Pengambilan Pasir Laut di Bali Ancam Terumbu Karang, Aktivis Lingkungan Kritik

1 month ago 73
  • Pemerintah kembali menggunakan strategi pengisian pasir untuk sejumlah pantai-pantai wisata yang kena abrasi di Bali yakni Pantai Candidasa, Legian, Kuta, dan Seminyak.
  • Material pasir diambil dari penambangan di tengah laut. Hal ini dikritisi sejumlah aktivis lingkungan karena rentan merusak ekosistem karena lokasinya dekat dengan terumbu karang dan pemijahan ikan.
  • Dampak lain adalah pengeruhan air laut yang juga bisa merusak biota sekitarnya
  • Pemerintah berdalih sudah mempertimbangkan pengurangan dampak lingkungan dengan modeling dan lainnya untuk menyelamatkan pariwisata di area tersebut.

Pemerintah kembali menggunakan strategi pengisian pasir untuk sejumlah pantai abrasi parah di Bali. Sejumlah aktivis lingkungan mengkritisi karena pasir akan ditambang di beberapa titik yang memiliki ekosistem terumbu karang dan lokasi pemijahan ikan.

Walhi Bali menghadiri konsultasi publik pemeriksaan dokumen Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (ANDAL RKL-RPL) oleh Badan Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida pada 9 Oktober lalu. Proyek ini merupakan proyek Bali Beach Conservation Project phase II yang akan melakukan penimbunan/pengisian pasir di sejumlah pantai di Bali.

Made Krisna Dinata, Direktur Eksekutif Walhi Bali dalam catatannya menyebut dalam dokumen ANDAL RKL-RPL proyek ini disebutkan jika pengambilan atau pengerukan  pasir dilakukan di dua titik yakni di Perairan Jimbaran (Laut Bali) dengan volume 750.000 m3 dan luas area pengambilan pasir laut seluas 499,84 hektar dan di Perairan Tanjung Benoa (Selat Badung) dengan volume 500.000 m3 seluas 250,11 hektar.

Namun, menurut Walhi Bali, 8 dari 13 desa yang berada di area sekitar lokasi pengambilan sumber pasir laut pada perairan Jimbaran memiliki kategori kerentanan pesisir yang sangat tinggi. Demikian juga di Tanjung Benoa, 5 dari 8 desa yang berada di area sekitar lokasi pengambilan sumber pasir laut perairan ini memiliki area dengan kategori kerentanan pesisir sangat tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menilai jika wilayah pesisir desa/kelurahan tersebut terkonfirmasi memiliki bahaya, kerentanan, dan risiko tinggi terhadap gelombang ekstrem dan abrasi.

Aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir laut yang merubah bentang alam bawah laut ini juga dinilai akan berdampak pada rusaknya biota dan ekosistem perairan di lokasi sekitar penambangan pasir laut. Catatan Walhi menyebut aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir yang akan dilakukan pada perairan Tanjung Benoa sangat berdempetan terhadap kawasan pencadangan konservasi di laut pada perairan Tanjung Benoa.

Dalam dokumen ANDAL RKL-RPL ini dituliskan jika lokasi pengambilan atau pengerukan pasir laut amat berdekatan dengan berbagai area sensitif seperti terumbu karang dan padang lamun. Lokasi pengambilan atau pengerukan pasir hanya berjarak 1,04 km dengan keberadaan terumbu karang.

Apalagi disebutkan bahwa pengambilan atau pengerukan pasir laut akan menggunakan kapal Trailer Suction Hopper Dredger (TSHD) yang destruktif berpotensi memberikan dampak terhadap perairan di sekitarnya pada area kurang dari 3 km secara radius. “Aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir ini akan merusak sebaran ekosistem terumbu karang yang ada di perairan Benoa,” ujarnya.

Baca : Polemik Penambangan Pasir Laut Merusak Lingkungan, Begini Kata KKP

Titik koordinat penambangan pasir laut untuk proyek pengisian kembali pantai fase II

Kerentanan juga dinilai terjadi di perairan Jimbaran yang menjadi bagian jalur migrasi penyu yang hanya berjarak sekitar 486,78 meter sampai 557,97 meter di utara lokasi pengambilan pasir. Perairan Jimbaran atau Laut Bali merupakan kawasan perairan yang merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 573 khususnya ikan Lemuru berdasarkan Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 68/KEPMEN-KP/2016. Dalam keputusan tersebut Perairan Jimbaran yang meliputi daerah Bukit, Benoa, Jimbaran dan Pemancar terkonfirmasi merupakan Zona VI dan merupakan kawasan dugaan tempat pemijahan ikan.

