Akses Terbatas, Masyarakat Kasepuhan Jamrut Tuntut Pengakuan Wilayah Adat

2 weeks ago 43
  • Masyarakat Kasepuhan Jamrut, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, Banten, menjadikan hutan adat mereka sebagi sumber kehidupan.
  • Namun, sejak penetapan kawasan hutan pada 1979, masyarakat Kasepuhan mengalami pembatasan akses terhadap tanah adat mereka seluas 2.642 hektar. Wilayah tersebut tumpang tindih dengan klaim sejumlah pihak.
  • Masyarakat Kasepuhan telah melakukan pemetaan partisipatif sejak 2015 untuk memperkuat klaim wilayah adat.
  • Masyarakat Kasepuhan berharap, pemerintah segera mengakui hak mereka atas tanah adat yang telah dikelola turun-temurun.

Tangan Murti (45) cekatan menganyam bambu berpadu rotan yang dijadikan tampah. Kedua bahan non-kayu itu, dia ambil dari hutan tak jauh dari tempat tinggalnya di Kasepuhan Jamrut, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, Banten.

Murti juga sering mencari buah seperti jambu air dan berbagai jenis sayur  yang tumbuh alami di hutan tersebut. Bagi dia, kebermanfaatan hutan ibarat dapur besar, penyedia kebutuhan hidup yang tidak habis dan gratis.

“Hutan dan alam itu tempat kami lahir dan besar,” terangnya, Senin (17/2/2025).

Sarhi, sesepuh adat Kasepuhan Jamrut atau olot, menyatakan bahwa lembaga adat menetapkan aturan dalam memanfaatkan hutan. Ada hari tertentu, warga dilarang masuk hutan.

“Keseimbangan ekosistem harus dijaga. Hutan bukan hanya untuk manusia, tetapi seluruh makhluk hidup,” terangnya.

Dalam konsep masyarakat Jamrut, hutan dibagi tiga ruang, yaitu hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan. Hutan titipan atau leuweung kolot, merupakan kawasan yang dipercayakan leluhur untuk dijaga kelestariannya. Masyarakat dilarang membuka lahan di area ini, karena dianggap sakral.

Hutan tutupan berfungsi sebagai kawasan yang dijaga untuk kepentingan ekologi dan keseimbangan alam. Sementara hutan garapan, merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan masyarakat.

“Meski memiliki hubungan erat dengan hutan, namun kami sering tidak dianggap sebagai pemilik sah, sehingga sering was-was masuk hutan,” jelas Sarhi.

Baca: Lindungi Hak Perempuan, Sahkan RUU Masyarakat Adat

Masyarakat Kasepuhan Jamrut, Desa Wangunjaya, Kecamatan Cigemblong, Kabupaten Lebak, Banten, menjadikan hutan adat mereka sebagi sumber kehidupan mereka. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Pembatasan akses tanah

Masyarakat Adat Kasepuhan Jamrut telah menempati wilayah seluas 2.642 hektar secara turun-temurun. Namun, sejak penetapan kawasan hutan pada 1979, mereka mengalami pembatasan akses tanah dan hutan, akibat tumpang tindih klaim berbagai pihak.

Kawasan hutan ini berada di bawah yurisdiksi Kementerian Kehutanan dan dikelola Perum Perhutani. Sementara, sebagian wilayah lainnya masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), serta areal penggunaan lain (APL) berada di Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

“Kondisi ini sangat besar dampaknya. Mereka ketakutan dan bahkan kehilangan akses ke hutan, yang selama ini sumber utama mata pencaharian mereka,” jelas Cecep Sanusi, penggerak Forum Advokasi dan Konsolidasi Wilayah Adat Lebak (Forum KAWAL).

Adanya konsesi perkebunan swasta di beberapa area non-hutan, juga tantangan yang dihadapi masyarakat dalam mengelola sumber daya alam. Untuk itu, sebagai bagian dari perjuangan memperoleh hak atas tanah, mereka telah melakukan pemetaan partisipatif yang dipimpin pemuda setempat.

Menurut Cecep, pemetaan batas luar wilayah sudah dilakukan sejak 2015. Namun, saat itu belum dirinci luas hutan, lahan garapan, dan permukiman. Pada 2024, komunitas ini kembali melakukan pemetaan.

“Tujuannya, adanya pengakuan legal wilayah adat.”

Baca: Nujuh Jerami dan Upaya Pengakuan Wilayah Adat Suku Mapur di Air Abik

Masyarakat Kasepuhan telah melakukan pemetaan partisipatif sejak 2015 untuk memperkuat klaim wilayah adat mereka. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Perkuat pengakuan wilayah adat

Fauzan Adima, Staf Pengorganisasian Masyarakat Rimbawan Muda Indonesia (RMI), menekankan pentingnya peran pemuda, tetua adat, dan masyarakat dalam mengidentifikasi wilayah adat mereka, melalui pemetaan spasial berbasis partisipatif.

Melalui pemetaan, masyarakat bisa menunjukkan wilayah kelola mereka sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan mereka di kawasan tersebut juga diakui komunitas lain di sekitar.

Proses identifikasi juga, bisa memberikan dasar hukum lebih mengikat untuk pengakuan wilayah Kasepuhan Jamrut. Secara legal formal, keberadaan Masyarakat Adat sudah diakui dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lebak No.8/2015.

“Tanah masyarakat Kasepuhan Jamrut hanya sekitar 10 persen. Selebihnya, lahan itu diakui pemerintah dan sebagai kawasan hutan,” jelas Fauzan, di sela field visit rangkaian Asia Land Forum 2025.

Fauzan mendesak, negara mengakui wilayah adat Kasepuhan Jamrut. Sebab, masyarakat sudah punya kearifan lokal mengelola tenurialnya sendiri. Mereka punya cara menjaga dan mengkonservasi hutan.

“Sejauh ini, wilayah mereka aman. Untuk itu, pemerintah daerah atau pusat bisa segera mengembalikan hak-hak mereka.”

sejak penetapan kawasan hutan pada 1979, masyarakat Kasepuhan mengalami pembatasan akses terhadap tanah adat mereka seluas 2.642 hektar. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Jaro Maman, Kepala Desa Wangunjaya mengungkapkan, ada beberapa wilayah yang dianggap sakral dan memiliki nilai budaya tinggi oleh masyarakat Kasepuhan Jamrut. Sebut saja, hutan Pondok Tondo, Gunung Batu Putih, dan Gunung Rahong.

Luas Wangunjaya sendiri sekitar 2.800 hektar. Dari luas tersebut, sekitar 733 hektar dikelola Perum Perhutani, 356 hektar PT Pertiwi Lestari, dan sisanya kawasan TNGHS.

“Rata-rata masyarakat Wangunjaya termasuk Kasepuhan Jamrut, bekerja sebagai petani. Persentasenya sekitar 80 persen, dengan produk utama beras dan gula aren. Selebihnya adalah pedagang,” paparnya.

ALF 2025: Ajang Konsolidasi Masalah Agraria Asia

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|