- Banyak kehidupan yang terkait dengan penambangan nikel di Pulau Halmahera, Indonesia: Masyarakat adat, karyawan pertambangan, pekerja peleburan, nelayan, petani, dan pekerja perawatan kesehatan.
- Indonesia, sebagai pemasok nikel terbesar di dunia, tengah berupaya mencapai keajaiban pertumbuhan ekonomi industri lewat hilirisasi mineral, yang sangat diminati untuk membuat baterai kendaraan listrik.
- Masyarakat adat di Halmahera mengatakan mereka khawatir hutan mereka dan masa depan kelangsungan hidup suku mereka, sementara para pekerja di kawasan industri harus menghadapi kondisi kerja yang keras dalam upaya untuk meningkatkan kehidupan mereka secara finansial.
- Penambangan nikel di wilayah ini telah menyebabkan deforestasi seluas 5.331 hektar setara hutan tropis yang menyimpan 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca.
Hutan di seputar Desa Dodaga merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup Sumean Gebe (42). Dia tinggal bersama istri dan keduanya anaknya. Babi hutan dan hewan buruan lain menjadi andalan hidup mereka, termasuk damar untuk di jual.
“Di sini kami hidup enak,” kata Sumean.
Sumean dan keluarganya bagian dari Komunitas Adat O’Hongana Manyawa [arti harafiahnya: ‘suku hutan’]. Kelompok pemburu-pengumpul nomaden ini telah eksis berabad-abad dan tergantung hidup dengan interaksi dengan hutan tropis.
Namun, kehidupan ini mulai terusik sejak tambang bijii mineral masuk. Nikel, -komoditi berharga untuk mobil listrik di tambang dan diproses di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang letaknya sekitar 80 kilometer ke selatan dari tempat mereka di hutan.
Industri Nikel di Halmahera
Seturut Pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel mentah ke luar, perusahaan pertambangan seakan berlomba membuat industri pemrosesan di dalam negeri, salah satunya IWIP, yang berdiri di Halmahera, Maluku Utara.
Sejak itu, industri nikel di Halmahera berhasil menarik investasi hingga USD 9,8 miliar pada tahun 2022, dan mencatatkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 23% pada kuartal kedua tahun 2023.
Mineral nikel yang ada di utara area industri ini, umumnya ditemukan dalam tanah sedimen dangkal yang hanya bisa dieksploitasi setelah hutan diatasnya ditebang. Beberapa perusahaan tambang tersebut beroperasi dalam radius 50-300 km dari hutan yang dihuni oleh masyarakat adat.
Menurut laporan dari Survival International, sebanyak 19 perusahaan tambang, -termasuk Weda Bay Nickel yang merupakan operator utama IWIP, memiliki konsesi tumpang tindih dengan lebih kurang 40% lahan hutan yang digunakan sebagai ruang hidup Suku O’Hongana Manyawa.
“Jika ini lanjut, hutan hilang. Pohon-pohon ditebang, satwa hilang dan mati. Lalu, kami tinggal di mana?” kata Sumean dengan suara pelan.
Dia masih ingat, di tahun 1970-an, di bawah rezim Orde Baru, warga sukunya sempat dipindahkan oleh pemerintah untuk memberi ruang bagi pertambangan kala itu.
Bawehe Bidos, anggota Suku O’Hongana Manyawa mengatakan dia khawatir tentang bagaimana perluasan wilayah pertambangan akan berdampak kepada seluruh suku.
“Jika alat berat sudah masuk ke hutan, satwa pasti akan pergi menjauh,” katanya. Padahal satwa buruan adalah protein utama bagi warga suku.
Kejadian ini mulai terjadi. Pada bulan Mei 2024, krisis pangan menyebabkan tiga orang warga asli yang kelaparan keluar hutan dan mengemis makanan di kamp penambangan Nikel Teluk Weda.
Para Pekerja Nikel
Malam tiba. Para pekerja shift malam di kawasan industri IWIP mulai masuk kerja. Kawasan ini mempekerjakan sekitar 47.000 orang, banyak diantaranya yang bekerja dalam shift panjang hingga 12 jam setiap hari tanpa ada libur resmi.
“Kami bakal terima surat peringatan jika terlambat datang lima menit, bahkan bisa dapat surat pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang tidak jelas,” kata seorang pekerja kepada Mongabay. Dia menolak menyebutkan namanya, karena takut kehilangan pekerjaan.
Para pekerja ini banyak yang berasal dari keluarga miskin. Mereka bermimpi dengan bekerja di industri nikel, bakal mengubah nasib mereka.
Di wilayah Indonesia timur yang kurang berkembang seperti di Jawa dan Sumatera dan wilayah barat lainnya, gaji bulanan rata-rata pekerja di IWIP berkisar antara Rp 5-6 juta.
Di luar jam kerja, banyak pekerja yang tidur di rumah-rumah kecil yang dekat dengan pabrik peleburan atau dekat dengan PLTU batubara. Tempat tinggal mereka sempit, pengap, dan kotor, serta hanya ada sedikit ventilasi. Di sini, para pekerja harus pintar-pintar mengatur uang.