“Kami mendesak proyek pengambilan atau pengerukan pasir di wilayah tersebut harus dibatalkan karena akan menghancurkan ekosistem perairan,” sebut Krisna.

Ia mencontohkan pengambilan dan pengerukan pasir di berbagai daerah seperti di Pulau Rupat Provinsi Riau dan Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan dinilai merusak ekosistem perairan.

Surat tanggapan Walhi Bali ini diterima oleh perwakilan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Ida Ayu Dewi Putri Ary bersama Kepala Dinas I Made Teja dan perwakilan Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Gede Lanang Sunu Perbawa.

Made Iwan Dewantama dari Yayasan Abdi Bumi yang juga hadir dalam pembahasan Andal proyek ini juga menekankan kurangnya data pendukung analisis dampak lingkungan proyek ini.  Ia menilai pemerintah menekankan proyek ini sebagai konservasi pantai di Bali dan pertambangan dimaknai sebagai kegiatan komersil alias jualan. “Argumentasi saya bahwa pengambilan bahan mineral tetap adalah usaha pertambangan dan konservasi pantai juga tujuan akhirnya jualan untuk pariwisata,” sebutnya.

Sejumlah data yang menurutnya kurang adalah penjelasan rona awal dari biofisik seperti kondisi biota laut terumbu karang dan lamun sangat minim padahal di dekat lokasi pengambilan pasir laut yaitu di Serangan (seluas 13 ha) dan Tanjung Benoa (seluas 20 ha) ada kebun terumbu karang dari proyek Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) pada 2021.

Baca juga : Warga Was-was Ekspor Pasir Laut Perparah Abrasi Pantura Jawa

senja bersampah di Pantai Kedonganan, Kuta, Bali pada Februari 2021. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia
di pantai kedonganan-feb 2021

Berikutnya, data kualitas perairan sangat minim hanya dari 6 lokasi sampel padahal potensi dampak penyedotan pasir sangat luas. Modeling luasan dampak penyedotan juga kurang valid karena tidak memperlihatkan data yang diinput, karena model sangat dipengaruhi oleh data tersebut.

“Seolah sedimen yang ikut tersedot minim. Ini sama dengan keinginan presiden jual sedimen tapi yang terambil/disedot adalah pasir, secara ilmiah pasir dan sedimen adalah satu kesatuan material, sehingga harus dipastikan  daerah pengambilan pasir mengandung sedimen minim untuk memastikan dampak dari kegiatan penyedotan pasir,” jelasnya.

Selain pengisian kembali pasir, cara penanganan abrasi lain menurutnya adalah nature based solution atau solusi berbasis alam dengan menjaga atau merestorasi ekosistem pelindung pantai seperti terumbu karang, lamun, dan bakau. Berikutnya penertiban bangunan yang melanggar sempadan pantai di seluruh Bali.

Tanggapan BWS

Pengisian pasir akan dilakukan di Pantai Candidasa, Kabupaten Karangasem dan Pantai Kuta, Legian, dan Seminyak. BWS Bali Penida memaparkan sejumlah hal untuk menanggani keberatan tersebut.

Pantai-pantai di Kecamatan Kuta dinilai umumnya pantai dengan abrasi hebat, khususnya pada musim badai, saat itu daya rusak gelombang lebih besar dari data tahan pasir di posisinya, sehingga teraduk dan bergeser arah offshore on shore dan sejajar pantai.

Permasalahan semakin berat ketika dalam rangka mengatasi terjadinya abrasi, para pemilik lahan di sepanjang pantai mengatasinya dengan membangun bangunan keras dan massif sehingga menyebabkan daya rusak gelombang meningkat, dan makin parah ketika landasan pacu Bandara Ngurah Rai diperpanjang, sehingga keseimbangan transport sedimen terganggu lagi.

Untuk pantai kedua (Pantai Candidasa), permasalahan dipicu ketika kunjungan wisata meningkat sehingga diperlukan bahan bangunan untuk membangun hotel dan prasarananya, dengan menambang batu koral sebagai bahan bangunan. Dataran koral yang dulu masih tinggi elevasinya, makin turun sehingga manfaatnya untuk meredam gelombang terus menurun dan ini berarti daya rusaknya meningkat. Seperti halnya di Pantai Kuta, pemilik lahan di sepanjang pantai juga berupaya mengatasi abrasi dengan mebuat bangunan pengaman yang keras dan tegak sehingga memperparah daya rusak pantainya.

