Sasi Lompa, Tradisi Jaga Pesisir Orang Haruku

1 month ago 47
  • Sebagai cara menjaga kelestarian laut, Orang Haruku di Maluku,  punya tradisi sasi lompa.  Tradisi ini sudah turun menurun,  hingga kini tetap lestari. Lompa ini sejenis ikan yang banyak di perairan Haruku. Tradisi ini, dilakukan kewang yang dipimpin Ketua Kewang.
  • Masyarakat Haruku cinta alam sekaligus penjaganya. Pada 1985, Masyarakat Haruku bahkan mendapatkan Kalpataru atas praktik perlindungan  dari daratan sampai lautan mereka lewat sistem sasi.
  • Eliza Kissya, Ketua Kewang Negeri Haruku sudah berusia 75 tahun. Meski sudah kepala tujuh namun penuh semangat terus merawat nilai tradisi Orang Haruku.  Dia terus gigih menjaga lingkungan Haruku. Opa Eli pun terima penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan pada 2022.
  • Jean Carlla Warella, lulusan Universitas Pattimura, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dalam risetnya menjelaskan,  ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kehadiran dan kepadatan lompa yaitu, biotik seperti plankton (fitoplankton dan zooplankton) dan abiotic seperti suhu, salinitas, kecepatan arus, dan kecerahan air.

“Semua orang sudah mengakui besar manfaat kayu gaharu, nama aslinya Negeri Haru Ukui, artinya ujung pohon waru. Kita semua orang Melanesia, budaya kita hampir sama. Cucuku Emil dan Patricia, dari kecil tinggalkan mama.”

Begitu Pantun Eliza Kissya alias Opa Eli, Kepala Kewang membuka percakapan saat kami datang ke rumah Kewang, di Negeri Pelasona, Oktober lalu. Angin laut berhembus semilir. Deru ombak terdengar menghempas tepian pesisir.

Haru’Ukui, bahasa lokal untuk Negeri Haruku. Ia negeri adat di pesisir pantai Pulau Haruku. Negeri damai dengan laut indah di antara tiga buah tanjong (tanjung) yaitu, Tanjung Negeri Tengah-tengah, Kecamatan Salahutu; Tanjung Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, dan Tanjung Seri, Kecamatan Nusaniwe.

Haruku berhadapan dengan Pulau Ambon, masuk dalam administrasi Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah, Maluku.

Eliza Kissya, Ketua Kewang Negeri Haruku sudah berusia 75 tahun. Meski sudah kepala tujuh namun penuh semangat terus merawat nilai tradisi Orang Haruku.  Dia juga terus gigih menjaga lingkungan Haruku. Opa Eli pun terima penghargaan Kalpataru kategori pembina lingkungan pada 2022.

Kewang  adalah  jabatan khusus dalam sistem pemerintahan adat. Kewang hadir untuk menjaga lingkungan baik di darat, di laut maupun di dalam kampung. Kewang di Negeri Haruku berfungsi sebagai hakim adat yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran aturan adat yang berlaku.

Opa Eli sudah jadi kewang selama 45 tahun. Dia mewarisi tanggung jawab itu karena orang tua dan leluhurnya seorang kewang.

Sebagai cara menjaga kelestarian laut, Orang Haruku punya tradisi sasi lompa.  Tradisi ini sudah turun menurun,  hingga kini tetap lestari.

Lompa ini sejenis ikan yang banyak di perairan Haruku. Tradisi ini, dilakukan kewang yang dipimpin Ketua Kewang.

“Sasi lompa ciri untuk Negeri Haruku, sebab tidak ada di tempat lain. Sasi lompa adalah perpaduan antara sasi laut dan sasi ikan,” katanya.

“Kita kenal dengan nanaku atau melihat tanda-tanda. kita akan tahu saat dimana ikan lompa harus panen”.

Masyarakat Negeri Haruku,  akan tahu kalau lompa banyak masuk sungai setelah muncul anakan ikan disebut nener. Nener atau bibit ikan ini muncul antara April sampai Mei. Masa itulah panas sasi mulai dilakukan selama tiga  bulan.

