh. Sedangkan, para pendatang akan mendapatkan posisi lebih baik.
Sementara itu, Nur Alam mengatakan kehadiran industri nikel justru akan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Dia bilang nikel akan membawa dampak ekonomi berganda luar biasa bagi masyarakat Kabaena.
Faktanya, industri ini menjadi sumber pencemaran lingkungan di Pulau Kabaena. Masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatannya terus menurun.

Baca juga: Kabaena Hancur Demi Ambisi Kendaraan Listrik
Kehilangan wilayah tangkap dan lahan pertanian
Laut tercemar, hutan ditebang, polusi udara hingga perampasan lahan menjadi ancaman yang terus ada hingga saat ini. Penghasilan nelayan terus menurun akibat laut yang sudah tercemar.
Laporan Satya Bumi dan Walhi menyebutkan 82% warga Kabaena mengalami dampak penurunan ekonomi rumah tangga akibat tambang nikel. Sebelumnya nelayan tidak perlu berlayar jauh untuk menangkap ikan. Sekarang, air laut yang tercemar membuat nelayan kesulitan untuk memperoleh hasil tangkapan.
Tak hanya kehilangan laut, daratan sekitar milik masyarakat Kabaena juga tidak dapat memberikan mereka hasil seperti sebelumnya. Pada 2013, Badan Pusat Statistika mencatat Kabaena Selatan mampu menghasilkan kopi, coklat, cengkeh, dan jambu mete sebesar 255, 145, 37, 160, dan 1060 hektar. Namun, sejak 2018 tidak ada lagi lahan yang menghasilkan komoditas tersebut.
Kehadiran tambang menyebabkan tanaman di sekitarnya menjadi tidak dapat berkembang. Warga yang kegiatannya berkebun tak bisa melakukannya lagi. Pada akhirnya, masyarakat terpaksa menjual lahannya kepada perusahaan tambang.
Tak ada pilihan pekerjaan lain saat ladang dan laut tak lagi mampu memberi mereka makan. Kini mereka mengais lumpur limbah untuk dijual. Pada awal tahun ini, puluhan warga Desa Baliara, Kabupaten Bombana di Pulau Kabaena bersama-sama memasukan lumpur ke karung. Karung-karung ini mereka jual kepada PT Timah Investasi Mineral.

Ancaman kesehatan masyarakat
Selain merampas ruang hidup, tambang nikel juga menimbulkan dampak kesehatan yang serius bagi enam desa di Pulau Kabaena. World Health Organization menyebutkan batubara menjadi komoditas yang berbahaya nomor satu di dunia. Kini Pulau Kabaena penuh dengan polusi batubara baik di daratan maupun udara.
Kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) meningkat tajam pada anak dan nelayan. Masyarakat suku Bajo juga mengalami gatal-gatal hingga bernanah.
Pencemaran air oleh logam berat seperti timbal, merkuri, dan kadmium menciptakan efek domino. Penurunan drastis populasi ikan dan kerusakan terumbu karang menjadi dampak langsung dari pencemaran. Berkat itu, masyarakat suku Bajo terpaksa mengkonsumsi kerang yang terkontaminasi, menyebabkan sejumlah kematian dan masalah kesehatan serius seperti penyakit kulit, gangguan ginjal, hati, dan kanker.
Dulu Kabaena menjadi rumah, kini menjadi tempat berbahaya bagi kesehatan mereka. Sementara itu, pihak tambang tidak memberikan dukungan medis yang memadai atau kompensasi yang cukup.
Menanti Eksekusi Putusan Mahkamah Agung soal RTRW Pulau Wawonii Tak Boleh Ada Tambang