Triple Nexus Community dalam Teks Dekolonisasi dan Rekonstruksi di Sektor Transisi Energi

1 month ago 42

Dengan bencana alam yang semakin sering terjadi serta cuaca ekstrem, dunia bergegas menuju salah satu solusi utama yakni transisi energi bersih terbarukan. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang selama ini di tuding jadi sumber utama pelepas gas rumah kaca.

Namun, di balik niat ini, ada sebuah paradoks. Upaya perlindungan lingkungan itu seringkali melahirkan dampak kerusakan sosial, budaya, dan ekologis di tingkat lokal, yang tidak terlihat dalam angka dan grafik pertumbuhan.

Indonesia, -sebuah negara yang kaya akan potensi energi panas bumi, dengan kapasitas energi panas bumi (geothermal) hingga 23.965 MW, memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam penggunaan energi terbarukan yang sumbernya tersedia di alam.

Ia adalah alternatif ramah lingkungan yang, -dalam banyak hal, diklaim dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan. Namun pada kenyataannya, penerapan proyek-proyek energi terbarukan, khususnya geothermal, seringkali menciptakan ketegangan yang dapat mengancam keberlanjutan hidup masyarakat lokal.

Bayangkan sebuah perkampungan yang terletak di kaki gunung, tempat di mana masyarakat adat telah hidup berabad-abad menjaga tanah leluhur mereka kini diambil alih Negara demi proyek energi bersih terbarukan.

Di sinilah paradoks itu muncul, tanah mereka yang subur dan kaya dengan sejarah kini dipakai untuk proyek-proyek yang dianggap “ramah lingkungan,” namun di balik proyek-proyek ini tersembunyi penderitaan sosial serta ketidakadilan sosial yang tak terukur.

Proyek geothermal yang dianggap sebagai solusi ini juga sering menciptakan kerusakan lingkungan besar seperti deforestasi, pencemaran sumber mata air, dan hilangnya habitat alami flora fauna.

James J. A. Blair menggambarkan fenomena ini sebagai “ekstraktivisme hijau,” sebuah paradoks di mana proyek-proyek yang mengklaim keberlanjutan justru terus menerus mengeksploitasi alam dan masyarakat di balik label bersih dan hijau tersebut.

Masyarakat Adat di Poco Leok yang menolak pembangunan proyek geothermal PLTP Ulumbu di lahan adatnya. Dok. PT PLN UPP Nusra 2

Triple Nexus Ideologi dan Marginalisasi Masyarakat Lokal

James Scott dalam bukunya Seeing Like a State menyoroti bagaimana ideologi modernisme tinggi (high-modernity) merasuki kebijakan negara, menciptakan proyek-proyek besar yang mengabaikan kompleksitas sosial dan budaya lokal.

Para perencana negara, yang percaya pada kekuatan rasionalitas ilmiah dan teknokrasi, seringkali melihat masyarakat lokal bukan sebagai mitra yang setara, tetapi sebagai objek yang harus “diperbaiki” agar selaras dengan visi pembangunan yang mereka rancang.

Dalam dunia yang didominasi oleh narasi tersebut, masyarakat adat dan lokal sering dipaksa untuk menerima keputusan yang tidak mereka pilih, tanpa ada ruang bagi pengetahuan lokal yang telah terbukti ada selama berabad-abad.

Dalam perjalanan menuju masa depan yang lebih hijau, negara mengangkat narasi besar tentang “green-developmentalism“. Negara mengambil peran sebagai sutradara utama, menyusun kebijakan, mengalirkan investasi, dan membangun infrastruktur pendukung transisi energi yang lebih bersih.

Namun, jika kita melihat lebih dekat, alih-alih memberdayakan masyarakat lokal, narasi ini justru menjadi alat negara untuk memperkuat cengkeramannya atas sumberdaya alam, serta mengukuhkan kontrol atas wilayah masyarakat adat.

Lalu, mari kita telusuri lebih dalam ke dalam dimensi ketiga dari apa yang saya sebut Triple Nexus Ideologi ini yaitu new-developmentalism. Pendekatan ini, sebagaimana digambarkan oleh Eve Warburton berfokus pada pembangunan besar-besaran.

Faktanya, janji keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial sering kali hanya tinggal janji.

Mereka yang hidup paling dekat dengan sumberdaya sering kali tidak merasakan manfaat langsung, bahkan terkadang malah harus menanggung dampaknya.

Di balik narasi besar tentang masa depan yang lebih bersih, ada penderitaan yang terus menerus berlangsung yang disebut de Sousa Santos sebagai epistemicide atau pembunuhan pengetahuan lokal yang dilakukan dari waktu ke waktu oleh hegemoni narasi global.