Panas sasi,  adalah proses pemanggilan ikan berulang-ulang agar masuk ke Kali Kayeli. Saat itu masyarakat dilarang keras mengambil lompa sebelum buka sasi.

Eliza Kissya, Ketua Kewang Negeri Haruku . Foto: Edison Waas

Upacara panas sasi pada malam hari. Semua kewang harus berkumpul di Baileo Kewang (rumah adat untuk kewang) dengan membawa obor dari ikatan daun kelapa kering atau lobe. Lobe untuk membuat api unggun. Setelah itu, mereka berdoa bersama, lalu bakar lobe di batu kewang yang mereka sebut lobe induk.

Rombongan kewang melangkah menuju ke lokasi buka sasi sambil membawa lobe.

Api lobe (obor induk) dibakar juga pada lobe lain yang telah siap di lokasi sasi. Lalu ada pembakaran, pertanda sasi akan dibuka. Setelah itu, warga bersama-sama boleh mengambil atau memanen ikan.

Siapa saja boleh panen. Tidak ada batasan. Hasil tangkapan ikan wajib berikan kepada orang tua, janda dan anak yatim.

“Tanpa harus memberitahukan secara resmi, tanda sasi ini kemudian dengan sendirinya mengatur masyarakat adat di Negeri Haruku. Jadi kawasan sungai tempat lompa pun dijaga,” kata Opa Eli.

Tifa dipukul bertalu-talu, sebagai simbol kehadiran lima soa, perkumpulan masyarakat yang terdiri dari beberapa marga.

“Sirewei…” “Sirewei…” suara itu mengiringi tifa sebagai ucapan tekad, janji dan sumpah para kewang.

Ada juga kapata atau wejangan dari Kepala Kewang untuk menghormati negeri dan para datuk serta menyatakan, sasi saat itu pun ditutup. Prosesi adat penyegelan kawasan sungai tempat masuknya lompa menandai aktivitas manusia terbatas di kawasan itu.

Tanda sasi lompa adalah kayu buah sasi.  Ini kayu dari tempat khusus, bernama Kayu Raja. Di sana kewang laut bertekad menjaga kawasan sasi.

Menurut Opa Eli, ikan lompa saat berada dalam area sasi tak boleh ditangkap.

Motor laut atau speed boat yang masuk ke Kali Learisa Kayeli, katanya, tidak boleh menghidupkan mesin, begitu pun perlengkapan dapur dilarang dibersihkan atau dicuci di kali. Sampah tak boleh buang ke kali atau buang ke lokasi yang sudah ditentukan Kewang.

Pelanggar hukum adat ini akan kena sanksi sesuai peraturan sasi berupa denda. Pelanggar juga kena hukuman cambuk lima kali sebagai simbol bahwa yang melanggar aturan sasi harus memikul beban dari lima soa.

Karena lompa hidup di sungai,  siang hari suhu sungai harus terjaga. Salah satu caranya,  dengan menanam anak bakau yang menjadi tempat berlindung ikan, termasuk lompa.

Pria kelulusan sekolah rakyat (SR) ini sejak 2013 sudah menanam bibit bakau yang kini tumbuh subur.

“Beta (saya) senang, hasil penanaman saya dengan rekan-rekan kewang Negeri Haruku tumbuh subur,“ katanya.

Sekalipun tradisi sasi dari Negeri Haruku setiap tahun acara penuh kemeriahan, masyarakat kini hadapi berbagai tantangan. Masih ada praktik-praktik merusak lingkungan dan keserakahan yang mengorbankan habitat baik di darat pun di lautan masih menghantui. Pelakunya bukan masyarakat Haruku, namun orang-orang tak dikenal.

“Banyak keserakahan dengan mengorbankan terumbu karang, aktivitas pengeboman dan meracuni ikan masih ada,“ katanya.

Selain gangguan dari manusia, gangguan alam juga ada. Curah hujan tinggi menciptakan banjir, berdampak pada lompa lantaran ikan tidak akan kembali ke sungai kalau kotor.

