Negara Penting Akui Upaya Konservasi Masyarakat Adat

1 month ago 84
  • Masyarakat adat menjalin harmoni dengan hutan, sungai, danau, dan keanekaragaman hayati di sekitar mereka. Merekalah penjaga hutan sekaligus sebagai sumber kehidupan.  Untuk itu, penting bagi negara mengakui upaya konservasi masyarakat adat, bukan sebalkinya. 
  • Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengatakan, masalah masyarakat adat saat ini merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda. Paradigma yang dipakai kala itu sampai sekarang masih sama. Pemerintah menginginkan kepemilikan dan kontrol penuh terhadap hutan termasuk di wilayah adat.
  • Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institut juga dosen sosiologi pedesaan di IPB University mengatakan, UU  di Indonesia belum menempatkan masyarakat adat sebagai pemangku hak (right holder) sepenuhnya dalam wilayah konservasi. Dampaknya, pengetahuan adat mengenai konservasi tidak diakui dan diabaikan negara. Padahal, praktik-praktik konservasi masyarakat adat sudah terbukti efektif menjaga dan merawat alam.
  • Mia Siscawati, antropolog feminis juga Ketua Program Studi Kajian Gender, Program Kajian Gender, Sekolah Kajian Strategik Global, Universitas Indonesia  mengatakan, para leluhur msyarakat adat, berdasarkan pengalaman, melakukan pengamatan dan pengembangan terus menerus terkait ruang hidup sampai saat ini. Tak jarang,  para perempuan adat memiliki pengetahuan tentang pengawinan tumbuhan jenis-jenis tertentu dengan baik.

Masyarakat adat menjalin harmoni dengan hutan, sungai, danau, dan keanekaragaman hayati di sekitar mereka. Merekalah penjaga hutan sekaligus sebagai sumber kehidupan.  Untuk itu, penting bagi negara mengakui upaya konservasi masyarakat adat, bukan sebaliknya.

Seperti Masyarakat Adat Dalem Tamblingan,  leluhur mereka sejak ribuan tahun silam hidup dan menjaga alam di Bali. Mereka sudah menetap di Alas Mertajati, Tamblingan, sejak abad kesembilan, berdasarkan prasasti dan lontar yang ditemukan di Bali.

Kata ‘mertajati’ punya arti ‘sumber kehidupan’. Hutan dan danau bagi mereka suci. Demi menghormati kesucian itulah, abad ke-14,  mereka memilih turun ke bawah, kini jadi pemukiman di empat desa.

Alas Mertajati pemerintah tetapkan jadi taman wisata alam, sebelumnya bagian dari Cagar Alam Batukau.

Cagar Alam itu menyuplai sepertiga kebutuhan air di Pulau Bali. Kini, debit air mulai menurun seiring makin masif pembangunan di bagian atas Alas Mertajati. Awalnya bagian atas Mertajati terdiri dari pohon-pohon besar, namun vila-vila mulai-mulai menyingkirkannya.

“Menurut saya, pemerintah membuat peraturan-peraturan konservasi tidak pernah melihat eco-social system setempat yang genuin, seperti interaksi komunitas dengan bentang alam,” kata Putu Ardana, tokoh Masyarakat Dalem Tamblingan.

Dia bilang, pada 2022-2023, ada perusahaan datang ke masyarakat, untuk membuka tempat wisata. Mereka membawa lembaran surat izin dari kementerian.

Perwakilan perusahaan bilang, berbagai ritual, adat istiadat di situ menarik untuk jadi atraksi para wisatawan. Ungkapan itu menyakiti hati Putu Ardana karena menempatkan adat istiadat dan tradisi sebatas atraksi untuk wisatawan.

Bagi masyarakat adat, ritual-ritual adalah suci yang tidak ternilai.

“Kami beritual itu dianggap sebagai atraksi,” kesal Putu.

“Anda sudah membawa izin. Kami tidak punya legal standing untuk menolong. Tetapi kalau Anda menanyakan kepada kami, jawaban kami tidak setuju.”

Tak hanya itu, pembalakan dan pemburuan liar makin hari makin marak. Masyarakat Tamblingan tidak punya legal standing untuk melakukan tindakan, sekadar hanya melapor kepada instansi terkait bahwa ada kejadian itu.

Dari sana, katanya, memperlihatkan bahwa ketika masyarakat adat urus hutan lebih baik daripada pemerintah. Keberhasilan masyarakat adat menjaga hutan sudah terbukti sejak ribuan tahun lalu.

Persoalan tak jauh beda dialami Masyarakat Adat Dayak Lundayeh di Kalimantan Utara. Dovina Dalmus, Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat Kalimantan Utara, wilayah adat Lundayeh masuk dalam Taman Nasional Kayan Mentarang. Lundayeh terdiri dari enam suku besar dari 10 suku di Malinau.

“Itu masuk Taman Nasional Kayan Mentarang, disebut negara sebagai kawasan konservasi tanpa kami tahu awalnya,” katanya dalam webinar bertajuk Peace with Nature.

