Abrasi Sumbar Parah, 700 Hektar Lebih Lahan Tergerus 

2 days ago 12
  • Abrasi yang melanda pesisir Air Manis, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) kian parah. Tercatat tiga rumah dan sebuah warung rusak diterjang gelombang. Situasi itu menjadikan penghuni rumah was-was, terutama saat istirahat. 
  • Hendri Zulviton, Kepala Pelaksana BPBD sebut, sepanjang 2024, tercatat lima kejadian abrasi terjadi. Yakni pada Januari (2), Oktober (2) dan Desember (1). Bila dibandingkan dengan tahun 2023, angkanya sama. Namun, jauh lebih rendah dibanding tahun 2022 yang capai 76 titik.  
  • Haryani, Akademisi Universitas Bung Hatta (UBH) dalam risetnya sebut, sepanjang 2003-2016, terjadi 32 titik abrasi di 5 kabupaten dan kota di Sumbar. Mulai dari Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman dan Kota Padang. Dari peristiwa itu,  732 hektar daratan hilang.
  • Tommy Adam, dari Walhi Sumbar menyebut abrasi yang tidak berperspektif lingkungan berperan meningkatkan laju abrasi. Hilangnya vegetas menjadikan pesisir kehilangan bentang alam. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi tata ruang dengan pendekatan lingkungan dan kebencanaan.

Bahrudin duduk termenung di rumahnya, di Kelurahan Air Manis, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar) belum lama ini. Tatapannya kosong ke dinding belakang rumah yang jebol. Dari tempat itu pula, gulungan ombak Samudera Hindia seolah ingin melumat rumahnya. 

Dia masih ingat betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Malam itu, dentuman suara ombak yang membentur dinding rumahnya mendadak membangunkannya akhir Desember 2024. Bersama istrinya, Dahlia, dia lantas memeriksa apa yang terjadi. “Tak bisa bilang apa-apa, hancur kena ombak,” katanya  Mongabay temui, Februari lalu. 

Pemerintah pernah datang dan melihat rumahnya yang rusak. Begitu juga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), memberi bantuan tenda untuk hunian sementara pada Februari lalu. Meski begitu, dia memilih tetap tidur di rumah walau dengan perasaan was-was tiap malam. 

Ada tiga rumah berjejer di dekat Burhanudin. Satu rumah  milik anaknya  juga mulai rusak kena gelombang. Satu rumah lagi milik tetangganya yang sama-sama tak layak ditempati. Untuk mandi, dia bahkan harus menumpang ke rumah anaknya meski dengan air asin karena sumur bercampur air laut. 

Kali kedua sudah rumah Baharudin kena hempas abrasi. Sebelumnya, sekitar 100 meter ke arah laut lebih dulu lenyap karena terjangan gelombang.

Pada 1985, dia tempati rumah yang sekarang. Tak dinyana, kejadian serupa kembali terjadi. Ombak yang datang menyapu bersih ruang kamar, dapur dan  kamar mandi.

Rumah anaknya yang berjarak beberapa langkah juga ikut rusak, termasuk warung yang menjadi tempat berjualan juga habis terkena abrasi. Hanya tersisa akar-akar kayu yang terlihat menjulur ke permukaan di antara pasir pesisir. 

Baharudin menghabiskan ratusan juta untuk membangun rumah  di sana. Duit itu merupakan tabungan dari jualan ikan dan bekerja sebagai hansip.  “Sekarang kalau hujan, saat tidur ada hujan masuk dan airnya kena kepala,” katanya menunjuk atapnya yang terbuka merenggang.

Nasib sama dialami Yus, warga lain yang tinggal sekitar tiga kilometer dari rumah Baharudin. Abrasi  membuat kamar anaknya berlubang, meski berulangkali ditutup. Dia  bahkan harus membeli selusin karung di pabrik roti. “Sebulan tiga kali beli dan satu lusinnya Rp300.000,” katanya sembari menyapu.

