- Hutan mangrove berperan penting sebagai penjaga ekosistem pesisir, termasuk bagi pulau-pulau kecil di Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Mirisnya, hutan mangrove di Batam sedang dalam kondisi mengkhawatirkan karena pelindung pulau-pulau kecil itu terus beralih fungsi jadi proyek-proyek skala besar termasuk yang berlabel ‘proyek strategis nasional’
- Data BPDAS Sei Jang Duriangkang sebut, Batam sempat memiliki luas mangrove 18.335 hektar, setara 27% luas Kota Batam. Namun, belakangan amblas hingga hanya tersisa 4,2%, setara 1.743 hektar!
- Soni Herianto, Ketua Akar Bhumi Indonesia sebut, hilangnya tutupan mangrove jelas meningkatkan kerentanan pulau ini. Selain itu, tangkapan nelayan juga berkurang karena ikan tak lagi memiliki tempat pemijahan. Mangrove berperan penting menahan laju abrasi akibat terjangan ombak. Ketika mangrove hilang, abrasi di daerah pesisir akan berlangsung lebih cepat.
- Yarsi Efendi, Dosen Ekologi dan Pengetahuan Lingkungan FKIP Biologi Universitas Riau Kepulauan Batam, katakan, tergerusnya mangrove di pulau-pulau kecil di Batam sudah menjadi persoalan sejak lama. Sayangnya, ekosistem yang menjadi rumah bagi biota laut seperti kepiting dan udang itu terus hadapi tekanan. Padahal, mangrove adalah buffer zone untuk jaga kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan
Hutan mangrove berperan penting sebagai penjaga ekosistem pesisir, termasuk bagi pulau-pulau kecil di Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Mirisnya, hutan mangrove di Batam sedang dalam kondisi mengkhawatirkan karena pelindung pulau-pulau kecil itu terus beralih fungsi jadi proyek-proyek skala besar termasuk yang berlabel ‘proyek strategis nasional’
Di Pulau Tanjung Sauh, misal, atas nama pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan mangrove dan hutan yang menutupi wajah pulau terbabat, menambah dampak sosial dari proyek ini. Pun demikian di Moro, Kabupaten Karimun. Masyarakat setempat kaget dengan pancang di hutan mangrove untuk proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) perusahaan Singapura.
Hendrik Hermawan, Pendiri Akar Bhumi Indonesia (ABI) katakan, kerusakan mangrove terjadi di hampir seluruh Kepulauan Riau, terutama di Batam karena aktivitas reklamasi, industrialisasi dan permukiman massif, termasuk, pembangunan waduk.
Di pesisir Kampung Panau Nongsa, Kota Batam, misal, ABI menemukan hutan mangrove seluas delapan hektar hilang untuk pembangunan pabrik baja. “Di kawasan ini sedang terjadi reklamasi besar-besaran. Mangrove tertimbun, laut rusak dan banyak nelayan terdampak.”
Celakanya, reklamasi juga dia nilai tanpa prosedur ketat, tanpa pengawasan, bahkan cenderung asal-asalan. Tidak ada pelindung pantai atau dinding penahan. Dampaknya, material reklamasi acapkali meningkatkan kekeruhan air laut.
Soni Herianto, Ketua ABI mengatakan, dengan luas tak sampai 100.000 hektar, Batam termasuk kategori pulau kecil. Karena itu, hilangnya tutupan mangrove jelas meningkatkan kerentanan pulau ini.
Selain itu, tangkapan nelayan juga berkurang karena ikan tak lagi memiliki tempat pemijahan. “Yang jelas, areal dan hasil tangkap nelayan pasti berkurang, apalagi yang hilang itu di gugusan mangrove di pulau-pulau kecil,” katanya, Selasa (11/2/25).
Hal lain, katanya, yang seringkali terabaikan dari peran mangrove adalah kemampuan menahan laju abrasi dari terjangan ombak. Ketika mangrove hilang, abrasi di daerah pesisir akan berlangsung lebih cepat. “ Kalau mangrove hilang, sebenarnya itu ancaman bagi masa depan pulau itu sendiri.”

Tersisa 1.743 hektar
Data BPDAS Sei Jang Duriangkang.sejatinya, Batam memiliki sebaran kawasan mangrove terluas kedua di antara beberapa daerah di Kepri. Sayangnya, di waktu sama, Batam juga tercatat sebagai daerah dengan laju kehilangan mangrove tercepat.
Secara keseluruhan, ekosistem mangrove di pesisir Kepri 67.417 hektar. Di Kota Tanjungpinang 1.448 hektar, Kota Batam (18.335), Bintan (8.553), Lingga (19.056), Karimun (14.059), Natuna (4.873 hektar), dan Kabupaten Anambas (1.093).
Luas kawasan mangrove di Batam, menurut laporan itu sempat mencapai 27% dari luas Batam total 41.500 hektar. Namun, perusakan terus terjadi mengakibatkan mangrove di Batam nyaris habis, hanya tersisa 4,2%, setara 1.743 hektar!. “Luas ini akan terus berkurang jika tidak dicegah,” tulis BPDAS.
Merujuk informasi Badan Pengendali Dampak Lingkungan (BPDAL), sebagaimana dokumen BPDAS, sekitar 800 hektar mangrove antra lain hilang untuk berbagai kegiatan. Termasuk, 650 hektar di kawasan Tembesi karena beralihfungsi untuk sejumlah proyek, seperti waduk.
Bukan hanya di Batam. Kerusakan mangrove juga jamak terjadi di Tanjungpinang. Catatan BPDAS, hanya dalam 10 tahun terakhir, 40% hutan mangrove lenyap karena pencemaran dan reklamasi. “Rusaknya mangrove ancam mata pencaharian nelayan kecil pencari kepiting, ikan dan udang,” lanjut BPDAS.
Tahun lalu, Balai Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wilayah Sematera menetapkan, PT TMS (kepanjangan TMS apa?) sebagai tersangka korporasi atas perusakan mangrove di Tanjung Berakit Tiangwangkang, Kelurahan Tembesi, Batam. Luas mangrove rusak 22 hektar . Direktur TMS berinisial DS, jadi tersangka dengan barang bukti 11 truk dan satu bulldozer.
DS selaku pemberi perintah terjerat Pasal 98 Ayat (1) jo. Pasal 116 Ayat (1) huruf a jo. Pasal 119 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagaimana UU 06/2023 soal Perppu 2/2022 tentang Cipta Kerja dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 tahun, denda maksimal Rp10 miliar.

