- Industri tuna di Indonesia masih penuh tantangan menuju berkelanjutan, antara lain dari proses penangkapan ikan. Satu contoh perusahaan perikanan di Benoa, Bali, hasil tangkapan dari jenis, ikan yang turun dari kapal pengumpul cukup beragam. Ada tuna, sebagai tangkapan utama, juga kakap merah, dan ikan pedang. Ada pula beberapa spesies masuk dalam daftar merah The International Union Concervation for Nature (IUCN) karena terancam punah, seperti hiu dan pari.
- PT Putra Jayakota dan PT Bintang Jayakota Mandiri adalah dua dari puluhan perusahaan tuna di Benoa yang menangkap hiu dan ambil sirip. Penelusuran melalui portal Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menemukan lebih dari 15 kapal rawai tuna yang teridentifikasi milik kedua perusahaan ini.
- I Nyoman Sudarta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Longline Indonesia (ATLI) mengatakan, dulu, hasil tangkapan sampingan tidak begitu mereka pedulikan. Alih-alih dibawa pulang, biasa dibuang ketimbang memenuhi palka kapal. Karena hasil tangkapan ikan target makin sulit, katanya, hiu sampingan dibawa pulang. Situasinya, sekarang berbeda dengan tangkapan sampingan mencapai 60%, termasuk hiu.
- Okta Tejo Darmono, Peneliti Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI), mengatakan, sebagai ikan konsumsi bernilai tinggi, sangat penting memastikan perikanan tuna atas prinsip keberlanjutan. Masalahnya, penggunaan longline sebagai alat tangkap utama industri tuna di Bali justru menghadirkan banyak ancaman bagi keberadaan hiu.
Mentari terik siang itu. Ratusan ton ikan turun dari kapal collecting (pengumpul) di Pelabuhan Tanjung Benoa, Bali, akhir Juni lalu. Kapal Motor (KM) Nusantara Jaya 36, dengan kapasitas 158 GT itu adalah kapal pengumpul PT Putra Jayakota, perusahaan penangkapan tuna terbesar di Bali.
Sebagai kapal pengumpul, Nusantara Jaya bertugas mengambil ikan-ikan dari kapal di tengah laut (transhipment). Langkah itu agar ikan-ikan tangkapan cepat dibawa ke daratan tanpa harus menunggu kapal penangkap di Samudera Hindia kembali pulang.
Masalahnya, aktivitas alih muat oleh Nusantara Jaya-36 diduga tak dilengkapi izin. Kapal ini tidak terdaftar di Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), lembaga di bawah PBB yang dapat mandat mengelola tuna di Samudera Hindia. Hasil penelusuran pada kolom pencarian data kapal tidak mendapati nama kapal dimaksud. Padahal, setiap kapal tuna yang beroperasi, harus terdaftar di IOTC.
***
Ada begitu banyak ikan turun siang itu. Saking banyaknya, para pekerja bahkan harus menggunakan crane untuk membantunya. “Kan jumlah banyak, bisa 100 ton lebih. Rata-rata empat harian, kalau tidak (pakai crane) ya malah bisa seminggu lebih,” kata Maman, pekerja kapal dengan nama samaran.
Dari jenis, ikan yang turun cukup beragam. Ada tuna -tangkapan utama- kakap merah, ikan pedang. Selain itu, ada pula beberapa spesies masuk dalam daftar merah The International Union Concervation for Nature (IUCN) karena terancam punah, seperti hiu dan pari.
Dari pantauan, hiu jenis blue shark (Prionace glauca) paling banyak. Saat turun, hiu dalam kondisi terpotong, tanpa sirip. Untuk pari, terdiri dari pari kikir, pari kekeh, hingga pari gergaji. Selain sirip, bagian moncong pari juga terpotong.
Dalam aturan, jenis ikan hasil tangkapan wajib didaratkan dalam kondisi utuh. Ia diatur dalam Pasal 18 Permen KP Nomor 61/PERMEN-KP/2018 soal pemanfaatan jenis ikan dilindungi dan, atau Jenis Ikan yang tercantum dalam Appendices Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Pengangkutan badan hiu dan pari lebih dulu bersama ikan-ikan yang lain. Sedangkan potongan-potongan sirip dengan panjang hampir satu meter itu turun di akhir bongkaran. Sirip-sirip itu dibawa ke gudang PT Bintang Jayakota Mandiri di seberang dermaga dengan mobil pikap terbuka.
