- Para perempuan tani di Gurilla, Sumatera Utara akan terus bertahan. Mereka yang datang ke Gurilla adalah orang-orang yang hidup dalam kesulitan. Mereka menanam harapan hidup lebih baik di Gurilla dan akan terus menjaganya.
- Perempuan-perempuan tani Futasi sudah tak berpikir bahaya lagi ketika mereka berjuang. Martalena, salah satunya. Yang dia pikirkan bagaimana alat berat berhenti bekerja agar tak banyak ladang dan rumah rusak. Menurut dia, ibu-ibu lupa dengan nyawa sendiri saat sedang melawan.
- Selama melawan penggusuran, Futasi membagi tim. Perempuan menghadang dan menduduki eskavator. Sedangkan laki-laki merekam semua kejadian untuk bukti kalau terjadi kekerasan.
- Pasca penggusuran pada Oktober 2022 membuat petani yang tergabung dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi),harus terus berjaga ladang dan pekarangan mereka. Ketika ada alat berat terlihat, mereka pun langsung berjaga.
Tak ada rumah kosong di kampung petani Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi), Pematangsiantar, Sumatera Utara, Juli tahun lalu, sepuluh bulan pasca penggusuran Oktober 2022. Setidaknya, satu orang dewasa menunggui tiap rumah.
Melalui grup WhatsApps tersebar: satu alat berat turun dari pondok PTPN III Kebun Bangun. Di Gurilla, sedang ada pengerjaan jalan tol, namun alat berat tak pernah masuk perkebunan.
Sejak pagi, empat-lima orang berkumpul di satu rumah mengawasi alat berat itu. Mewanti-wanti andai alat berat menghancurkan rumah mereka, seperti saat penggusuran beberapa bulan sebelum itu.
Was-was masih menyelimuti warga Futasi. Selvia Rahmadani, petani Futasi, tetap diam di rumahnya hari itu. Dia mengingat penggusuran yang mengubah hidupnya. Waktu itu, Oktober 2022, dia melihat selebaran berserakan di mana-mana.
Isinya, meminta seluruh warga Kampung Baru keluar dari PTPN III, karena akan ada ‘penyelamatan aset negara.’
Selvi mengabaikan surat itu. Ancaman seperti itu, dia pikir sudah beberapa kali. Lagipula, PTPN III juga belum memiliki hak olah jelas.
Dua hari berselang, sekitar 10 alat berat turun ke lapangan sepak bola yang jadi batas antara pondok PTPN III dan perkampungan Gurilla. Selvi mendengar deru sejak dini hari. Paginya, dia melihat puluhan bus mengantarkan polisi militer, polisi, TNI, dan satpam. Total, sekitar 300 orang berseragam di sana bergabung dengan petugas PTPN III.
Selvi dan warga Gurilla berkumpul di sekitar lapangan bola. Mereka memperhatikan alat berat itu dengan bingung. Polisi, tentara, dan satpam membuat pagar betis memutari alat berat, agar warga tak dapat mendekat.
Perlahan, alat berat itu masuk kebun ubi dan mulai menghancurkan tanaman yang dua bulan lagi akan panen.
Ibu-ibu berteriak dan menangis meminta agar tak merusak ubi mereka. Tanaman ubi rata dengan tanah. Alat berat itu menggali lubang besar dan memasukkan ubi, serai, tanaman-tanaman yang mereka tumbangkan. Lubang itu kemudian ditutup tanah. Terkubur.
Rospina, anggota Futasi, memohon bisa panen ubi sebelum dibongkar. Petugas meminta pulang dan datang esok hari.
Keesokan hari ketika datang bersama mobil tengkulak, tujuh rante ladang ubi rata dengan tanah. Delapan rante sisanya, yang bakal panen empat bulan lagi, juga terbongkar.
“Jangan ditanyalah, enggak menangis lagi. Berguling-guling awak di ladang itu, mau gila. Itu biaya sekolah anakku,” ujar Rospina.
Hari pertama penggusuran berlangsung dengan kebingungan, warga Gurilla tak tahu harus apa. Mereka hanya menangis dan memohon.
Esoknya, anggota Futasi mendatangi pondok PTPN III meminta setop penggusuran. Mereka diterima manager PTPN III dan AKBP Fernando, Kapolres Pematang Siantar.
Kapolres mengatakan, hanya pengawalan karena PTPN III punya izin HGU di tanah itu. Tiomerli membantah. Menurut dia, Futasi di sana selama 18 tahun dan menerima bantuan dari Walikota Pematang Siantar sebelumnya. Dengan begitu, mereka sudah diakui sebagai masyarakat Siantar.
