Upaya Warga Tambakrejo Hadang Abrasi dengan Tanam Mangrove

2 months ago 49
  • Sekelompok warga Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara menginisiasi pembentukan kelompok Cinta Alam Mangrove Asli dan Rimbun (CAMAR) pada 2011 dengan lakukan pembibitan dan penanaman mangrove. Mereka yakin tak ada kata terlambat untuk melindungi tempat tinggalnya.
  • Perempuan Tambakrejo juga lakukan pembibitan mangrove dan tergabung dalam perkumpulan Merah Delima (Menanti Cerah dengan Lingkungan Mangrove). Para perempuan juga dapat pelatihan mengolah makanan dari mangrove. Ada keripik mangrove, brownies dan aneka minuman.
  • Awalnya,  mereka belajar bagaimana menanam dan merawat mangrove. Tak semudah membalikkan tangan perlu kesabaran tinggi. Apalagi,  mangrove tumbuh dengan waktu cukup lama. Pembibitan saja perlu tiga bulan, tumbuh tinggi menjulang perlu puluhan tahun.
  • Kalau mangrove sudah mereka tanam bukan berarti pekerjaan selesai. Ada serangkaian proses harus dilakukan dari pengecekan, penyiraman dan penyulaman. Mangrove tak bisa langsung tumbuh, ada monitoring terus menerus.

Pesisir utara Semarang, Jawa Tengah,  berubah dari tahun ke tahun. Seperti di Tambakrejo, tangkapan ikan nelayan berkurang. Abrasi dan ancaman banjir rob sangat akrab bagi warga di pesisir.

Murtadi,  nelayan Tambakrejo merasakan perubahan, tangkapan ikan berkurang drastis, kebutuhan hidup terus meningkat. Pilihannya,  beradaptasi dengan mengandalkan rumpon atau bekerja di pabrik. Tak sedikit yang jadi buruh harian lepas atau merantau keluar kota agar dapur tetap mengepul.

Sekelompok warga Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, berupaya beraksi mengurangi dampak dengan menanam mangrove. Mereka membentuk Kelompok Cinta Alam Mangrove Asli dan Rimbun (Camar) pada 2011.

Tak jauh dari pelabuhan Tanjung Mas, mereka mulai menanam mangrove. Beranggotakan 10 orang dengan sebuah misi, berupaya mengembalikan tanah kelahiran mereka.

“Kami punya misi mengembalikan desa kelahiran yang rentan abrasi dengan mangrove. Meski gak bisa 100%,”  kata Juraimi, Ketua Camar, kepada Mongabay, awal November lalu.Awalnya,  mereka belajar bagaimana menanam dan merawat mangrove. Tak semudah membalikkan tangan perlu kesabaran tinggi. Apalagi,  mangrove tumbuh dengan waktu cukup lama. Pembibitan saja perlu tiga bulan, tumbuh tinggi menjulang perlu puluhan tahun.

Kerja keras tak mengkhianati hasil. Puluhan tahun bergelut langsung dalam pelestarian mangrove, kini pesisir utara Semarang mulai rimbun. Setidaknya,  2,5 hektar hutan mangrove berhasil mereka tanam dengan target 10 hektar.

Bibit mangrove. Foto: Wulan Yanuarwati /Mongabay Indonesia

Kelompok Camar kerap didatangi akademisi yang ingin belajar menanam mangrove. Mereka juga kerap kedatangan berbagai instansi swasta maupun pemerintah untuk bersama-sama menanam mangrove.

“Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Ini melindungi kampung sendiri,” katanya.

Anggota Camar tak mendapatkan upah dalam menjalankan tugas. Mereka bergantian dan bergotong royong, mulai dari pembibitan sampai perawatan.
“Gaji gak hanya uang tapi juga kesehatan. Walau dikasih uang banyak tapi sakit-sakitan gimana? Kita banyak bersyukur,” katanya.

Bergantian, mereka melakukan pembibitan mulai mencari bibit di sekitar Demak. Uniknya, bibit ditanam di bambu yang sudah dipotong rapi. Mereka tak gunakan polibag plastik. Alasannya, karena sampah plastik bakal jadi masalah baru.

Hutan mangrove nan rimbun di Tambakrejo. Foto: Wulan Yanuarwati /Mongabay Indonesia

Maka bambu-bambu panjang mereka bawa ke lokasi pembibitan dengan perahu. Mereka membeli bambu lalu memotong kecil-kecil.
“Mangrove bergoyang bukan hanya karena terpaan angin tapi berdzikir mendoakan yang menanam dan merawatnya. Itu jadi keyakinan kita untuk terus kolaborasi menjaga alam.”
Kalau mangrove sudah ditanam bukan berarti pekerjaan selesai. Ada serangkaian proses harus dilakukan dari pengecekan, penyiraman dan penyulaman. Mangrove tak bisa langsung tumbuh, ada monitoring terus.

Untuk regenerasi aksi ini, mereka melibatkan generasi muda dalam kepengurusan. “Dalam struktur kepengurusan, kami libatkan tiga remaja, supaya mereka menggaet teman-teman lain.”

Para perempuan Tambakrejo berperan sebagai pembibit juga memanfaatkan mangrove jadi beragam pangan. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia

Aksi Perempuan Tambakrejo

Perempuan Tambakrejo turut sama, lakukan pembibitan mangrove dan tergabung dalam perkumpulan Merah Delima (Menanti Cerah dengan Lingkungan Mangrove).
Para perempuan melakukan pembibitan dengan telaten di sela-sela pekerjaan rumah tangga. Mereka kerjakan itu dengan semangat.
“Kami 18 anggota, sukarela dan kesadaran saja,” kata Sunarni, Ketua Merah Delima.
Proses pembibitan tumbuh tunas sekitar tiga bulan. Selama itu, bibit harus mereka rawat dan siram. Para perempuan melakukan secara bergantian.

“Kami inisiatif sejak 2016, tidak dipaksa. Ada Dinas Pertanian meninjau, ada ibu-ibu, lalu dibentuk kelompok Merah Delima,” katanya.

Selain pembibitan, para perempuan dapat pelatihan mengolah makanan dari mangrove. Ada keripik mangrove, brownies dan aneka minuman. Meski para perempuan ini bisa menghasilkan produk unggul namun mereka komitmen membatasi produksi.

“Kalau sering dibuat dan dipasarkan banyak yang beli bisa hilang. Kalau ada acara aja bikin.”

Hutan mangrove di pesisir Tambakrejo, Semarang, Jateng, yang masyarakat tanami. Hutan mangrove pun rimbun, jadi perisai pesisir yang terkena rob dan abrasi. Foto: Wulan Yanuarwati/Mongabay Indonesia

******

Cerita Perawat Hutan Mangrove dari Belitung dan Sorong

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|