Maman bilang, jumlah sirip yang mendarat siang itu tak sebanyak biasa. Sebelumnya, dia bisa membawa sampai lima trip bak terbuka, kali ini hanya tiga trip. Di dalam gudang, sirip-sirip itu lantas dikumpulkan dan disimpan dalam cold storage sebelum dijual.
Seorang sumber di lingkungan perusahaan mengatakan, sirip-sirip itu biasa dijual setelah terkumpul dalam jumlah besar. “Sekali kirim bisa sampai satu kontainer,” katanya.
Putra Jayakota dan Bintang Jayakota Mandiri adalah dua perusahaan tuna di Benoa yang ‘rajin memperdagangkan’ hiu. Perusahaan ini dikendalikan dan dimiliki orang yang sama, Budiman dan Hendrik Kosasih.
Di dua perusahaan itu, keduanya tercatat menjabat sebagai direktur dan komisaris perusahaan, sebagaimana akta perusahaan yang Mongabay peroleh dari AHU Kemenkum HAM. Perusahaan ini berdiri pada 2009 dengan modal awal Rp3 miliar.
Saat pembentukan awal, perusahaan ini hanya fokus pada bisnis jasa kontruksi, dan perdagangan komoditas pertanian. Hendrik Kosasih yang menjabat sebagai direktur perusahaan mengoleksi 720 lembar saham (per lembar Rp1 juta). Sedangkan Budiman, selaku komisaris menggenggam 1.080 lembar saham.
Pada 2019, perusahaan melakukan perubahan anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) dengan menambahkan sektor perikanan sebagai bidang usaha perusahaan. Di tahun ini pula, nama Edy Julianto alias Hok masuk sebagai direktur utama. Dia tercatat mengoleksi 300 lembar saham.
Dua tahun berikutnya, perusahaan kembali lakukan perubahan kepengurusan dengan masuknya Wisnu Sudarmo yang didapuk sebagai direktur. Di tahun itu, perusahaan juga melebarkan sayap dengan merambah sektor perikanan tangkap.
***
Putra Jayakota dan Bintang Jayakota Mandiri adalah dua dari puluhan perusahaan tuna di Benoa yang menangkap hiu dan mengambil sirip. Penelusuran melalui portal Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menemukan lebih dari 15 kapal rawai tuna yang teridentifikasi milik kedua perusahaan ini.
Menilik ukuran, kapal-kapal itu punya kapasitas berbeda. Antara 60-160 GT yang sebagian besar beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 573 dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di Samudera Hindia.
Pada 2021, kedua perusahaan ini mendapat kuota penangkapan untuk sejumlah spesies hiu, antara lain, Carcharhinu falcifurmist (25), Isurus oxginchust (2), Isurus paucus (3), Sphyrna lewini (35), Sphyrna mokarran (8) dan Sphyrna Zygaena (1).
Melihat begitu banyak volume sirip hiu yang mendarat–mencapai tiga hingga lima kali angkutan pikap- memunculkan dugaan jumlah yang ditangkap jauh lebih besar dari kuota yang mereka dapatkan.
Jayakota bersaudara memiliki cakupan pasar hingga ke luar negeri. Company profile Bintang yang terpublikasi di Indonesia seafood menampilkan sejumlah produk makanan laut yang menjadi andalannya. Seperti frozen tuna, frozen pelagic, demersal pelagic, hingga frozen shark.
Beberapa produk tuna itu meliputi tuna loin, tuna saku, tuna steak, tuna strip meat, tuna poke/cube, belly, hingga tuna slice. Sedangkan hiu, jamak mereka pasarkan dalam bentuk whole round, steak skinkless, daging saku, steak skin on hingga sirip. Produk-produk itu berasal dari hiu jenis blue shark, spesies yang baru masuk dalam Apendiks CITES II akhir 2023.
Portal penyedia data ekspor impor global menyebut, beberapa pembeli terbesar Bintang Jayakota Mandiri adalah Nobile Mono Co. Ltd (Thailand), China Sidic International Trade Co. Ltd (Tiongkok), Hai Sia Seafood Pte. Ltd (Singapura), dan Gallant Quennlet Co. Ltd (Taiwan).
