- Kasus polisi tembak polisi di markas Polres Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar) membuka fakta baru terkait keterlibatan aparat dalam aktivitas tambang ilegal.
- Sidang kode etik AKP Dadang Iskandar yang menembak AKP Riyanto Ulil Anshar sampai tewas mengungkap aliran dana ke sejumlah oknum polisi hingga ratusan juta rupiah per bulan.
- Wengki Putranto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar katakan, dari sidang etik itu, terlihat jelas bagaimana uang dari tambang ilegal mengalir ke pejabat di kepolisian. Karena itu, kejadian ini jadi tantangan bagi institusi kepolisian untuk mengungkap dan memproses para pihak yang terima untung dari praktik lancung ini.
- Dewi Anggraini, peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas mengatakan, ada pola relasi kuasa yang menjadikan pemberantas praktik tambang ilegal sulit. Praktik ini melibatkan para aktor yang saling berkelindan.
Kasus polisi tembak polisi di markas Polres Solok Selatan, Sumatera Barat (Sumbar) membuka fakta baru terkait keterlibatan aparat dalam aktivitas tambang ilegal. Sidang kode etik AKP Dadang Iskandar yang menembak AKP Riyanto Ulil Anshar sampai tewas mengungkap aliran dana ke sejumlah oknum polisi hingga ratusan juta rupiah per bulan.
Wengki Putranto, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, mengatakan, hasil pantauan sidang etik membuka fakta keterlibatan oknum lain di jajaran kepolisian dalam tambang ilegal di Sumbar. Dia mendorong, Mabes Polri mengusut kasus hingga tuntas.
“Kami menantang Mabes Polri membersihkan semua jaringan aparat yang terlibat sebagai beking tambang ilegal ini. Semua yang namanya disebut harus diperiksa, termasuk Kapolres Solok Selatan,” katanya kepada Mongabay.
Dia katakan, investigasi mereka menemukan indikasi dugaan aliran duit kepada petinggi polisi di Polres Solok. Hal itu terkuak juga dalam materi dakwaan sidang etik AKP Dadang Iskandar, yang menembak AKP Riyanto Ulil Anshar, hingga tewas yang digelar di Jakarta, akhir November lalu.
Pada sidang yang disiarkan secara live itu, terungkap ada aliran dana ke kapolres, sebagaimana keterangan Aipda Tommy Trimurti. Duit ratusan juta per bulan itu didapat dari pelaku taambang galian C dan emas ilegal.
Hasil pemeriksaan terhadap Kanit Tipiter Aipda Tommy Trimula disebutkan, tambang ilegal begitu marak, baik tambang galian C maupun emas yang tersebar di Sungai Batang Hari. Di antara mereka, ada lima pemain tambang emas tradisional yang telah dia kondisikan. Setiap bulan, Aipda Tommy bahkan menerima setoran Rp3 juta.
Angka itu belum termasuk dari setoran penambang lain dari 20 alat berat yang masing-masing Rp25 juta per unit. Duit setoran ini diserahkan kepada personel Satreskrim berinisial Aiptu HN.
“Sepengetahuan Aipda Tommy, uang diserahkan kepada AKBP Arif Mukti Surya A, selaku kapolres sejak menjabat dan berlangsung setiap bulan, ” kata tim penuntut dari Propam Mabes Polri saat membacakan persangkaan terhadap Dadang.
Dengan begitu, total duit panas yang diterima kapolres dari tambang ilegal mencapai Rp600 juta setiap bulan.
Wengki katakan, dari sidang etik itu, terlihat jelas bagaimana uang dari tambang ilegal mengalir ke pejabat di kepolisian. Karena itu, kejadian ini jadi tantangan bagi institusi kepolisian untuk mengungkap dan memproses para pihak yang terima untung dari praktik lancung ini.
Divisi Propam harus memanggil Kapolres AKBP Arif Mukti Surya AS., untuk mengonfirmasi. Sekaligus meminta pertanggungjawaban atas keterangan anak buahnya bahwa yang bersangkutan menerima setoran. “Kasus ini hanya satu dari persoalan perusakan lingkungan di hulu Sungai Batanghari.”
Sisi lain, terkait sejumlah fakta yang terungkap dalam sidang etik, Mongabay berusaha mengonfirmasi ke Kapolda Sumbar Irjen Pol Suharyono, tetapi belum mendapatkan jawaban. Dalam sebuah kesempatan, kapolda menegaskan akan mendalami kasus ini
Fenomena gunung es?
Selain itu, galian C ilegal yang melatari insiden polisi tembak polisi ibarat fenomena gunung es. Temuan Walhi Sumbar menyatakan, tambang ilegal marak di provinsi ini.
Data terbaru Walhi Sumbar, luas tambang ilegal mencapai 7.662 hektar tersebar di 49 titik. Di sekitar sub daerah aliran Sungai (DAS) Batanghari, luasan 1.612,66 hektar dominan emas.