Kali Learisa Kayeli, tempa biasa tradisi lompa dilakukan. Foto: Edison Waaz

 

Pergeseran waktu sasi lompa

Pelaksanaan tradisi sasi bergeser. Tradisi tutup sasi mulai Agustus dan panen biasa Oktober. Pada 2023,  proses tutup dan buka sasi lompa baru pada Januari 2024.

“Jika lompa tidak datang maka tidak akan ada sasi lompa. Tidak ada lompa di Kali Learisa Kayeli menandakan ada yang tidak beres. Baik manusianya dan lingkungannya.”

Ada pergeseran waktu panen yang membuat sejumlah tanda tanya besar di kepala Opa Eli. Pada 2024,  tidak ada lompa, hingga akhir tahun ini, tidak terlihat nener, sasi lompa pun tak bisa berlangsung.

“Kalau 2023,  harusnya panen Oktober. Itu berarti bibit lompa sudah ada di Sungai Learisa antara Juni-Juli hingga sungai di sasi, ” kata Opa Eli.

Yang terjadi, proses panen itu jadi Januari 2024., waktu bergeser sangat jauh.

Opa Eli menduga, penyebab ketiadaan nener ini karena curah hujan banyak hingga ikan tak mau masuk ke sungai.

Kemungkinan lain dampak perubahan iklim.  Moh Abdi Suhufan,  Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, mengatakan, bergesernya sasi kemungkinan juga dampak perubahan iklim yang kian nyata. Kawasan pesisir, katanya, rentan terdampak perubahan iklim.

Nelayan cukup berdampak, antara lain terjadi perubahan musim ikan dan waktu tangkap. Perubahan iklim juga berdampak pada permukaan air laut yang bisa menenggelamkan pulau, dataran dan pemukiman warga.

Untuk itu, katanya, perlu pengelolaan pesisir dan laut yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan berkeadilan serta berbasis hak asasi manusia.

Langkah yang mesti dilakukan, katanya, mendorong dan menguatkan kebijakan publik yang berkeadilan dalam pengelolaan pesisir. Juga,  mendorong pengawasan pesisir dan laut yang bertanggung jawab secara sinergis dan kolaboratif, serta berorientasi pada hak asasi manusia.

“Memperkuat dan memberdayakan nelayan, pekerja perikanan dan masyarakat sipil dalam pengelolaan pesisir dan laut berkelanjutan.”

Jean Carlla Warella, lulusan Universitas Pattimura, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dalam risetnya menjelaskan,  ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kehadiran dan kepadatan lompa yaitu, biotik seperti plankton (fitoplankton dan zooplankton) dan abiotic seperti suhu, salinitas, kecepatan arus, dan kecerahan air.

Dalam risetnya pada 2012 itu, Warella menulis, Sungai Learisa adalah tempat hidup lompa. Alasannya,  karena bagian tengah sungai, suhu air permukaan ada pada kisaran 25°C-29°C  dengan rata-rata 26,17°C-28,17°C. Sedangkan pada bagian percabangan sungai suhu air berkisar antara  27°C-30°C dengan rata-rata 28°C-28,97°C.

Kendati demikian, suhu air di Sungai Learisa bisa mengalami kenaikan kalau volume  air berkurang pada waktu air surut dan berdampak pada pembesaran penetrasi cahaya matahari ke dalam  sungai.  Warella menyimpulkan,  kondisi Learisa masih layak untuk budidaya biota laut khusus lompa (Thrissina baelama).

Riset Warella menyebutkan, kecepatan arus juga faktor penting dalam proses adaptasi Thrissina baelama, baik arus lemah maupun kuat.

Kecepatan arus merupakan  media transportasi sangat menguntungkan bagi lompa karena arus  membawa oksigen maupun bahan makanan bagi biota yang berhabitat di lumpur,  lumpur berpasir serta hewan-hewan merayap di dasar perairan.

Keadaan demikian mempercepat proses sedimentasi sebagai akibat terjadinya suatu kondisi yang tidak seimbang pada dasar perairan berpasir maupun berlumpur.