Selama ini, Thailand, Tiongkok dan Singapura tercatat sebagai importir terbesar untuk produk perusahaan ini. Kontribusi ketiga negara itu mencapai 78,16% dari total market share di tingkat global. Sisanya, berasal dari sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat (10,08%), Taiwan (8,40%) dan juga Jordania (1,68%).
Pada 2021, total ekspor perusahaan ini mencapai US$457.220. Aktivitas ekspor perusahaan ini sebagian besar melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hanya sebagian kecil melalui Tanjung Priok, Jakarta dan Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali.
I Made Yudiarta, Kepala Bagian Operasional Jayakota, membantah temuan Mongabay terkait dugaan illegal transhipment oleh perusahaannya. Menurut dia, seluruh kapal operasi memenuhi persyaratan menangkap dan alih muat tuna, baik di zona WPP maupun zona ekonomi ekslusif (ZEE) atau perairan lepas.
“Kami punya semua dokumennya, sesuai dengan zona tangkapan,” katanya.
Dia bilang, sebagian produk tuna Jayakota ke luar negeri tetapi hanya sebagian kecil. Produk-produk tuna mereka, katanya, lebih banyak memenuhi permintaan pasar domestik.
Terkait penangkapan hiu, Made mengaku mengantongi SIPJI dan SAJI, dua dokumen yang diperlukan dalam menangkap dan memperdagangkan spesies itu.
“Kami punya semua. Yang kami tangkap juga masih diperbolehkan, tidak yang dilindungi karena kebanyakan hiu aeer,” ujarnya singkat, awal November lalu. Sekali bongkar, bisa mendapat 1-2 ton.
Dia juga memastikan semua tangkapan hiu utuh, lengkap dengan sirip yang masih menempel di badan. Kalau pun ada yang tak utuh, itu hanya pada bagian kepala yang biasa dipotong untuk menghindari gigitan. Dia mengaku, beberapa produk hiu dijual terpisah dengan tuna dan hanya dipasarkan di dalam negeri.
Berbeda dari hasil pantauan Mongabay selama beberapa hari di lapangan menemukan fakta lain. Semua hiu yang mendarat sudah dalam kondisi terpotong tanpa sirip. Demikian pula dengan pari, baik sirip maupun moncong pari dipotong ketika turun dari kapal.
***
Praktik penangkapan hiu sejatinya tidak hanya oleh Jayakota bersaudara. Temuan di lapangan mendapati praktik serupa juga dilakukan perusahaan-perusahaan tuna di Pelabuhan Benoa, Bali.
Data BPSPL Denpasar menyebut, ada delapan perusahaan tuna di Benoa yang memiliki legalitas memperdagangkan hiu. Selain Jayakota bersaudara, enam perusahaan lain adalah PT Bali Double C, PT Bandar Nelayan, PT Golden Tuna, PT Industri Perikanan Terpadu Chiu Shih, PT. Sentral Benoa Utama dan PT Perintis Jaya Internasional.
Sebagai spesies terancam, perdagangan hiu diatur secara ketat. Untuk hiu dilindungi, para pelaku usaha wajib mengantongi surat izin pemanfaatan jenis ikan (SIPJI) dan SAJI (surat angkut jenis ikan), atau surat rekomendasi untuk spesies yang memiliki kemiripan (look a like) sekalipun.
SIPJI merupakan surat izin yang harus dimiliki bagi pihak yang memperdagangkan jenis ikan dilindungi, termasuk hiu atau pari.
Sedangkan SAJI, adalah surat izin ketika ikan-ikan itu terangkut untuk diperdagangkan. Satu syarat lain, pelaku usaha juga harus punya kuota tangkap di alam.
Tren naik
Bali dengan Benoa-nya selama ini dikenal sebagai satu sentra industri tuna di Indonesia. Pada 2022, produksi tuna di Bali mencapai 18.000 ton berada di peringkat ketujuh daerah penghasil tuna terbesar di Indonesia, sebagaimana statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Seperti di banyak tempat, tuna-tuna di Bali banyak ditangkap kapal rawai tuna (longline) di Samudera Hindia dan wilayah perairan lain dengan melibatkan ribuan pekerja kapal. Di balik kontribusi itu, industri tuna Bali juga turut berperan atas ancaman kepunahan hiu dan pari, baik sebagai target maupun tangkapan sampingan.