Kemudian, ada juga di Solok Selatan dengan luas 2.939 hektar, Dharmasraya 2.179 hektar, Solok 1.330 hektar dan Sijunjung 1.174 hektar. “Mungkin hari ini jumlahnya bisa jadi bertambah,” kata Wengki.
Dia mengatakan, aktivitas tambang ilegal ini menyebabkan berbagai bencana ekologis seperti banjir dan longsor, yang memperburuk kehidupan masyarakat lokal.
Masyarakat yang sebelumnya mengandalkan pertanian dan perkebunan kini makin bergantung tambang ilegal, yang mengikis sumber daya alam.
Yarman, bukan nama asli, mengaku untung besar ketika bermain tambang ilegal. Dengan modal Rp300-Rp400 juta, termasuk pengaman untuk polisi, dia bisa meraup untung hingga Rp1 miliar sebulan.
“Pernah tertangkap dan alat beratnya didenda sampai Rp1 miliar, tapi setelah negosiasi saya bayar Rp700 juta,” katanya mengenang tahun-tahun itu.
Ketika masih aktif, dia mengoperasikan dua eskavator dengan keperluan solar capai 100 liter per hari. Untuk memisahkan bijih emas, dia perlu 10 liter merkuri setiap hari.
Belakangan, Yaman mulai menyadari betapa aktivitas tambang ilegal itu menghancurkan ekosistem dan meracuni sungai-sungai di Batanghari. “Jadi, kalau dibanding keuntungannya, kerusakannya jauh lebih besar.”
Para aktor
Dewi Anggraini, peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas mengatakan, ada pola relasi kuasa yang menjadikan pemberantas praktik tambang ilegal sulit. Praktik ini melibatkan para aktor yang saling berkelindan.
Dia memberi istilah pada apa yang dia sebut sebagai rent seeking atau upaya mencari keuntungan dengan memanipulasi atau pembiaran aktivitas tambang emas ilegal.
Prraktik ini, katanya, menunjukkan kerjasama oknum elit birokrasi, politisi dan pengusaha sebagai sumber dana, sebagai jalinan klientelistik yang mencerminkan pencapaian kepentingan elite birokrasi, politisi dan pengusaha di atas kepentingan publik.
Ada beberapa pola biasa terjadi terkait rent seeking ini. Pertama, kepala daerah mengeluarkan izin pertambangan dengan menerima suap atau gratifikasi dari pengusaha untuk memperoleh izin pertambangan.
Kedua, ada juga oknum aparat dan oknum birokrat yang menjadi bekingan tambang emas ilegal. Para pelaku tambang ilegal, katanya, akan menyetor nilai tertentu pada oknum aparat untuk mengamankan keluar masuknya peralatan tambang.
Ketiga, ada juga oknum aparat, birokrat dan oknum legislatif yang memiliki peralatan. Praktik ini, katanya, melibatkan korporasi, pejabat pemerintah maupun aparat penegak hukim termasuk local strongmen dalam masyarakat setempat.
“Relasi kepentingan yang kompleks aktor-aktornya dan kepentingan ekonomi politik sangat mendominasi,” katanya dalam risetnya pada 2015 itu.
Kondisi makin rumit ketika ada keterlibatan oknum yang bertindak sebagai bekingan atau pelindung dalam tambang ilegal. Dengan kekuatan ekonomi, para pelaku ini mengendalikan laku aparat penegak hukum.
Menurut Dewi, praktik seperti ini marak terjadi karena lemahnya pengawasan. Terlebih aktor-aktornya tersebar dari pemilik modal, pemilik lahan, operator mesin dompeng dan pemasok bahan bakar minyak (BBM) hingga pekerja tambang.
Polisi, katanya, mampu membersihkan pertambangan ilegal di Sumatera Barat. “Persoalannya, mau atau tidak? Karena akan ada banyak pihak yang tersinggung,” katanya.
Dia mengatakan, masyarakat jadi penerima risiko paling berat sebagai pekerja tambang. Sebab, mereka rentan kehilangan nyawa dan ditangkap polisi saat razia.
Padahal, kebanyakan dari mereka hanya dapat menggunakan pendapatan untuk makan sehari-hari. Dia katakan, harus ada solusi mengantisipasi karena para pekerja sudah sangat tergantung tambang.
Penegakan hukum lemah
Ihsan Riswandi, Ketua PBHI Sumbar, turut memberikan pandangannya terkait pelanggaran dan pengabaian hukum atas aktivitas tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian. Dia menyoroti, lemahnya penegakan hukum, terutama ketika pelakunya adalah aparat.
“Undang-undang Nomor 4/2009 yang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3/2020, sudah mengatur ancaman pidana dan denda bagi pelaku tambang ilegal,” katanya.
Namun, penegakan hukum sering kali tidak konsisten, terutama ketika pelaku adalah anggota kepolisian.
Dia meragukan keberanian aparat kepolisian mengusut rekan sendiri. Padahal, katanya, daya rusak aktivitas terlarang ini begitu massif. “Bukan hanya menghancurkan lahan-lahan pertanian dan sumber daya, juga meningkatkan risiko bencana, seperti banjir dan longsor.”
********