Berdasarkan hasil penelitian kecerahan air mempengaruhi  keberlangsungan hidup dari lompa karena pada muara Learisa memiliki nilai kecerahan relatif rendah. Hal ini mungkin pengaruh degradasi (penurunan) Sungai Learisa-Kayeli yang menyebabkan proses sedimentasi terakumulasi pada muara sungai.

Lompa hasil tangkapan saat pembukaan saai lompa di Haruku, belasan tahun lalu. Foto: Edison Waas

Legenda lompa

Lompa, katanya, bisa hidup di air laut dan sungai. Orang Haruku juga mengenal jenis ini sebagai ikan sarden.

Lompa, hidup di air sungai  dari pukul 04.00–18.30, lalu  pukul 18.31- 05.00,  ikan akan bergerak ke laut untuk mencari makan. Saat subuh kembali lagi ke sungai.

Di Haruku,  sungai yang jadi habitat lompa ini di Kali Learisa Kayeli. Lompa mampu masuk ke sungai atau kali itu sejauh 1.500 meter dari muara.

“Belum bisa dipastikan di mana ikan ini bertelur untuk melahirkan generasi baru, sebab peneliti Universitas Pattimura juga belum mendapatkan jawaban yang pasti,” ucap Opa Eli.

Di sungai tempat lompa itu hidup, merupakan hutan bakau yang masyarakat jaga dan tanam termasuk Eli semasa kecil.

Dia bercerita, ada legenda yang hingga kini Masyarakat Negeri Haruku percayai, bahwa lompa ada di perairan Haruku merupakan hadiah.

Legenda itu, bermula dari pertempuran antara Buaya Learisa, reptil penghuni sungai atau Kali Learisa Kayeli yang berkelahi dengan ular di Tanjung Sial, Pulau Seram.

Buaya Learisa mampu mengalahkan ular dan dapat hadiah ikan make, parang-parang dan lompa. Ikan parang kemudian buaya tinggalkan di Perairan Negeri Passo, Pulau Ambon, Kawasan Teluk Baguala.

Singkat cerita, sekalipun membunuh ular, tetapi buaya mengalami luka parah. Saat perjalanan pulang ke Haruku, buaya sempat singgah di Negeri Waai, di bawah kaki Gunung Salahutu, Kecamatan Salahhutu, Maluku Tengah. Buaya mau dibunuh warga Negeri Waai.

Buaya dipercaya bisa berbicara dengan manusia. Buaya Learisa pun meminta agar tak dibunuh. Namun warga mengambil sebatang lidi dan menancapkan ke perut buaya Learisa yang saat itu sedang mengandung.

Seketika lahir bayi buaya Learisa. Anaknya inilah yang membawa make dan lompa di Negeri Haruku.

“Cerita ini menjadi turun-temurun bahwa lompa adalah hadiah dan perlu untuk dilestarikan. Dulu, ada ikan make, kini sudah hilang,” katanya.

Belajar dari kehilangan make di Perairan Negeri Haruku,  maka masyarakat bertekad terus jalankan sasi lompa agar terus lestari.

“Sangat unik. Ikan lompa ketika ada di laut bisa ke mana saja, namun tidak bisa ke sungai lain, hanya ke sungai atau Kali Learisa Kayeli. Itu kepercayaan kami.”

Pembukaan sasi lompa di Haruku, beberapa tahun lalu. Foto: Edison Waaz

Penjaga alam

Masyarakat Haruku cinta alam sekaligus penjaganya. Pada 1985, Masyarakat Haruku bahkan mendapatkan Kalpataru atas praktik perlindungan  dari daratan sampai lautan mereka lewat sistem sasi.  Namun, terkadang mereka tak berdaya ketika ada ancaman kerusakan laut, karena keterbatasan sumber daya manusia apalagi ketika bertabrakan dengan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan.

“Kami menjaga namun ada orang lain yang merusak, ada upaya hukum bahkan telah tiba di pengadilan namun tetap saja ada masalah lagi.”

Kondisi di laut,  katanya, belum sepenuhnya aman, masih ada praktik-praktik pengambilan ikan tak ramah lingkungan. Di hulu sungai juga jadi penopang kehidupan lompa.

