ALF 2025: Ajang Konsolidasi Masalah Agraria Asia

3 weeks ago 40
  • Forum Pertanahan Asia atau Asia Land Forum (ALF) 2025 dihelat di Jakarta, 17-21 Februari 2025. Forum ini merupakan wadah untuk membangun jejaring, kolaborasi serta mencari solusi dari sejumlah permasalahan agraria di Asia.
  • Dewi Kartika, Sekjen KPA, menyebut ALF 2025 sebagai pertemuan strategis di region Asia. Soalnya, kawasan ini dihuni sekitar 59% populasi penduduk dunia. Asia merupakan episentrum kekayaan alam dengan 670 juta hektar hutan, tanah gambut hingga 20,2 juta hektar, dan 1,7 miliar tanah pertanian.
  • Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi, menilai, ALF 2025 jadi momentum untuk refleksikan program-program pembangunan. Menurutnya, negara-negara di Asia, termasuk Indonesia sedang bertransisi dari negara penyedia bahan mentah menjadi negara industri.
  • Wahyu Binara Fernandez, Direktur Eksekutif RMI, berharap, ALF 2025 dapat mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat. Di Kabupaten Lebak, Banten, katanya, terdapat 522 komunitas adat. Namun, baru delapan hutan adat yang mendapat pengakuan. 

Forum Pertanahan Asia atau Asia Land Forum (ALF) 2025 akan berlangsung di Jakarta, 17-21 Februari 2025. Forum ini merupakan wadah untuk membangun jejaring, kolaborasi serta mencari solusi dari sejumlah permasalahan agraria di Asia.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, mengatakan, ALF 2025 memiliki tiga tujuan utama. Pertama, memperkuat konsolidasi gerakan masyarakat sipil dan mewujudkan tata kelola pertanahan yang berpusat pada kepentingan masyarakat di kawasan Asia.

Kedua, memperkuat dan memperluas kolaborasi organisasi masyarakat sipil. Ketiga, memperkuat pemahaman dan bertukar pembelajaran atas pencapaian dari setiap negara di Asia.

“Terutama untuk hasil-hasil kolaborasi dalam mewujudkan tata kelola pertanahan dan upaya reforma agraria yang berpusat pada kepentingan rakyat,” katanya dalam jumpa pers, Jumat (14/2/25).

Dalam ajang ALF 2025 ini, organisasi masyarakat sipil Indonesia bersama International Land Coalition (ILC) di Asia, sebagai penyelenggara, mengusung tema “Menjamin Hak atas Tanah untuk Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan”.

Lebih dari 500 peserta perwakilan organisasi masyarakat sipil, akademisi, aktivis dan pemerintah dari 14 negera di Asia akan hadir. Yakni, Indonesia, Timor Leste, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, Vietnam, Nepal, Bangladesh, India, Mongolia, Kyryzstan dan Kazakhstan

Peserta akan mengikuti rangkaian kegiatan, mulai dari kunjungan lapangan ke tiga komunitas, diskusi pada Hari Indonesia dan Hari Asia, hingga pertemuan internal anggota ILC.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Walhi, Sajogyo Institute (Sains), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) bergabung menjadi panitia nasional.

Menurut Dewi, ALF 2025 adalah pertemuan strategis di region Asia. Soalnya, sekitar 59% populasi penduduk dunia ada di kawasan ini. Asia merupakan episentrum kekayaan alam dengan 670 juta hektar hutan, tanah gambut hingga 20,2 juta hektar, dan 1,7 miliar tanah pertanian.

Namun, potensi kekayaan alam di Asia menghadirkan tantangan dan ancaman bagi masyarakat. Catatan KPA dan Koalisi Asia untuk reforma agraria dan pembangunan desa (ANGOC), sejumlah negara di benua ini tengah menghadapi ketimpangan penguasaan tanah, perampasan tanah dan eskalasi konflik agraria.

Pada 2023, mereka menemukan 690 kasus konflik agraria mencakup 1,87 juta hektar lahan. Konflik berdampak pada sekitar 2,2 juta individu di Indonesia, India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal.

“Kami harapkan, dari ALF 2025, penting duduk bersama pemerintah dari berbagai negara untuk bicarakan bagaimana mengatur ulang sistem agraria, pertanahan dan pengelolaan alam. Sehingga tantangan yang ada bisa diatasi bersama,” ucap Dewi.

Anu Verma, Koordinator ILC di Asia, menambahkan, faktor demografis dan kekayaan alam menjadikan Asia episentrum pertumbuhan ekonomi global. Sayangnya, perburuan mineral di Asia, termasuk Indonesia, menyebabkan peningkatan investasi tanah yang mengorbankan masyarakat lokal.

“Investasi pasar global yang kompetitif, menghidupkan kembali warisan ekstraksi kolonial dan semakin merugikan masyarakat,” katanya.

Perampasan tanah pun terus mengancam masyarakat, termasuk kelompok rentan, seperti perempuan. Di Asia, perempuan hanya memiliki 10,7% tanah, jauh di bawah rata-rata global. Ditambah lagi, satu dari 10 perempuan hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang memperburuk tantangan para pembela perempuan.