Ada juga proyek strategis nasional (PSN) yang masuk ke wilayah adat, sedang masyarakat ditarik pindah ke tempat lain.  Sebagian besar masih tetap di sana, menjalankan keseharian dan adat istiadat.

Hutan adalah rumah mereka, sekaligus sumber kehidupan mereka, sehingga menurut Dovina tidak perlu ada status apapun dari pemerintah untuk mengatur hutan mereka karena mereka akan menjaganya dengan baik.

Salah satu praktik Masyarakat Dayak Lundayeh adalah niarlati, yaitu, ritual menyapa ladang dan tanaman tanpa melakukan apapun.

Mereka menyapa pohon-pohon, percaya bahwa pohon-pohon itu punya roh, ada-adanya dalam istilah Lundayeh.

“Kita sapa, kita sayangi seperti anak dengan keyakinan kalau kita menyayangi apa yang kita tanam, kita pelihara, akan memberi hasil baik untuk kita,” kata Dovina.

Mereka juga punya cara sendiri dalam melestarikan benih. Masyarakat Dayak Lundayeh punya istilah arak mevetamat, yaitu, menjelaskan benih-benih tanaman yang tak boleh putus.

“Biasa dalam adat istiadat kami benih itu dijaga dengan saling tukar dengan menanam sedikit di sudut-sudut ladang,” kata Dovina.

Mereka juga punya fulung buah. Ini wilayah dalam wilayah adat hanya untuk tanaman buah. Wilayah itu mereka jaga dan lindungi, ada aturan adat, dan sanksi bagi pelanggar.

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Tatanan hukum masyarakat adat

Yance Arizona, dosen Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, mengatakan, masalah masyarakat adat saat ini merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda. Waktu itu,  pemerintah kolonial mengklaim kalau penduduk pribumi tak bisa membuktikan secara administratif lahan-lahan mereka, berarti jadi milik negara.

Waktu itu,  masih belum ada proses administrasi terhadap tanah masyarakat, terutama masyarakat adat. Paradigma yang dipakai kala itu sampai sekarang masih sama. Pemerintah menginginkan kepemilikan dan kontrol penuh terhadap hutan termasuk di wilayah adat.

“Juga praktik-praktik pengelolaan masyarakat adat dianggap praktik yang tidak baik,” katanya.

Yance bilang, warisan ideologi kolonial ini harus diputus. Undang-undang Kehutanan sudah berubah berkali-kali sampai saat ini, tetapi ideologi masih sama.

Pada masa Orde Baru, masyarakat adat dianggap perambah hutan, padahal mereka sudah ratusan tahun tinggal di hutan-hutan itu.

Pemerintah kemudian memindahkan mereka dari hutan, biasa lalu berikan konsesi kehutanan kepada perusahaan-perusahaan besar.

Saat ini, katanya,  ada belasan UU secara substansial mengatur tentang masyarakat adat. Masalahnya,  belum ada Undang-undang khusus masyarakat adat meski sudah diperjuangkan sejak 2011.

Indonesia perlu UU untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, hingga pengakuan negara tak bersifat parsial, tetapi utuh.

Secara konstitusi, Indonesia punya dasar bagus, antara lain, ada Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam konstitusi itu menyatakan, pemerintah harus mengakui hutan adat. Hutan adat yang terlanjur jadi hutan negara kembalikan sebagai hutan adat.

Dalam tataran global sekarang, katanya, justru melihat masyarakat adat ini sebagai solusi krisis iklim, dan keberlanjutan lingkungan ke depan. “Jadi, tidak saja bisa diserahkan kepada negara, tetapi masyarakat adat juga perlu berperan penting.”

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institut juga dosen sosiologi pedesaan di IPB University, menyebut,  konsep konservasi tak berwujud tunggal. Ada banyak tawaran konsep konservasi, tinggal kemauan pemerintah untuk mewujudkannya.

Sejauh ini, katanya,  kecenderungan praktik konservasi di Indonesia menggunakan paradigma biosentrik, lebih mengutamakan pelindungan flora dan fauna, seperti spesies langka hewan tertentu.

Seharusnya, konservasi menggunakan prinsip HAM, juga memberikan ruang terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal.

Bagi Eko, tidak bisa atas nama konservasi atau ekowisata, lalu menyingkirkan masyarakat adat terhadap hutan.

“Konsep konservasi klasik yang lama itu masih menjadi dasar jadi kebijakan konservasi, padahal itu adalah bibit-bibit dehumanisasi di kawasan konservasi,” katanya.

Sejauh ini, katanya, UU  di Indonesia belum menempatkan masyarakat adat sebagai pemangku hak (right holder) sepenuhnya dalam wilayah konservasi.

Dampaknya, pengetahuan adat mengenai konservasi tidak diakui dan diabaikan negara. Padahal, praktik-praktik konservasi masyarakat adat sudah terbukti efektif menjaga dan merawat alam.

“Yang dominan masih diakui sebagai konservasi adalah konservasi versi negara.”

Sedangkan, praktik-praktik konservasi negara atas nama konservasi atau ekowisata cenderung topeng untuk merampas hak-hak masyarakat adat terhadap ruang hidupnya (land grabbing).