Rumah biota laut
Rahimah Zakia, Fasilitator Program Yayasan Ecology mengatakan, mangrove memiliki peran sangat penting di pulau-pulau kecil. “Salah satunya, sebagai penahan ombak, mengurangi ancaman banjir rob dan lainnya,” katanya dalam diskusi bertajuk: Perempuan dan Mangrove; Membangun Kedaulatan Ekologi dan Ekonomi di Pulau Bintan, Selasa (11/2/25).
Mangrove juga memiliki kemampuan menyerap karbon lebih besar daripada hutan daratan. Karena itu, hilangnya tutupan mangrove, akan memicu peningkatan suhu bumi dan meningkatkan ancaman abrasi.
Yarsi Efendi, Dosen Ekologi dan Pengetahuan Lingkungan FKIP Biologi Universitas Riau Kepulauan Batam, katakan, tergerusnya mangrove di pulau-pulau kecil Batam sudah menjadi persoalan sejak lama. Sayangnya, ekosistem yang menjadi rumah bagi biota laut seperti kepiting dan udang itu terus hadapi tekanan.
“Kerusakan ekosistem mangrove berarti hilangnya buffer zone (daerah penyangga) yang berfungsi menjaga kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan,” kata Yasri dalam tulisan bertajuk Mangrove Kian Tergerus Pembangunan.
Parid Ridwanuddin, aktivis lingkungan juga anggota Bidang Politik Sumber Daya Alam LHKP PP Muhammadiyah mengatakan, penyelamatan mangrove harus melalui political will. Salah satunya, mengevaluasi proyek-proyek yang mengancam mangrove , termasuk PSN.
Secara UU, katanya, sudah jelas melindungi hutan mangrove sebagai kesatuan ekologis. Misal, dalam regulasi UU Perlindungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ada larangan mengalihkan kawasan mangrove jadi industri dengan sanksi kurungan.
“Seperti tertuang dalam Pasal 73, sanksi merusak mangrove terdapat dalam UU itu, termasuk sanksi kepada pihak yang tidak melakukan mitigasi bencana, pelaku perusak mangrove juga bisa ditekan disitu.”
Jadi ketika bicara mangrove, statusnya jelas karena sebagai kesatuan ekosistem esensial harus mendapatkan perlindungan khusus oleh negara. “Maka, pemerintah harus evaluasi pembangunan-pembangunan yang merusak ekosistem tersebut.”
Dari segi regulasi, Indonesia memiliki perangkat kuat melindungi mangrove. Sayangnya, di lapangan, justru sebaliknya. “Seharusnya, kegiatan apapun, termasuk PSN yang mengancam mangrove, harus evaluasi. Persoalannya, pada political will pemerintah.”

Beda data
Walhi mengkritik, tata kelola mangrove di Indonesia. Dari situs resmi Walhi menyebutkan, setidaknya ada tiga poin tata kelola buruk mangrove di Indonesia. Pertama, data mangrove tidak konsisten.
Dokumen Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut, 2022 yang Badan Pusat Statistik (BPS) rilis sebut, luasan kawasan mangrove capai 2.320.609,89 hektar, hanya 30,32% dalam kondisi baik.
Peta Mangrove Nasional (PMN) dari KLHK tahun 2021 menyajikan data berbeda. Ppada dokumen luasan mangrove lebih dari 3,364,080 hektar dengan 92,78% sangat baik (lebat). Selain itu, dokumen juga mengklaim ada wilayah potensi mangrove seluas 756,183 hektar.
Kedua, berkaitan dengan terbitnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang revisi pada 2023. Pasal 5 UU Ciptaker, mengatur tentang legalisasi panas bumi di wilayah perairan yang berarti membuka ruang penghancuran mangrove.
Ketiga, Walhi menyoroti Pasal 3-7 Peraturan Pemerintah (PP) 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pada pasal itu menyebutkan, zona inti pada ekosistem mangrove boleh berubah untuk kepentingan PSN.
Laporan Walhi dalam dokumen berjudul “Negara Melayani Siapa?” juga menjadi potret lemahnya perlindungan mangrove di Indonesia. Menurut dokumen itu, hingga 2040, total wilayah pesisir untuk reklamasi capai 3.527.120,17 hektar. Sementara perlindungan mangrove, hanya 52.455,91 hektar. “Perbandingan yang sangat ironis jika dibandingkan dengan luasan proyek reklamasi,” tulis Walhi.
******
Hutan Mangrove dan Bukit Hilang Demi PSN di Pulau Kecil Batam