Karena fungsi pantai-pantai itu utamanya untuk pariwisata, maka konsep penanganan yang dipilih dengan konsep konservasi yakni soft structure, dengan mengembalikan pantai sesuai dengan kondisinya semula dengan pengisian kembali pasir.

Baca juga : Benarkah Demi Kesehatan Laut, Pemanfaatan Sedimentasi Laut Dilakukan?

Peringatan dilarang buang sampah terpasang di Pantai Padanggalak, Sanur. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Berdasarkan hasil studi, parameter gelombang di lokasi disebut perairan dalam, sehingga perubahan kedalaman sebesar 0.50 m akibat pengambilan pasir tidak akan berpengaruh pada karakteristik gelombang di atasnya. Artinya tidak ada perubahan dinamika pantainya demikian juga laju perubahan garis pantai. Pasir yang diambil di lautan dalam disebut pasir pantai yang telah lepas dari pengaruh dinamika pantai sehingga tidak dapat kembali lagi di posisinya semula.

Terkait dampak pada nelayan, BWS menilai jika pengambilan pasir dilakukan pada periode tangkapan sedikit, maka gangguan produksi penangkapan ikan oleh nelayan akan dapat diminimalisir.

Sedangkan tentang kekeruhan, dilakukan pemodelan numerik. Peningkatan sedimen juga akan dipengaruhi oleh alat yang dipakai. Jika menggunakan bracket, shovel dan sejenisnya, sedimen lebih halus akan terlepas dari ikatan dan menyebar sehingga menimbulkan kekeruhan yang lebih tinggi.

Sebaliknya jika dengan alat hisap, maka sedimen yang diambil akan diisolasi dalam pipa sehingga hanya material halus di ujung pipalah yang akan tersebar, ini berarti akan menimbulkan kekeruhan lebih kecil.

Dalam pekerjaan ini, pasir akan diambil dengan menggunakan pipa hisap TSHD. Hasil pemodelan pengambilan pasir dengan TSHD diklaim memperlihatkan kekeruhan yang lebih kecil dibanding dengan yang lain.

Mengenai jalur migrasi mamalia dan penyu di Jimbaran, kondisi kekeruhan yang diakibatkan oleh kegiatan dredging diperkirakan sudah akan jauh berkurang sehingga tidak mengganggu jalur satwa jika dilihat dari modeling

Sejumlah speedboat terlihat libur karena tak ada aktivitas penyeberangan dari dan ke kawasan perairan Nusa Penida selama 24 jam pada Minggu (16/10/2016). Terlihat gugusan Nusa Penida dari titik penyeberangan pantai Sanur, Denpasar. Foto : Luh De Suriyani

Tujuan pengambilan pasir ini disebut berbeda dengan pengambilan pasir untuk proyek umum pembangunan infrastruktur lainnya seperti reklamasi atau pembangunan pelabuhan. Juga tidak ada alternatif lain untuk memulihkan pantai berpasir kecuali pengisian pantai. Pembangunan revetment atau tanggul hanya untuk tujuan melindungi area di belakanganya, tetapi tidak untuk memulihkan pantai berpasir.

Jika pasir diambil dari area pesisir dekat dengan daerah perairan dangkal, beberapa dampak negatif terhadap pantai di sisi darat harus diantisipasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertimbangkan kedalaman area pengambilan pasir dan jarak dari pantai. Jika kedalaman area pengambilan pasir lebih dari 20-30 m, sudah diketahui bahwa tidak ada dampak terhadap pantai. Kedalaman untuk lokasi pengambilan yang menjadi kandidat adalah lebih dari 30-40 m dan jarak dari pantai lebih dari 2 mil sesuai dengan regulasi.

Kepala SNVT Pelaksana Jaringan Sumber Air (PJSA) BWS Bali-Penida Gede Lanang Sunu Perbawa mengatakan proyek baru akan dimulai awal tahun 2025 menunggu usainya musim tahun baru. Garis pantai yang diisi kembali dengan pasir tidak di seluruh pesisir Kuta, namun beberapa titik saja.

Proyek pengisian pasir sebelumnya juga dilakukan di obyek wisata seperti Kuta dan Sanur. Anggaran untuk fase II kali ini hampir Rp 250 miliar. Masih banyak pantai-pantai lain yang makin hilang karena abrasi seperti Pantai Lebih di Gianyar dan Pebuahan dan Perancak yang menjadi lokasi peneluran penyu di Jembrana. (***)

Beragam Dampak Buruk dari Penambangan Sedimentasi Laut

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|