Menyoal Revisi Kilat UU Minerba

2 weeks ago 23
  • Dalam hitungan tak sampai dua bulan, revisi Undang-undang Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ketok palu dalam rapat paripurna DPR, 19 Februari lalu. Berbagai kalangan khawatir dengan pengesahan ini makin suram bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
  • Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, proses revisi UU Minerba jauh dari transparan dan secara ugal-ugalan. Selain tak melibatkan partisipasi publik, revisi UU ini tidak termasuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) maupun prolegnas prioritas.
  • Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, pasal baru mengenai pertimbangan tata ruang makin memudahkan perampasan tanah rakyat.
  • Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institut (Sains) dan pengajar sosiologi pedesaan di IPB University, mengatakan, pengesahan revisi UU Minerba merupakan kontrol negara terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat sipil–termasuk ormas keagamaan. Implikasinya, peluang untuk menjadi otoritarianisme baru jadi lebih kuat.

Tak sampai dua bulan, revisi Undang-undang Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) ketok palu dalam rapat paripurna DPR, 19 Februari lalu. Berbagai kalangan khawatir dengan pengesahan ini makin suram masyarakat dan lingkungan hidup.

Sebelumnya, 17 Februari 2025, seluruh fraksi di DPR menyetujui revisi ketiga UU Minerba bersama dengan DPD dan pemerintah yang diwakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan, pengesahan itu menguatkan indikasi gedung DPR hanya panggung sirkus untuk bertransaksi kepentingan, terutama kepentingan berbisnis sumber daya alam.

Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jatam Nasional menyatakan,  tak ada satupun anggota DPR yang mengklaim sebagai wakil rakyat, mewakili rakyat, khusus yang jadi korban tambang selama puluhan tahun.

Menurut dia, proses revisi usulan DPR ini jauh dari kata transparan dan sembrono. Selain tak melibatkan partisipasi publik, agenda revisi UU Minerba tidak termasuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) maupun prolegnas prioritas.

Pada 2024, DPR menetapkan 176 RUU masuk dalam prolegnas 2024-2029, 41 prioritas, namun tak ada revisi UU Minerba di dalamnya.

Dia bilang, banyak RUU mendesak perlu pengesahan seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sejak 21 tahun lalu, RUU Masyarakat Adat, serta RUU Perampasan Aset yang kini berganti menjadi RUU Pemulihan Aset.

Bob Hasan, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba mengatakan,  revisi ini tak tergesa-gesa.Tetapi, tindak-tanduk DPR sebagai pengusul revisi menunjukkan sebaliknya.

Panja RUU Minerba melakukan pengkajian daftar inventarisasi masalah (DIM) bersama pemerintah dan DPD selama sepekan terakhir nyaris tanpa jeda.

Menurut pantauan Jatam, kata Alfarhat, rapat pembahasan DIM dan penyempurnaan redaksional isi RUU Minerba berlangsung pada 12, 13, 14, 15 Februari hingga larut malam dan berlangsung ecara tertutup.

Adapun RUU Minerba mendadak masuk bahasan pertama kali di Baleg, 20 Januari 2025, juga tertutup di tengah masa reses.

Keesokan harinya, 21 Januari 2025, RUU ini menjadi usulan inisiatif DPR dalam rapat tertutup.

Usulan ini dibawa ke dalam Rapat Paripurna DPR 23 Januari 2025 yang resmi menyetujui RUU Minerba untuk masuk bahasan jadi Undang-undang. Tak sampai sebulan, pada 12 Februari 2025, Baleg membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU Minerba yang pemerintah dan DPD serahkan,  dalam pertemuan tertutup.

Tak sampai sebulan, rapat-rapat tertutup ini membuahkan rancangan aturan menjad iUU  pada 18 Februari lalu.

Alfarhat mengatakan, rapat-rapat tertutup antara pemerintah, DPD, DPR, menunjukkan Undang-undang ini bukan untuk rakyat, melainkan kaki tangan para oligarki tambang. Selain itu, penyusunan juga melanggar UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan ada keterbukaan.

Penyusunan revisi UU Minerba juga melanggar hierarki hukum yang tercantum dalam Pasal 7. Sebab, revisi ini untuk mengakomodir Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 yang mengatur pemberian jatah konsesi kepada ormas keagamaan.

“Artinya, pemerintah dan DPR berupaya mengakomodir peraturan yang kedudukan lebih rendah daripada UU agar seolah-olah memiliki legitimasi kepastian hukum.”

PP ini masuk dalam Pasal 60 mengatur pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) batubara kepada ormas keagamaan, kemudian diperluas kepada koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha kecil dan menengah (UMKM).

Pemberian WIUP kepada entitas bisnis ini secara prioritas dengan dalih menguatkan fungsi ekonomi ormas keagamaan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM. Terbuka pula ruang

ikut mengelola tambang mineral seperti dalam Pasal 51.

Secara prinsip, tambah Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim, penerbitan revisi UU Minerba untuk mengakomodir PP melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi). Penerabasan prinsip ini dia duga sudah ada kesepakatan sebelumnya di luar rapat-rapat Baleg.