Jam kerja yang panjang dengan beban kerja berat bisa sangat melelahkan bagi para pekerja. Hal ini meningkatkan risiko kecelakaan kerja.
Kelompok aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), menyebut antara tahun 2018-2024 terdapat ada 42 kematian di tempat kerja di IWIP, dan di tahun 2022 terjadi 125 kecelakaan kerja. Seorang pekerja yang namaya tidak mau disebut, mengatakan jumlah kecelakaan sebenarnya lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi.
Meski digadang-gadang bakal menggantikan bahan bakar fosil, penambangan nikel telah menyebabkan dampak seperti deforestasi, pencemaran lingkungan, serta hilangnya habitat satwa.
Penelitian menjumpai bahwa penambangan nikel di seluruh Halmahera menyebabkan hilangnya 5.331 hektar hutan tropis yang menyimpan 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca.
Di Weda Bay Nickel, tambang nikel terbesar di dunia, ribuan hektar hutan direncanakan akan dibuka selama periode 25 tahun yang dimulai sejak tahun 2019. Kompleks IWIP yang seluas 5.000 hektar itu pun berada di lahan yang sebelumnya hutan.
Dampak Lingkungan
Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menunjukkan penebangan hutan skala besar akibat pertambangan dan pembangunan IWIP telah meningkatkan frekuensi banjir. Dari Agustus 2020- Juni 2024, banjir berketinggian lebih dari 1 meter telah terjadi lebih dari 12 kali.
Kejadian banjir besar pada Juli dan Agustus 2024 telah merendam tujuh desa dan memutus akses kendaraan, serta memaksa 1.670 warga mengungsi ke tenda-tenda pengungsian.
Ahmad Kruwet (62) yang datang dari Jawa Tengah, termasuk di antara mereka yang terkena dampak. Banjir yang terjadi di Desa Woe Jarana adalah yang terbesar yang pernah dialaminya sejak 2004.
“Banyak rumah tersapu. Saya kira ini dampak, karena hutan di hulu sudah ditebang sampai habis,” kata Ahmad kepada Mongabay.
Pada 13 Agustus 2024, banjir menggenangi jalan di sekitar Desa Lelilef Waibulan, yang terletak di dekat pabrik peleburan milik IWIP. Namun, para pekerja tetap harus pergi bekerja.
Mereka harus rela menyewa rakit dengan biaya sekitar Rp 135.000-150.000 pulang pergi agar bisa melewati daerah banjir.
Bersamaan, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) pun meningkat di desa ini. Asjuati, Kepala Puskemas setempat menyebut ISPA meningkat dua kali lipat sepanjang Januari- Juli akibat polusi udara dan kesalahan penanganan limbah. Kasus ini banyak menimpa anak-anak, orang tua, dan pekerja tambang.
Aktivitas pertambangan di sekitar kawasan industri juga telah merusak lahan pertanian milik warga yang tinggal tidak jauh dari IWIP.
Seorang nelayan, Hernemus Takuling, adalah salah satu yang terkena dampak. Seharusnya dia berada di pantai untuk memancing, tetapi dia tidak pergi ke sana.
Sekitar 100 meter dari tempatnya berdiri, pipa dari pabrik peleburan IWIP terlihat membuang limbah ke laut dan mengubah air laut menjadi cokelat kekuningan.
“Biasanya, saya harus berperahu hingga 4 kilometer dari ujung pantai, kondisi ikan yang ditangkap di sana jauh lebih baik,” kata Hernemus kepada Mongabay.
Dalam beberapa tahun terakhir, para nelayan Halmahera menuding aktivitas pertambangan dan peleburan nikel sebagai penyebab perairan pesisir berubah merah dan menurunkan stok ikan akibat pencemaran logam berat.
Pembukaan hutan di konsesi pertambangan di Daerah Aliran Sungai Sagea juga telah menyebabkan pendangkalan, menurut Forest Watch Indonesia. Air sungai yang dulu dapat di minum, kini berubah keruh dan berwarna kuning kemerahan. Ini terjadi lebih dari lima kali dalam setahun terakhir ini saja.
Suman Gebe sudah pasrah. Dia bilang meski sudah pernah menolak, tapi pemerintah pasti akan jalan dengan rencana industri nikel.
Dia berharap pemerintah dapat menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi perihal pengakuan Hutan Adat O’Hongana Manyawa dan hak atas tanah mereka. Berbagai lembaga di Indonesia pun secara aktif turut mendorong pemerintah untuk mengakui area hutan yang telah yang pembahasannya telah tertunda selama satu dekade.
Hingga berita ini dipublikasikan, Weda Bay Industrial Park, Weda Bay Nickel, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia tidak menanggapi pertanyaan Mongabay.
Artikel ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 2 Desember 2024. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Owen, J. R., Kemp, D., Lechner, A. M., Harris, J., Zhang, R., & Lèbre, É. (2022). Energy transition minerals and their intersection with land-connected peoples. Nature Sustainability, 6(2), 203-211. doi:10.1038/s41893-022-00994-6