“Jadi, kalau sekarang ada gerakan masyarakat adat menuntut hak-haknya kembali, sebenarnya satu koreksi konstitusional. Menurut saya, negara belum memenuhi sejarah atau mandat konstitusional.”

Cindy Julianti, Manajer Program Working Group ICCAs Indonesia (WGII), mengatakan, konservasi hutan tidak akan berhasil kalau hanya bertumpu kepada pemerintah. Untuk itu, perlu menyertakan masyarakat adat dan akui pengetahuan mereka.

“Karena tidak ada sustainability dari alam tanpa ada social sustainability,” katanya.

Dia berargumen, tujuan utama dari konservasi bukanlah melindungi jenis-jenis keanekaragaman hayati tertentu, juga melestarikan identitas budaya masyarakat, yang dampaknya juga berbagai spesies flora-fauna dan ekosistem terjaga.

“Jangan sampai penetapan kawasan konservasi itu justru penyingkiran hak dan kemiskinan terhadap masyarakat di kawasan konservasi itu.”

Para perempuan adat pilu melihat ruang hidup mereka bakal hilang jadi Bendungan Lambo. Foto: Moh Tamimi/Mongabay Indonesia

Kedaulatan pangan masyarakat adat

Hutan merupakan supermarket bagi masyarakat adat. Di sana sumber segala, dari keperluan pangan, obat-obatan sampai budaya. Begitu juga di Masyarakat Dayak Lundayeh.  Bahkan, untuk pendistribusian hasil hutan termasuk pertanian, di Malinau ada pasar khusus memperjualbelikan berbagai jenis pangan lokal, Pasar Inai, namanya. ‘Inai’ artinya ‘ibu’. Mayoritas penjual para perempuan.

Menurut Dovina,  perawatan dan pengelolaan masyarakat adat terhadap hutan adalah bentuk konservasi. Jalinan harmoni antara manusia dengan alam hingga tercipta hubungan saling menguntungkan satu sama lain tanpa membuat kerusakan.

“Masyarakat sudah melindungi, sejak dulu  sampai sekarang, terserah negara mau bilang apa. Mau bilang taman nasional, mau sebut itu apa? Bagi kami itu adalah taman adat. Silakan negara punya petanya, tetapi kami punya tanahnya.”

Mia Siscawati, antropolog feminis juga Ketua Program Studi Kajian Gender, Program Kajian Gender, Sekolah Kajian Strategik Global, Universitas Indonesia  mengatakan, dalam setiap masyarakat adat punya pengetahuan adat sendiri.

Masyarakat adat dan alamnya,  tidak terpisahkan. Bila terpisah, sama dengan memutus pengetahuan mereka. Wilayah adat adalah ruang hidup mereka, ruang eksperimen dan inovasi mereka.

“Wilayah adat juga sekaligus, sebetulnya, merupakan arena rangkaian relasi sosial dan relasi kuasa berbasis gender yang berkelindan dengan berbagai dimensi sosial lain,” katanya.

Para leluhur mereka, berdasarkan pengalaman, melakukan pengamatan dan pengembangan terus menerus terkait ruang hidup sampai saat ini. Tak jarang,  para perempuan adat memiliki pengetahuan tentang pengawinan tumbuhan jenis-jenis tertentu dengan baik.

“Artinya,  pengetahuan yang dimiliki perempuan adat di tempat-tempat tertentu akan sangat khas.”

Sayangnya, kata Mia, dalam perjalanannya, proses penghancuran ruang hidup masyarakat adat terjadi tak hanya menghilangkan pengetahuan juga sumber-sumber pengetahuan.

Kondisi ini, katanya, akan memberikan berbagai dampak negatif bagi keberlangsungan hidup masyarakat, bahkan negara, salah satunya terkait kedaulatan pangan.

Apa yang perempuan adat lakukan, katanya, bukan sekadar menyiapkan pangan keluarga, juga mewujudkan kedaulatan pangan keluarga dan komunitas.

Implikasinya, jenis pangan bisa bermacam-macam di masing-masing komunitas masyarakat tertentu, tak seragam, misal, hanya padi.

Mia mencontohkan masyarakat di Gunung Kidul, Jawa Tengah, memiliki sistem pangan setara dan inklusif. Lumbung padi mereka tak hanya untuk keluarga inti juga keluarga lain yang di dalamnya ada lansia, penyandang difabel, atau yang kurang memiliki kemampuan dalam memenuhi pangan.

Pangan tidak jadi komoditas pasar/industri atau sekadar membuat mereka kenyang, juga identitas sekaligus perekat hubungan sosial satu sama lain.

“Mereka mengatakan sudah ratusan tahun tidak pernah mengalami kelaparan di dalam komunitas.”

Arkilaus Kladit, pengurus Dewan Permusyawaran Adat Knasaimos (berkemeja) bersama Amos Sumbung, dari Greenpeace, di hutan adat Knasaimos, yang baru mendapatkan SK Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Adat dari Bupati Sorong Selatan, Juni lalu. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

********

UU Konservasi Revisi Sah, Rawan Abaikan Masyarakat?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|