Dalam rancangan awal RUU Minerba, sebelum pembahasan bersama pemerintah dan DPD, ormas keagamaan hanya dapat jatah konsesi batubara. Sedangkan, perguruan tinggi, koperasi, dan perusahaan perorangan, jatah konsesi mineral logam.

Namun, kata Mareta, setelah pembahasan empat hari berturut-turut, seluruh entitas bisnis itu dapat menambang batubara juga mineral logam, seperti dalam Pasal 51 dan Pasal 60.

Dengan kata lain, siapa saja bisa menambang batubara dan mineral logam di Indonesia, asal memiliki badan usaha berbadan hukum. Adapun komoditas yang masuk mineral logam antara lain nikel, emas, bauksit, timah, tembaga, perak.

“Selain berbohong mengenai proses yang tidak tergesa-gesa, DPR dan pemerintah juga berbohong mengenai pelibatan kampus dalam bisnis tambang.”

Kampus tetap ‘terlibat’ tambang

Dalam konferensi pers usai rapat pleno pengesahan tahap satu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, DPR dan pemerintah sepakat batal memberikan konsesi kepada perguruan tinggi. Hal ini, katanya, seolah-olah mendengarkan masukan publik untuk tidak melibatkan kampus dalam bisnis tambang.

Namun, pembatalan itu tidak serta-merta menggugurkan niat membawa kampus ke dalam bisnis tambang mineral dan batubara. DPR dan pemerintah hanya menggeser posisi kampus dari sebagai penerima konsesi menjadi penerima manfaat melalui skema perjanjian kerja sama seperti yang diatur dalam Pasal 51 A dan Pasal 60A.

Pasal 51A mneyebutkan, “dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, pemerintah pusat memberikan WIUP mineral logam dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”

Pasal 60A, “dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, pemerintah pusat memberikan WIUP batubara dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”

Aturan itu, katanya, perangkap bagi kampus yang pemerintah dan DPR sediakan. Kampus-kampus yang selama ini mengusung konsep green campus dan selalu menggunakan parameter sustainable development goals (SDG’s) selayaknya malu menerima manfaat tambang.

Moh Taufik, Dinamisator Jatam Sulteng, menambahkan, bagi pebisnis tambang, posisi kampus hanya jadi ‘stempel’ legitimasi moral dan intelektual agar aktivitas penambangan seolah-olah bersih, berkelanjutan, dan mengedepankan kemaslahatan masyarakat. Padahal, daya rusak industri ini multidimensional dan sulit pulih.

Kebohongan lain, katanya, pernyataan revisi mendesak untuk menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 37/PUU-XIX/2021 yang menguji materi Undang-undang Nomor 3/2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Juga, UU Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945.

Dalam revisi UU ini, dari 26 perubahan, hanya dua perubahan mengakomodir putusan MK, yaitu Pasal 17A dan Pasal 31A. Perubahan terbanyak, katanya,  adalah pengaturan pemberian ruang kepada koperasi dan UMKM, ormas keagamaan, kampus, untuk berbisnis tambang.

Tambang batubara di Kecamatan Bathin XXIV, Batanghari yang sebelumnya merupakan wilayah Suku Anak Dalam. Foto: Teguh Suprayitno/Mongabay Indonesia

Makin gelap,  bangkitkan otoritarianisme 

Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), pasal baru, Pasal 17A mengenai pertimbangan tata ruang sekadar memudahkan perampasan tanah rakyat.

Pasal ini,  akan mengacak-acak prinsip penataan ruang. Tata ruang suatu daerah dapat menyesuaikan dengan titik-titik tambang. Tak peduli apakah titik itu berada di pemukiman atau lahan warga.

“Ke depan, perampasan tanah petani dan masyarakat pedesaan dapat dengan mudah atas dasar ‘area ini tidak cocok untuk pemukiman atau bertani karena terdapat kandungan batubara di bawahnya’,” kata pengurus YLBHI dalam siaran pers, 19 Februari.

Selama ini, sektor industri pertambangan mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari perampasan lahan masyarakat, kriminalisasi aktivis lingkungan, hingga konflik sosial. Dengan keterlibatan kampus dalam bisnis tambang, mahasiswa dan akademisi yang menentang kebijakan ini berisiko menjadi sasaran represi.

Kekerasan terhadap masyarakat terdampak tambang, juga makin meningkat seiring dengan perluasan eksploitasi sumber daya alam. Apalagi, revisi UU Minerba ini tetap mempertahankan ormas keagamaan sebagai subjek yang bisa mendapatkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institut (Sains) dan pengajar sosiologi di IPB University, mengatakan,  pengesahan revisi UU Minerba ini sebagai bukti makin serius negara melakukan kontrol terhadap masyarakat sipil, perguruan tinggi, termasuk ormas keagamaan–NU dan Muhammadiyah.

Dengan begitu, makin kuat legitimasi ormas untuk jadi bagian dari kekuasaan dan makin kuat pula negara mengontrol kelompok yang berpotensi jadi oposisi atau kritis terhadap negara.

Menurut Eko, konsep negara modern seperti Indonesia di era demokrasi, sebenarnya, mesti ada pengimbang dengan kelompok masyarakat sipil–Komnas HAM, jurnalis, kampus, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil–sebagai penyeimbang negara.