Pertemuan itu tak membuahkan hasil. Selagi mereka mediasi, eskavator terus membongkar ladang ubi.
Penggusuran pertama selama Oktober 2022 menggunduli ladang hingga tanaman di pekarangan rumah anggota Futasi. PTPN III langsung menanam sawit.
“Lapangan bola tempat anak kami dan anak pondok main pun ditanamnya sawit.”
Pada 22 November 2022, sekitar 500 personil petugas gabungan PTPN kerahkan ke Futasi. Ada dari polisi, TNI, Satpol PP, satpam, Dinas Perhubungan, hingga pemadam kebakaran.
Tujuannya, merobohkan rumah yang telah menerima tali asih. Beberapa rumah yang tak menerima tali asih juga ikut dirobohkan.
Anggota Futasi sadar mereka tak dapat hanya memohon. Mereka mulai menyusun cara bagaimana mempertahankan tanaman. Mereka harus melawan.
Di Gurilla, ada lonceng, sebuah pelek mobil bergantung di pohon beringin. Lonceng itu akan dipukul saat ada sesuatu yang mengancam warga Futasi.
Setiap pagi, saat alat berat beraksi warga pukul lonceng. Ibu-ibu akan lari dari rumah dan berkumpul di lapangan untuk mempertahankan tanah mereka.
Martalena Limbong, salah satu perempuan Futasi yang berani melawan. Dia ingat betul, setiap hari bangun pagi-pagi untuk memasak. Saat lonceng berbunyi, dia segera lari dari rumah meninggalkan pekerjaan. “Kadang lagi makan. Kalau udah dengar lonceng kita lari saja,” katanya.
Ibu-ibu berkumpul di lapangan bola tempat alat berat. Mereka mencoba menerobos pagar betis petugas untuk mendekati eskavator. Kalau berhasil, mereka berbaring di depan alat berat yang sedang berjalan.
Saat seperti itu, eskavator akan berhenti. Para perempuan naik ke atas roda alat berat itu. Mendudukinya. Kalau bisa bertahan, eskavator tidak bekerja seharian.
Hari pertama melawan, cara itu cukup efektif. Banyak eskavator tak beroperasi. Esoknya, petugas mengubah cara kerja.
Eskavator mereka sebar di banyak titik. Karena kekurangan orang, anggota Futasi kesulitan menghadang. Begitulah mereka melawan, berbulan-bulan.
“Kita ditarik-tarik. Kalau sudah di atas eskavator ya, harus pegangan kuat-kuat,” kata Rospina.
Martalena juga sudah tak pikir bahaya. Yang dia pikirkan bagaimana alat berat berhenti bekerja agar tak banyak ladang dan rumah rusak. Menurut dia, ibu-ibu lupa dengan nyawa sendiri saat sedang melawan.
“Kadang kalau dipikir ulang kita ngeri sendiri. Tidur di depan alat berat yang lagi jalan. Apa enggak gila. Tapi udah lupa demi tanah ini,” kata Martalena.
Fenny Laori Sitohang, ketika penggusuran berlangsung, jarang turun menghadang eskavator karena sedang sakit. Dia menderita penebalan dinding rahim dan tak berhenti mengalami pendarahan.
Meskipun begitu, saat alat berat masuk pekarangan rumah dia tak tahan. Walau takut, Fenny keluar dengan sarung penuh darah, memegang bibel, berteriak mempertahankan rumah dan tanaman di pekarangannya.
“Aku enggak peduli lagi sama sakitku, sampai enggak sadar udah pendarahan,” katanya.
Melihat dia berlumuran darah, eskavator mundur.
Fenny juga cerita, bagaimana seorang perempuan baru tamat SMA melompat ke dalam “sendok” eskavator. Dia angkat tinggi-tinggi dan diputar-putar di atas.
Orang-orang yang melihat berteriak meminta dia turun. Beberapa perempuan lain berani memanjat eskavator yang sedang berjalan atau menjambak rambut supir agar menghentikan operasi alat berat.
“Kalau lihat, ngerilah. Eskavator lagi jalan itu dihadang. Kalau salah-salah apa enggak dipijak kita,” katanya mengenang.
Selama melawan penggusuran, Futasi membagi tim. Perempuan menghadang dan menduduki eskavator. Sedangkan laki-laki merekam semua kejadian untuk bukti kalau terjadi kekerasan.
Petugas membaca situasi itu. Saat ada satu orang yang dapat mereka tangkap, petugas akan mengerumuni hingga tidak dapat terekam. Di dalam kerumunan itu anggota Futasi akan dipukuli.