Sudah dua kali Lebaran batu grip atau pemecah ombak mereka pasang di sisi rumah yang menghadap laut, menyisakan jalan sempit selebar satu setengah meter antara rumah dan bebatuan besar itu. Meskipun begitu, dia tetap  khawatir terjangan ombak membuat batu penahan  terkikis. 

Rumah milik Baharudin di Kota Padang yang hancur diterjang gelombang. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia.

Penyebabnya?

Cerita Baharudin dan Yus hanyalah potret kecil fenomena abrasi yang terjadi di pesisir Sumbar. Catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang, selama 2024, terjadi lima peristiwa,  pada Januari (2), Oktober (2) dan Desember (1). 

Haryani, Akademisi Universitas Bung Hatta mengatakan, abrasi jadi ancaman di pesisir Sumbar. Riset  sepanjang 2003-2016, menemukan 32 titik abrasi di lima kabupaten dan kota di Sumbar, mulai  Pasaman Barat,  Agam,  Padang Pariaman, Kota Pariaman dan Kota Padang.

“Selama 13 tahun pengamatan ada 732 hektar abrasi dan akresi 55,4 hektar. Ini membuktikan,  bencana ini menyebabkan berkurangnya daratan Sumbar cukup besar. Yaitu, rata-rata 56,3 hektar per tahun, sedangkan penambahan daratan hanya 4,26 hektar per tahun,” katanya dalam Jurnal Tata Loka terbitan Planologi Universitas Diponegoro. 

Haryani yang juga dosen Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta (UBH) bilang, abrasi di Sumbar karena sejumlah faktor, Mulai dari tinggi gelombang, arus laut, tutupan vegetasi atau kerusakan mangrove. Bentuk garis pantai, kegiatan manusia, serta fenomena alam lain turut memberi kontribusi. 

“Misalnya di Pasie Nan Tigo atau Pesisir Selatan. Vegetasinya sudah habis, ditambah lagi bentuk garis pantai yang dominannya lurus. Karena gelombangnya tinggi ditambah tutupan vegetasi rendah maka tingkat ancamannya juga tinggi,” katanya. 

Pemasangan batu grip atau pemecah gelombang ombak, katanya, memang baik tetapi  tidak murah, bisa sampai miliaran  Cara paling murah, katanya, memastikan pembangunan tidak berdampak pada keseimbangan ekosistem pesisir.

Baharudin menunjukkan bagian rumahnya yang rusak diterjang gelombang. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia.

Haryani bilang, masyarakat Sumbar sejatinya memiliki kearifan lokal untuk menjaga kawasan pesisir. Di Padang Pariaman ,misal, ada kearifan bahwa 150-300 meter dari pasang tertinggi tidak boleh ada bangunan. 

“Biasanya bolehnya untuk bersawah atau berladang. Tidak boleh dibangun karena itu zona buffer atau penyangga. Sudah ratusan tahun ninik mamak kita melakukan itu. Ini yang harus kita hidupkan lagi, dan ini tidak memerlukan biaya,” katanya.

Sayangnya, saat masyarakat berkomitmen dengan kearifan itu, sebaliknya justru  pemerintah tunjukkan,  dengan membiarkan pembangunan di pesisir, tanpa mempertimbangan keseimbangan ekosistem. Pemerintah, katanya, harus lebih ketat dalam pemanfaatan ruang berdasar fungsi ekologinya. 

“Pembangunan kita seharusnya berwawasan lingkungan. Nah, rencana tata ruang itu ‘kan alat pra bencana. Setiap kota dan kabupaten punya rencana tata ruang, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dibangun.” 

Hidayatul Irwan, Ketua Forum Penanganan Risiko Bencana (FPRB) Sumbar mengatakan,  selain Sumbar, abrasi juga jadi ancaman bagi pesisir secara global. Situasi itu terjadi sebagai dampak perubahan iklim yang memicu peningkatan muka air laut. “Wilayah yang rentan ada di sepanjang pesisir pantai,” katanya.