Fungsi masyarakat sipil itu, katanya, terlibat dua arah, ke atas mengkritik negara atau memastikan mematuhi konstitusinya dan ke bawah untuk menangkap suara rakyat agar tersampaikan kepada negara.

“Ketika negara modern [seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi] tidak lagi punya balance power, dengan cara ditundukkan dan ditaklukkan, saat itulah sebenarnya, spirit otoritarianisme itu bangkit,” kata Eko.

Meski begitu, indikator otoritarianisme, tidak bisa sekadar soal izin tambang pada ormas keagamaan, tetapi pada masalah struktural selama ini. Misal, pelibatan TNI-Polri dalam banyak proyek, seperti makan siang gratis (MSG), proyek gagal food estate, urusan pangan, sampai proyek strategis nasional (PSN) yang kerap militer jaga dengan mengait-ngaitkan sebagai ‘menjaga agenda bangsa.’

Pelibatan militer yang bersifat komando-instruktif, kata Eko, juga jadi penanda penting bagaimana otoritarianisme itu makin kuat.

Gejala otoritarianisme ini juga lahir dari jargon-jargon nasionalisme sempit dari tafsir nasionalisme versi kekuasaan yang menguatkan urusan kebangsaan dalam kawalan militer.

“Sehingga yang tidak seperti tafsir kekuasaan [nasionalisme sempit] itu dianggap mengganggu stabilitas, mengganggu cita-cita nasionalisme. Saya termasuk paling khawatir kalau jargon-jargon nasionalisme itu digunakan. Apalagi ngomong nasionalisme ditegakkan dengan militerisme, itu makin mengkhawatirkan.”

Eko bilang, tafsir nasionalisme sempit versi negara ini juga meletakkan sekadar pada ekonomi pembangunan dan surplus. Selama ini, ukuran kesejahteraan rakyat melihat dari pertumbuahn ekonomi, bukan kualitas hidup masyarakat.

“Kalau ngomong pembangunan banyak surplus kita, tapi minus keadilan, minus kebahagiaan.”

Dia pun curiga, jangan-jangan pemberian izin-izin tambang kepada masyarakat sipil–ormas keagamaan, biar tidak ada yang protes kalau oligarki mengeksploitasi sumber daya alam.

“Pertanyaannya, mana wilayah PSN yang nggak bloody? Yang nggak berdarah-darah? Apakah masyarakat di sekitarnya itu makin sejahtera, makin bahagia, makin terjaga alamnya, atau sebaliknya?”

Pengesahan revisi UU Minerba tak lain sekadar membuat korporasi mudah menyingkirkan rakyat dan mudah merusak alam. Situasi ini, kata Eko, mengutip analisis politik Hannah Arendt, seorang filsuf asal Jerman, merupakan tindakan kejahatan bersama-sama hingga membuat orang—para pemegang izin–tidak merasa sedang berbuat jahat.

Revisi UU Minerba juga memperlihatkan bagaimana mengarahkan kampus menjadi klien dalam mekanisme penerima manfaat dari perusahaan tambang. Penundukan kampus, katanya,  bukan hanya membungkam sikap kritis akademisi, juga membuat kampus makin tunduk pada mekanisme pasar.

Kekhawatiran itu juga terlihat pada perguruan tinggi yang bakal terlibat dalam urusan penambangan.

Menurut Eko, perguruan tinggi yang terlibat sebagai penerima manfaat perusahaan tambang, akan menjadi legitimasi hilangnya independensi–yang jadi sandaran moral etik dan intelektual.

Kalau pemegang sandaran moral etik dan intelektual,  seperti ormas keagamaan dan perguruan tinggi, kata Eko, menjadi bagian dari perusak alam, terjadilah demoralisasi pada masyarakat dan umat keagamaan.

Orang-orang tidak lagi percaya pada pemegang moral etik dan intelektual yang terlibat dalam perusakan lingkungan.

“Mereka menganjurkan kebaikan, menganjurkan kemanusiaan, kelestarian alam, tentang rahmatan lil alamin, tapi dia sendiri yang merusak [alam] itu. Punya hak moral apa dia ngomong gitu kalau dia bagian dari perusak?”

Yang jelas, katanya, setelah NU-Muhammadiyah dan perguruan tinggi terlibat tambang, makin sedikit organisasi masyarakat sipil yang bisa mengkritik negara. Kondisi ini, turut memberi peluang negara dan aparatus kekerasan melakukan kesewenang-wenangan.

“Kita mundur! Makin gelap dari Indonesia makin gelap itu. Kita mundur dari sebelum 1998 itu, yakni ditandai kembalinya militerisme di panggung kekuasaan. Kita mundur betul, itu gelap di demokrasi, itulah penanda kuatnya otoritarianisme akan bangkit.”

Protes Suku Tobelo Boeng Wasile Selatan atas aktivitas tambang nikel PT WBN dan PT IWIP di hutan adat Halmahera Timur. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

******

Mengapa Berisiko Kalau Perguruan Tinggi Kelola Tambang?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|