Cara kerja kapal rawai tuna dengan menempatkan umpan pada ribuan kail yang di-setting dari tali cabang ke tali utama. Dalam satu kali settingan, jumlah kail bisa samnpai 1.500 unit dengan panjang lebih 80 kilometer. Banyaknya mata kail tersebar memperbesar peluang hiu dan atau spesies lain tertangkap di luar ikan target. Karena tuna dan hiu memiliki habitat kurang lebih sama, di kolom air.
Sebuah artikel dalam sharkangels.org memperkirakan, sekitar 25-32% dari tangkapan longline adalah hiu dengan tingkat kehidupan sangat rendah. Sekitar 59%, hiu terjebak oleh pancing longline mati sebelum dibawa ke atas kapal dan 30% hiu yang selamat akhirnya ikut mati ketika dalam penanganan.
Statistik KKP menunjukkan, dalam 2019-2023, tren produksi hiu asal Bali menunjukkan peningkatan. Pada 2019, misal, total tangkapan hiu sebesar 1.219 ton, meningkat pada 2020 jadi 1.293 ton dan melonjak drastis jadi 1.689 ton pada 2021. Kendati volume sempat turun 1.288 ton dalam 2022, angka kembali melonjak sampai 1.865 ton pada 2023.
Okta Tejo Darmono, Peneliti Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI), mengatakan, sebagai ikan konsumsi bernilai tinggi, sangat penting memastikan perikanan tuna atas prinsip keberlanjutan. Masalahnya, penggunaan longline sebagai alat tangkap utama industri tuna di Bali justru menghadirkan banyak ancaman bagi keberadaan hiu.
Tejo katakan, tingginya produksi tuna di Bali berkelindan dengan tingginya produksi hiu di provinsi itu. Laporan riset FRCI bersama Yayasan Rekam Nusantara baru-baru ini mengungkap, Bali sebagai provinsi penyuplai hiu dan pari terbesar di Indonesia dengan rata-rata volume mencapai 2.474 ton per tahun, angka yang jauh lebih besar ketimbang data versi KKP.
Berada di bawah Bali adalah Maluku (1.219 ton), Papua (1.118 ton), Bangka Belitung (466 ton) dan Papua Barat (399 ton).
“Berkaca pada data itu, bisa dikatakan tuna-tuna asal Bali ini belum sepenuhnya klir hingga sulit diterima di sejumlah pasar, terutama Eropa,” kata Tejo keterangannya.
Tingginya tangkapan hiu di Bali juga tercermin dari Laporan Kinerja Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar 2023.
Sepanjang 2017-2019, ada 2.412 dokumen keluar dari BPSPL Denpasar, untuk tujuan domestik maupun ekspor.
Dia bilang, upaya konservasi terkendala karena data tidak sama. “Perlu ada metode dan standar yang dibuat untuk pendataan.
Untuk memantau tingkat pemanfaatan spesies lindung, BPSPL senantiasa melakukan pendataan di lapangan. Termasuk di Pelabuhan Benoa dalam kurun Februari hingga Desember 2023.
Selama kurun 10 bulan itu, pendataan hiu di Pelabuhan Benoa sebanyak 39.830 terdiri dari 35.371 hiu dan 4.459 pari. Dari kelompok hiu, 29.860 atau 84,42% masuk kelompok Apendiks CITES berarti masuk kategori dilindungi dan 5.511 atau 15,58% non Apendiks CITES.
Berdasar jenis, komposisi tangkapan hiu di Benoa meliputi: Prionace glauca (58%), Paragaleus tengi (16%), Carcharhinus sarrah (8%), Isurus oxyrhynchus (6%), dan Sphyrna lewini (3%). Lalu, Cahrchahinus falciformis (2%), Rhizoprionadan acutus (2%), Carchahinus sealei (2%), Carchahinus limbatus dan Carchahinus tjutjaat masing-masing 1%.