Suatu hari, kebun jagung Tiomerli kena rusak orang-orang PTPN III. Tiomerli mengejar orang-orang itu. Martalena melihat Tiomerli sendiri, segera menyusul. Karena tak ada kamera yang mengikuti dia ditangkap dan dipukuli petugas.
“Di situlah kurasakan orang mau mati. Dipukul dadaku ini. Enggak bisa kutarik napasku, kayak berhenti jantungku.”
Beruntung, seorang mahasiswa menutupi hingga jadi sasaran petugas selanjutnya. Martalena punya waktu untuk menghela napas. Tiomerli juga kena pukulan saat itu. Mata kena sikut sampai bengkak sebesar kepalan tangan orang dewasa.
Silvia juga pernah kena keroyok petugas. Saat itu, dia menghadang eskavator yang akan merobohkan rumah. Petugas menarik dan memukuli hingga bajunya sobek.
Martalena bilang, seringkali badan mereka biru-biru, terkena duri, sampai lecet kena seret. Dia baru sadar saat pulang. Kalau masih bersama perempuan yang lain, mereka akan saling memperhatikan.
“Kadang waktu mandi baru kita sadar, kepala udah benjol, tangan udah biru,” ujar Martalena.
Perlahan, hari-hari mencekam itu berubah menjadi perjuangan yang penuh semangat. Cerita-cerita menghadang eskavator menjadi cerita lucu di lapo.
Malam hari, saat mereka berkumpul di lapo sambil berbagi kabar dan membahas strategi, satu dua orang akan bernyanyi. Lapo jadi tempat anggota Futasi saling menghibur.
Saat rumah tempat pertemuan kena hancurkan, anggota Futasi mengumpulkan uang untuk membeli net. Mereka membuat lapangan voli. Sore hari, saat pulang dari menghadang eskavator mereka bermain voli. Bapak-bapak dan anak menonton dari samping lapangan sambil bersorak sorai.
“Mungkin orang PTPN III pikir kami gila, baru nangis-nangis bertarung di lapangan pulang udah ketawa-ketawa lagi. Tapi itulah hiburan kami yang udah mau setres ini,” kata Martalena.
Menggantung harap, merawat asa
Saat deru alat berat makin terdengar, semua mata tertuju ke sana. Mengikuti gerak lambatnya sambil bertanya-tanya kemana alat penghancur itu akan pergi. Dari bukit kecil di seberang jalan tol, ada dua rumah. Gerak eskavator terlihat jelas dari sana, perlahan keluar dari pekarangan pondok PTPN III dan mulai bekerja di tol.
Tujuh perempuan berkumpul memperhatikan alat itu seharian sambil memakan mie gomak dan kacang rebus.
Di samping rumah itu ada pohon cukup tua, satu dari sedikit pohon tersisa di Gurilla. Marice Sirait, anggota Futasi bercerita, bagaimana mempertahankan pohon di samping rumahnya ketika penggusuran.
Dia berdiri di depan pohon memegang egrek (alat panen sawit) sambil berteriak siapa yang mau maju akan merasakan egrek-nya. Dia juga membuka baju agar petugas laki-laki memalingkan wajah.
“Naik aku ke atas pohon itu. Enggak berani orang itu bongkarnya,” kata Marice.
“Sekarang pun, siapa yang mau bongkar itu, dirasakannya dulu ini,” katanya sambil mengeluarkan egrek-nya yang panjang.
Rospina terus berharap. Hidupnya ada di Gurilla yang telah dia bangun dari belukar. Dia sudah tak punya harapan lagi di luar sana. Kalau hanya sedikit orang bertahan di Gurilla dia akan tetap di sana mempertahankan rumah dan tanahnya.
“Dari luar memberikan semangat agar kami bertahan saja sudah cukup, aku tetap di sini,” katanya.
Martalena juga sama. Baginya, kemerdekaan ada di Gurilla, di rumahnya sendiri. Kalau ada yang ingin merebut dia akan berjuang keras bertahan.
“Aku pikir berjuang ini, asal kita enggak salah kita harus berani melawan. Kalau kita ga melawan dipijak orang kita. Setiap hari kita berjuang.”
Tiomerli yakin teman-temannya akan terus bertahan. Mereka yang datang ke Gurilla adalah orang-orang yang hidup serba kesulitan. Mereka menanam harapan hidup lebih baik di Gurilla dan akan terus menjaganya.
“Ini tanah Tuhan, aku perjuangkan tanah Tuhan. Kalau mereka tanya apa alas haknya? Ini, perutku ini sudah hampir 20 tahun dapat makan dari tanah ini. Kami tidak mau mundur selangkah pun,” kata Tiomerli.
*****
*Tulisan ini kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)