“Dampaknya, ke lompa karena pada malam hari ikan ada di laut. Kalau ada gerombolan yang selamat, akan naik ke sungai,” katanya.

Dia pun berpesan supaya konservasi sungai perlu terus berjalan. Dengan kesadaran itu, katanya, bisa jadi kekuatan hingga warga tidak lagi menjadikan sungai sebagai tempat membuang kotoran maupun sampah rumah tangga.  Kalau air sungai kotor, katanya, lompa tak akan masuk ke sungai.

Klif Kissya dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lease mengatakan, upaya pelestarian sungai dan laut di Negeri Haruku didahului dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga lingkungan. Juga tradisi sasi lompa setiap tahun, katanya, merupakan aksi yang menghidupkan praktik-praktik konservasi di masyarakat.

“Jika sungai Learisa Kayeli tetap terjaga, laut itu pun harus dijaga. Agar Kali Larissa itu tetap lestari maka kawasan hutan di hulu dan pinggiran juga harus dijaga,” kata Klif, anak Eliza Kissya, sang pejuang lingkungan Haruku.

Dia bilang, kewang di Negeri Haruku setidaknya masih menjadi penghambat daya rusak.  Namun, masih ada masalah seperti krisis iklim berdampak pada kondisi cuaca.

Negeri Haruku termasuk dalam deretan pulau kecil dan ada 11 negeri atau desa adat yang secara geografis terletak di Pesisir Pantai Utara dan Pantai selatan Pulau Haruku dengan luasnya 150 Km2. Negeri Haruku berbatasan dengan Negeri Oma, dan Negeri Sameth.

Penduduk di Negeri Haruku bergantung dari hasil laut dan hasil hutan serta perkebunan tanaman umur panjang, seperti cengkih, pala, langsat dan durian. Di sektor kelautan,  ada yang jadi nelayan maupun pengemudi kapal motor.

Pada 2018, negeri ini pernah kena banjir rob. Kawasan konservasi sasi lompa mengalami kerusakan. Sejumlah talud penahan ombak rusak, kini telah diperbaiki.

“Pernah penanaman bakau di pantai Negeri Haruku namun gagal karena ombak dan gelombang menerjang anakan mangrove tersapu habis. Kecuali di bagian pinggiran Sungai Learisa,” kata Kliff Kissya.

Agus Kastanya,  akademisi Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, mengatakan, pulau kecil layaknya Kepulauan Haruku memiliki ciri dan karakter daerah aliran sungai (DAS) pendek. Kalau pengelolaan tidak ramah lingkungan, katanya,  suatu saat akan membawa bencana.

Dengan kondisi DAS pendek, apalagi kalau tutupan hutan terbuka maka lingkungan hancur dan dampak akan terasa di kawasan pesisir dan laut.

Dengan krisis iklim ini, juga ancaman bagi pulau-pulau kecil, seperti kenaikan muka air laut, naiknya temperatur, badai tropis yang dapat memicu abrasi pantai.

“Kondisi pulau kecil dengan segala daya dukung terbatas, pengelolaan dan pemanfaatan harus menjaga kemampuan dan daya dukung lingkungan.”

***

Suara Opa Eli mulai bergetar, gesekan senar ukulele kesayangannya menciptakan irama kunci G membuka nyanyian yang menghibur. Judul lagunya silsilah di rumah tua.

Hutan lebat dipanggil ewang,

salah kelolah seng ada ampong,

karena warisan kepala kewang,

beta rela tinggal di kampong,  “

Mari duduk di anjungan,

sambil duduk kita makan.

Karena cinta pada lingkungan,

anak dan istri sering beta lupakan.

Raut gembira terpancar dari wajah yang sudah keriput itu. Sang pejuang lingkungan, Opa Eli berpantun tentang menjaga nilai yang jadi warisan leluhur Orang Haruku.

*Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.

Sungai Learisa, Haruku. Foto: Edison Waas

*******

Eliza Marthen Kissya, Penjaga Sejati Negeri Haruku

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|