Nelayan Kecil Kesulitan Melaut Akibat Kelangkaan BBM Subsidi

2 months ago 53
  • Nelayan kecil diberbagai wilayah pesisir di Indonesia, seperti Bengkalis dan Bintan, kesulitan mendapatkan BBM subsidi akibat distribusi tidak tepat sasaran dan minimnya pengawasan.
  • Terbatasnya BBM memaksa nelayan berhutang kepada tengkulak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ketergantungan pada utang meningkat hingga 30% dalam tiga tahun terakhir, sementara hasil tangkapan tidak menentu.
  • Dengan hanya 72 SPBUN di seluruh Indonesia, distribusi BBM ke wilayah pesisir sangat terbatas, padahal kebutuhan ideal mencapai 200 unit.
  • Pemerintah sedang mengembangkan sistem digitalisasi distribusi BBM berbasis kartu nelayan untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi kecurangan.

Di pesisir Desa Prapat Tunggal, Kecamatan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, perjuangan nelayan seperti Sudirman (41) semakin berat. Ia mengaku dalam tiga tahun terakhir, mengalami kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi, khususnya solar, menjadi momok yang terus membayangi mata pencahariannya.

Sudirman yang sedari kecil sudah menggantungkan hidup pada laut kini seringkali harus berhutang demi bertahan hidup, menunggu giliran mendapatkan BBM yang keberadaannya kian sulit.

“Minyak itu datang seminggu sekali, tapi yang duluan bukan kami nelayan. Orang yang punya galon atau yang dagang bensin itu lebih diutamakan. Kami seperti minta sedekah,” keluh Sudirman kepada Mongabay, akhir November 2024 lalu.

Pria berkulit sawo matang ini melanjutkan, karena kehabisan solar membuatnya pernah tidak bisa berangkat melaut selama 13 hari. Padahal, sekali trip Sudirman mengaku bisa menghasilkan pendapatan kotor hingga Rp2 juta, tergantung hasil tangkapannya.

Menurut Sudirman, walaupun pemerintah sudah menetapkan pangkalan minyak khusus untuk nelayan, namun dalam praktiknya monopoli oleh pedagang dan kurangnya pengawasan membuat distribusi tidak tepat sasaran.

“Kami punya jatah 350 liter per bulan, tapi yang kami terima seringkali hanya 100 sampai 130 liter. Selebihnya, mungkin dijual ke pihak lain. Melapor ke dinas terkait juga tidak ado tanggapan,” imbuhnya.

Praktik-praktik itu, katanya, membuat dia akhirnya terpaksa pinjam uang ke ‘toke’ atau pengepul untuk memenuhi kebutuhan selama tidak bisa melaut. Ia mengaku terpaksa harus pinjam karena tabungan juga sudah tidak bisa diharapkan.

Baca : BBM Mahal, Nelayan Pulau Mandioli Tak Lagi Melaut  

Nelayan mengisi bahan bakar minyak ke mesin perahu yang akan digunakan untuk menangkap ikan. Energi baru terbarukan bisa menjadi opsi penting untuk mengatasi ketidakpastian akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Terjebak Hutang

Sistem ini memaksa Sudirman terus terjebak dalam lingkaran hutang. Kondisi semakin memprihatinkan apabila hasil tangkapan tidak sesuai dengan harapan. Sedangkan disisi lain, sebagai tulang punggung keluarga ia mesti harus berjuang menghidupi empat anak.

“Nanti kalau tangkapan bagus, baru bisa lunasi. Tapi kalau tidak bagus, hutang makin numpuk,” ungkapnya. Bahkan, karena kondisi ini tak jarang beberapa rekannya sesama nelayan harus beralih ke pekerjaan serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Tanpa akses BBM yang kurang memadai, jelas Sudirman keberlangsungan hidup keluarga nelayan juga terdampak. Untuk itu, ia bersama nelayan lain yang ada di perbatasan negara Malaysia ini berharap pemerintah lebih serius mengatasi persoalan distribusi BBM.

Tidak hanya sistem yang transparan, namun Sudirman juga berharap pengawasan di pangkalan minyak khusus nelayan lebih diperketat. Disamping itu, ia juga mengusulkan agar pembelian BBM diprioritaskan untuk nelayan terlebih dulu, sebelum dijual ke pihak lain.

Persoalan serupa juga dihadapi Saputra Kurniawan (32). Nelayan di Kampung Mentigi, Kelurahan Tanjung Uban Kota, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan, Provinsi Riau ini mengatakan, meski tempatnya dekat dengan kilang minyak Pertamina, namun ia mengaku harus berjuang untuk mendapatkan BBM subsidi yang dialokasikan untuk nelayan.

Dia bilang, karena tempatnya jauh dengan Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan (SPBUN), sehingga untuk mengakses BBM subsidi ia harus lewat kios yang sudah direkomendasikan. Namun, keberadaan kios ini tidak selalu buka.