Putu Artana Ketua Serikat Petani Sumberklampok menunjukkan lahannya yang masuk kawasan sengketa agraria. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, menilai, ALF 2025 jadi momentum merefleksikan program-program pembangunan. Menurut dia, negara-negara di Asia, termasuk Indonesia sedang bertransisi dari negara penyedia bahan mentah menjadi negara industri.

Proses itu dia perkirakan berisiko memutus hubungan masyarakat dengan ruang hidup, menjadikan tenaga kerja murah, juga menambah konsekuensi kerusakan lingkungan.

Dalam 70 tahun terakhir, katanya, kultur dan tata kepemilikan lahan di Asia berubah signifikan, menjadi privatisasi. Padahal, peradaban, budaya, dan perekonomian masyarakat sangat terikat dengan wilayah yang sifatnya komunal. 

“Di Indonesia,  wilayah-wilayah komunal seperti perairan gambut, rawa, danau, termasuk pesisir dan laut sekarang sistem kepemilikannya jadi privat. Dalam hal ini didominasi kelompok korporasi,” ucap Zenzi.

Dorong komitmen pemerintah 

ALF 2025 akan menghasilkan joint statement (pernyataan bersama) antara organisasi masyarakat sipil dengan perwakilan pemerintah. Dewi bilang, ajang ini menjadi momentum dorong komitmen pemerintahan Prabowo-Gibran untuk jalankan reforma agraria sejalan dengan pemulihan hak rakyat dan penyelesaian konflik agraria. 

“Ini jadi pintu masuk bagi gerakan masyarakat sipil bersama pemerintah untuk menuangkan norma-norma yang disepakati. Agar, ke depan tidak ada lagi konflik agraria dan kekerasan yang dialami petani dan masyarakat adat.”

Imam Hanafi, Koordinator Nasional JKPP, menyebut ALF 2025 sebagai forum berbagi penting masyarakat di Asia dalam mewujudkan kedaulatan ruang. Juga, saling membereskan program pembangunan dari tumpang-tindih yang merugikan masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Pada  2024, sekretariat kebijakan satu peta mengklaim angka tumpang-tindih turun di angka 54,4 juta hektar, dari 77,3 juta hektar pada 2019. Namun capaian itu  tidak berkontribusi signifikan. Karena tidak mengakomodir wali data wilayah adat, dan tidak mengkompilasi peta partisipatif masyarakat adat dan lokal sebagai Informasi Geospasial Tematik (IGT).

“Perlu keseriusan lebih. Sampai saat ini, JKP  mencatat, 562 konflik sampai dengan 2024, itu ada di areal 5,15 juta hektar yang melibatkan 868.000  jiwa masyarakat adat dan lokal. Sebaran konflik paling banyak di perkebunan, kawasan hutan, dan tumpang tindih dengan areal pertambangan,” kata Imam.

Wahyu Binara Fernandez, Direktur Eksekutif RMI, berharap, ALF 2025 dapat mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat. Di Lebak, Banten, katanya, terdapat 522 komunitas adat, baru delapan hutan adat  mendapat pengakuan. 

Sedang masyarakat adat yang hidup di sekitar maupun dalam kawasan hutan, harus berhadapan dengan klaim penguasaan wilayah oleh negara. Situasi ini, berdampak pada akses dan kesejahteraan masyarakat adat. “Artinya, ketidakjelasan agenda pemerintah dalam isu masyarakat adat penting diperhatikan dalam ALF 2025.”

Aksi masyarakat adat dari berbagai daerah di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

Antisipasi perampasan ruang

Erasmus Cahyadi, Deputi 2 Sekjen AMAN  berharap,  organisasi masyarakat sipil dapat membangun kesepahaman dengan pemerintah untuk lakukan perubahan di masa depan melalui ALF 2025. Terutama, mengantisipasi ancaman perampasan ruang masyarakat adat.

Catatan Akhir Tahun AMAN menyebutkan, hingga akhir 2024, terdapat 121 kasus letupan konflik yang merampas 2,8 juta hektar wilayah adat di 141 komunitas. “Laju perampasan tanah masyarakat adat sangat besar, kurang-lebih 12 juta hektar dalam 10 tahun terakhir. Itu berisiko turunkan kualitas hidup masyarakat adat,” katanya. 

Ahmad Jaetuloh, peneliti Sajogyo Institute, sepakat, ALF 2025 harus jadi ruang  mengantisipasi kebijakan-kebijakan yang mengancam ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Salah satunya, transisi energi. Tanpa berkaca pada situasi lokal, kebijakan itu hanya akan memperpanjang krisis.

Seharusnya, transisi energi tak sebatas pengurangan emisi karbon dan pemenuhan bauran energi terbarukan tetapi harus berbasis pada hak atas tanah dan keamanan tenurial masyarakat.

“Kami definisikan energi sebagai pangan, hutan, air, dan juga sumber-sumber agraria, bagi masyarakat adat dan masyarakat pedesaan. Bukan (sebatas) listrik, tetapi energi untuk hidup,” kata Uloh.

Salah satu lokasi field visit ALF 2025 di Banten. Foto: KPA

*****

KPA: RUU Cipta Kerja Ancam Reforma Agraria

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|