Dekonstruksi terhadap Triple Nexus Ideologi ini menjadi langkah penting yang harus dilakukan untuk membuka ruang bagi pendekatan alternatif dalam transisi energi.

Sebuah transisi yang tidak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi dan efisiensi teknis, tetapi juga menghargai keberagaman sosial, budaya, dan ekologi.

Dengan memahami ironi ini, kita dapat mendorong dilakukannya dekolonisasi narasi energi bersih di mana masyarakat lokal tidak lagi menjadi objek pembangunan, tetapi subjek yang berdaulat atas sumber daya mereka sendiri.

Foto udara pemasangan 90.000 panel surya di atap pabrik di kawasan industri Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jabar. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Dekolonisasi Energi Bersih: Memahami Kebutuhan Komunitas

Dengan memahami ironi yang ada, kita bisa melihat kebutuhan mendesak untuk dekolonisasi narasi energi bersih.

Energi hijau dan energi bersih harus dipahami bukan hanya sebagai produk teknis atau ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang lebih besar yang terus mengeksploitasi alam dan masyarakat lokal.

Dalam pandangan Arturo Escobar, melalui pendekatan post-development-nya, narasi pembangunan, termasuk transisi energi hijau, sering kali membawa logika kolonial yang sama seperti di masa lalu.

Pembangunan tidak pernah benar-benar netral dan selalu membawa ideologi tersembunyi yang menempatkan modernitas dan efisiensi teknis di atas nilai-nilai lokal. Di sinilah letak dekolonisasi membongkar logika tersebut, di mana “kemajuan” tidak harus berarti meninggalkan cara hidup tradisional.

Dekolonisasi dapat dimulai dengan mendengarkan. Masyarakat adat tidak memerlukan solusi yang diimpor dari luar. Dalam banyak kasus, mereka telah mengembangkan bentuk energi berkelanjutan yang sesuai dengan konteks ekologi dan budaya setempat.

Sebagai contoh, mereka mungkin menggunakan sungai untuk tenaga air skala kecil atau memanfaatkan biomassa dengan cara yang menjaga keseimbangan alam. Tetapi solusi ini sering diabaikan karena tidak sesuai dengan standar teknologi global.

Teknologi-teknologi ini jauh lebih kontekstual dan berkelanjutan jika diterapkan dengan partisipasi aktif masyarakat setempat. Namun, teknologi ini tidak akan pernah bisa diterapkan dengan efektif jika paradigma pembangunan masih bersifat top-down dan eksklusi.

Dalam narasi Escobar, masa depan yang adil bukanlah masa depan yang dibentuk oleh satu narasi universal tentang energi bersih dan energi hijau. Sebaliknya, ia adalah kumpulan dari banyak narasi lokal yang beragam.

Dekolonisasi transisi energi berarti memberi ruang bagi masyarakat untuk menentukan sendiri apa yang mereka butuhkan dan bagaimana mereka ingin hidup.

Itu berarti menggantikan Triple Nexus Ideologi dengan Triple Nexus Komunitas yang akan memperkuat hubungan kedaulatan lokal, keberlanjutan ekologis, dan solidaritas sosial.

Triple Nexus komunitas akan berfokus pada penguatan masyarakat dalam transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Kedaulatan lokal diutamakan dengan memberikan hak kepada komunitas untuk menentukan kebijakan energi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka.

Keberlanjutan ekologis menjadi inti, memastikan pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana untuk masa depan yang lebih hijau.

Solidaritas sosial juga dibangun melalui kolaborasi antar-komunitas, memperkuat kolektivitas dan rasa saling mendukung dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Melalui pendekatan ini, Triple Nexus komunitas menciptakan model energi yang menghargai keragaman lokal, menjaga lingkungan, dan memajukan keadilan sosial secara bersama-sama.

Hanya dengan cara ini kita bisa berharap bahwa energi bersih yang didesain untuk mengatasi perubahan iklim dan dianggap sebagai solusi, benar-benar menjadi jalan menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebuah masa depan di mana kita tidak hanya menyelamatkan bumi, tetapi juga melindungi hak dan martabat setiap orang yang tinggal di atasnya.

* Martin Dennise Silaban, Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Tulisan ini adalah opini penulis

***

Foto utama: Poster-poster penolakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPb) Dieng yang dipasang oleh warga sebuah desa di Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jateng beberapa waktu lalu. Foto : istimewa/warga/Walhi Jateng

Kawal Transisi Energi dengan Data dan Kolaborasi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|