“Kadang kios BBM tutup. Kalau mau beli, harus panggil ke rumah pemiliknya dulu. Jadi, serba salah,” ungkap Saputra, Jum’at (29/11/2024).

Baca juga : Derita Nelayan Tradisional Setelah Harga BBM Naik

Nelayan di Bengkalis menjaring ikan di perairan Selat Malaka. Tanpa akses BBM yang kurang memadai keberlangsungan hidup keluarga nelayan juga terdampak. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Untuk melaut sejauh 1 mil dari pantai Saputra mengandalkan perahu kecil berukuran sekitar 1 Gross Tonnage (GT). Kendati kebutuhan BBM per bulan mencapai 220 liter, ia mengaku kesulitan mendapatkannya.

Ia menyebut bahwa kendala utama bukan hanya sulitnya mendapatkan minyak, namun juga praktik yang kurang transparan dari pihak tertentu “Kuota minyak subsidi kami sering dialihkan untuk kepentingan lain,” imbuhnya.

Saputra bilang, alternatif pembelian BBM di luar kios resmi memang ada, akan tetapi harganya lebih tinggi, kisaran Rp15.000 ribu per liter dibandingkan dengan untuk subsidi yang harganya Rp12.000 ribu per liter.

Atas permasalahan yang dihadapi itu, ia berharap ada solusi yang berkelanjutan, misalnya pembangunan SPBUN di daerahnya untuk memastikan distribusi BBM yang adil.

“Minyak itu sangat penting lagi bagi kami. Nah disini juga banyak yang bermain. Kami yang marah itu di situ,” jelas dia “Kita mau lapor ke sana, mau lapor ke sini pun sama saja bohong,” imbuh pria yang merasa kesulitan mengakses BBM sejak 2 tahun lalu ini.

Picu Tekanan Sosial

Kelangkaan BBM tak hanya berdampak pada pendapatan nelayan, namun juga memicu tekanan sosial yang besar. Menurut penelitian the SMERU Research Institute, ketergantungan nelayan pada tengkulak dan pengepul meningkat lebih dari 30 persen dalam tiga tahun terakhir akibat keterbatasan BBM.

Bahkan, beberapa keluarga nelayan terpaksa memindahkan anak-anak mereka ke sekolah yang lebih murah atau menghentikan pendidikan sepenuhnya karena biaya hidup yang melonjak.

Berdasarkan laporan dari Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), per November 2024, distribusi BBM subsidi ke wilayah pesisir Sumatra terganggu oleh masalah logistik, termasuk minimnya jumlah SPBUN.

Saat ini, hanya terdapat 72 SPBUN di seluruh Indonesia, padahal kebutuhan ideal diperkirakan mencapai 200 unit untuk mencakup wilayah pesisir secara menyeluruh.

Pemerintah sebenarnya telah menetapkan kebijakan kuota BBM subsidi khusus bagi nelayan, akan tetapi kenyataannya tidak berjalan optimal.

Baca juga : Pengganti BBM, Elpiji Jadi Pilihan Nelayan

Kapal SPBU terapung pertamina di perairan Jakarta. Fasilitas SPBU terapung ini juga untuk melayani BBM Subsidi bagi para nelayan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengungkapkan, berdasarkan survei yang pernah dilakukan KNTI pada tahun 2021 lalu, terdapat 82 persen nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi sesuai dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Dia bilang ada dua faktor mengapa nelayan kecil tidak bisa mengakses. Pertama, terkait dengan adiministrasi yang rumit, mengurus surat rekomendasi, membuat E-Pas kecil, kepemilikan terhadap kartu KUSUKA, dan juga rumitnya prosedur dari pengurusan rekomendasi.

“Dulu begitu kira-kira temuannya ya. Ini yang kemudian kita dorong sampai sekarang agar upaya reformasi terhadap aturan tentang pembuatan surat rekomendasi BBM itu disederhanakan, disimplifikasi,” ujarnya, Senin (02/11/2024)

Masalah kedua yang krusial menurut Dani, yaitu terkait dengan minimnya infrastruktur distribusi BBM ke kampung-kampung nelayan.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga akhir tahun 2024, terdapat lebih dari 800 ribu nelayan kecil di Indonesia yang tergantung pada BBM subsidi.

Namun, akses yang sulit, ditambah dengan sistem distribusi yang tidak merata, terus menjadi tantangan yang merugikan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, KKP bersama BPH Migas sedang mengkaji pengembangan sistem digitalisasi distribusi BBM melalui kartu nelayan berbasis identitas tunggal.

Dengan sistem ini, nelayan yang terdaftar akan langsung mendapatkan kuota BBM tanpa perantara. “Mungkin para nelayan belum familiar dengan sistem ini. Namun ini menjadi upaya pemerintah untuk mencegah kecurangan,” ujar Lotharia Latif, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, KKP.

Disamping itu, implementasi sistem ini masih terkendala kurangnya infrastruktur teknologi di wilayah pesisir. (***)

Energi Terbarukan, Solusi Baru untuk Nelayan Kecil di Indonesia

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|