Dia menyebut, penanaman mangrove bisa menjadi satu solusi. Masalahnya, tidak semua pantai bisa ditanami. Dalam situasi itu, adaptasi bisa menjadi solusi jangka pendek terutama bagi mereka masyarakat rentan. Misal, dengan menerapkan sistem peringatan dini (early warning system) di sepanjang pantai. Pemerintah juga perlu menyediakan tempat penampungan sementara bagi mereka yang terdampak. 

Eni Kamal, Kepala Pusat Studi Mangrove UBH sepakat hutan mangrove bisa menjadi alternatif cegah abrasi jangka panjang tetapi , harus ada jaminan tidak ada gangguan sekitar. “Untuk di kawasan wisata pesisir atau pantai diperlukan pengawasan agar mangrove yang ditanam tidak diganggu atau dirusak,” katanya.

Karena situasi mendesak, pemasangan batu grip dia nilai sebagai solusi tepat. Sebab, lokasi  abrasi itu terjadi merupakan pusat permukiman nelayan dan daerah wisata. Dengan begitu, memerlukan tindakan pencegahan lebih cepat. 

Sejumlah rumah di Pesisir Air Manis, Kota Padang yang terdampak abrasi. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia.

Evaluasi tata ruang

Tommy Adam, Koordintor Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumbar katakan, abrasi di Pantai Air Manis sebagai kejadian berulang. Sebelumnya, Walhi Sumbar lakukan analisa spasial multi temporal yang menunjukkan hilangnya daratan sepanjang 36 meter sejak 2016. Terparak pada 2023-2024, karena laju abrasi mencapai 10 meter.

Dari analisis peta itu, terungkap ada ratusan rumah berdiri di zona ancaman tinggi abrasi termasuk dalam zona ini adalah rumah-rumah  di sempadan pantai yang berjarak 100 meter. “Bila dikalkulasi dengan jumlah rumah, ada ratusan jiwa yang akan terancam keselamatan dan tempat tinggalnya,” katanya.

Dia nilai,  pemerintah kota ataupun provinsi gagal dalam menciptakan rasa aman dan memberikan perlindungan bagi masyarakat. “Derita yang dialami warga hari ini  akumulasi dari kelalaian pemerintah dalam mengantisipasi serta menangani dampak abrasi.”.

Pemerintah memang membangun pemecah ombak pada 2021 di Kelurahan Air Manis dan  terbukti tidak optimal karena terkesan itu  proyek hanya formalitas untuk melepaskan tanggung jawab. Kenyataannya, sampai saat ini, pembangunan Kota Padang cenderung berfokus pada pusat pemerintahan dan perkotaan. 

“Daerah pesisir  rentan seperti Kelurahan Pasir Jambak di Utara hingga Padang Selatan dan Kelurahan Air Manis di Selatan tidak mendapat perhatian yang memadai dalam upaya mitigasi,” katanya.

Ketimpangan itu makin nyata kalau  merujuk pada pembangunan batu bronjong dan tetrapod pemecah ombak di sepanjang Pantai Purus hingga Masjid Al-Hakim.

Menurut Tommy, pembangunan ini ironis karena  berjarak 386 meter dari titik rumah korban berdiri, Marawa Beach  dengan fasilitas mewah dan aman dari abrasi karena terlindungi batu pemecah ombak sepanjang 80 meter. Padahal,  batu-batu itu memicu kekuatan gelombang di area sekitar. 

“Kehadiran berbagai destinasi wisata baru telah menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi, seperti kelapa yang sebelumnya berfungsi sebagai penahan alami. Evaluasi ulang Rencana Tata Ruang Wilayah sangat diperlukan. Dari perspektif kebencanaan, kawasan ini memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap gelombang besar dan abrasi yang terus terjadi.”

*****

Dampak Krisis Iklim, Abrasi Terus Kikis Pesisir Sumatera Barat

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|