Selain hiu, dominasi tangkapan Apendix CITES juga terjadi pada pari. Dari total 4.459 tangkapan pari di Benoa, 3.617 atau 81,12% masuk klasifikasi Apendiks, sisanya, 842 atau setara 18,88% non Apendiks. Spesies dari Glaucastegus tyus mendonminasi dengan kisaran 70%, lalu Rhychobatus australiae (11%), Himantura andulata (7%), Himantura jenkinsii (5%), Himantura uarnak (3%), Himantura fava (3&), dan Himantura leoparda (1%).
BPSPL juga mencatat, 215 surat rekomendasi badan ini keluarkan sepanjang Januari-Desember 2023. Rekomendasi pemanfaatan hiu dan pari ini untuk yang tidak masuk dalam kategori lindung berdasar ketentuan Apendiks CITES mapun pemerintah lokal.
Sedangkan untuk SAJI (Surat Angkutan Jetis Ikan) total izin yang terbit mencapai 686 e-SAJI.
Tejo menyebut, tingginya harga hiu dan produk turunan di pasar global menjadikan para pemilik kapal enggan menanggalkan bisnis ini. Di tingkat global, harga sirip perkg dibanderol sampai US$789 atau sekitar Rp12 juta (kurs Rp15.200).
“Ini yang menjadikan hiu dan pari, terus ditangkap hingga mengancam keberadaan mereka.”
‘Tangkapan sampingan’ malah dominan
I Nyoman Sudarta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Longline Indonesia (ATLI) mengakui, hiu satu spesies paling rentan praktik perikanan longline. Dari 60% tangkapan sampinagn longline, kata Nyoman, sebagian besar hiu. “Awalnya mungkin hanya 10-20%, sekarang 60% tangkapan sampingan,” katanya.
Dulu, kapal-kapal longline cenderung tidak membawa pulang hasil tangkapan sampingan, terutama hiu. Belakangan, praktik yang berlaku justru sebaliknya. Alasannya, demi menutup kerugian atas tingginya biaya produksi, semua hasil tangkapan sampingan, terutama yang bernilai ekonomi tinggi dibawa pulang, termasuk hiu.
Dia bilang, tangkapan hiu-pari bukan dari spesies dilindungi. “Hiu yang dilarang cuma martil dan koboi, yang seperti itu kami tidak akan bawa itu.”
Mereka, katanya, menyusun protokol penanganan tangkapan sampingan, termasuk hiu. Salah satu poin penting dalam protokol adalah larangan memotong sirip hiu di atas kapal.
“Harus melekat utuh. Ini sudah kami sosialisasikan kepada para anggota ATLI.”
Nyoman mengatakan, dulu, hasil tangkapan sampingan tidak begitu mereka pedulikan. Alih-alih dibawa pulang, biasa dibuang ketimbang memenuhi palka kapal. Karena hasil tangkapan ikan target makin sulit, katanya, hiu sampingan dibawa pulang.
Sekitar 10 tahun lalu, katanya, tangkapan sampingan longline hanya sekitar 10% dari total tangkapan. Situasinya, sekarang berbeda dengan tangkapan sampingan mencapai 60%, termasuk hiu.
“Dulu dibuang, sekarang bisa jadi uang karena pasar ekspor kan juga ada.”
Oleh perusahaan, hiu-hiu dikumpulkan. Setelah terkumpul, baru jual terpisah. Dia mengklaim, hiu yang tertangkap tercatat dalam logbook.
Hasil tangkapan sampingan menjadi isu perikanan terpenting di dunia sejak 1990-an karena tren tangkapan sampingan terus meningkat hingga mengancam setok ikan alam. Beberapa bahkan terancam punah, seperti hiu, lumba-lumba, penyu, hingga burung laut.
Seafoodwatch, organisasi nirlaba berbasis di Amerika Serikat (AS) memperkuat pernyataan Tejo. Lembaga ini bahkan merekomendasikan menghindari tuna asal Samudera Hindia (tuna tropis) yang ditangkap dengan longline. Kendati beberapa jenis tuna tidak alami kekurangan populasi, tetapi industri ini kian menuju pada praktik penangkapan berlebihan.
Selain itu, penggunaan alat tangkap longline juga dinilai tidak selektif terhadap tangkapan sampingannya.
“Upaya mitigasi terhadap spesies tangkapan sampingan efektivitasnya tidak diketahui karena saran ilmiah cenderung tidak diikuti.”