- Sebuah laporan memberi peringatan bahwa ekspansi pelbagai proyek energi di wilayah Segitiga Karang (Coral Triangle) yang membentang di Pasifik Barat dapat menyebabkan potensi tumpahan minyak, kerusakan terumbu karang, polusi suara, peningkatan lalu lintas kapal, hingga menambah emisi gas rumah kaca.
- Segitiga Karang merupakan wilayah paling kaya keanekaragaman hayati di Bumi, yang meliputi perairan Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Kepulauan Solomon.
- Menurut laporan tersebut: lebih dari 100 blok minyak dan gas lepas pantai saat ini sedang dalam produksi, dan lebih dari 450 blok tambahan telah direncanakan untuk eksplorasi di masa depan.
- Laporan tersebut juga mencatat adanya tumpang tindih antara operasi minyak dan gas dengan zona perlindungan konservasi yang penting, termasuk 16% dari kawasan perlindungan laut.
Sebuah laporan dari Earth Insight dan SkyTruth, yang dipresentasikan dalam pertemuan KTT Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (COP16) di Cali, Kolombia Oktober 2024 yang lalu, menyatakan bahwa ekspansi proyek energi akan semakin banyak beroperasi di wilayah paling kaya keanekaragaman hayati laut di dunia, yang disebut Segitiga Karang (Coral Triangle).
Kawasan Segitiga Karang adalah wilayah perairan yang terbentang antara Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Timor-Leste, dan Kepulauan Solomon. Kawasan ini menjadi rumah bagi spesies laut yang terancam punah, seperti penyu hijau (Chelonia mydas) dan pari manta (Mobula birostris), 76% total spesies karang dunia, dan lima belas spesies karang endemik.
Laporan itu memperingatkan bahwa ekspansi proyek minyak, gas, dan gas alam cair (LNG) di wilayah ini akan semakin nyata menyebabkan lebih banyak lagi tumpahan minyak, kerusakan langsung pada terumbu karang, menimbulkan polusi suara, memperbanyak frekuensi lalu lintas kapal, dan kenaikan emisi gas rumah kaca.
Laporan tersebut menyebutkan bahwa lebih dari 100 blok minyak dan gas lepas pantai saat ini sedang dalam produksi, dan lebih dari 450 blok lainnya sudah dipersiapkan untuk eksplorasi di masa depan. Jika semua proyek disetujui, blok produksi dan eksplorasi akan mencakup 16% dari wilayah Segitiga Karang, atau kawasan seluas Indonesia.
Earth Insight dan SkyTruth saat ini mencatat sudah ada tumpang tindih antara operasi minyak dan gas dengan zona perlindungan konservasi yang kritis. Ini mencakup 11% dari area keanekaragaman hayati utama di Segitiga Karang, 16% dari kawasan perlindungan lautnya, dan 11% dari area konservasi mamalia laut yang penting.
Zona ini mencakup, 24% terumbu karang, 22% padang lamun, dan 37% hutan mangrove bakal tumpang tindih dengan blok minyak dan gas yang sedang beroperasi atau direncanakan.
“Ekspansi energi fosil di Segitiga Karang adalah langkah berbahaya,” kata Florencia Librizzi, Direktur Program Earth Insight, dalam sebuah pernyataan.
“Ini tidak hanya bakal mengancam salah satu ekosistem laut paling kaya keanekaragaman hayati di dunia, tetapi juga membahayakan masa depan ratusan jutaan orang yang bergantung hidupnya pada kesehatan lautan.”
Risiko Besar terhadap Kondisi Terumbu Karang
Meskipun telah ada investasi besar-besaran dalam energi terbarukan, proyek energi fosil masih berkembang pesat yang sekarang menyasar proyek-proyek energi di lepas pantai dan laut.
Berbagai tekanan proyek energi ini ditambah tantangan pemanasan global yang ada, dipastikan akan mendorong ekosistem laut di Segitiga Karang semakin rentan.
“Ini tentu saja akan sangat mengkhawatirkan,” kata Affendi Yang Amri, seorang ahli ekologi di Institute of Ocean and Earth Sciences at the University of Malaya, yang tidak terlibat dalam laporan tersebut, kepada Mongabay.
Affendi menyebut jaringan karang luas yang membentuk Segitiga Karang terkenal karena kemampuannya dalam menjaga keanekaragaman hayati melalui migrasi spesies dan transfer genetik.
Namun, ketika industri minyak dan gas didirikan di wilayah tersebut, fasilitas minyak dan gas akan melakukan pengerukan, reklamasi, dan pembangunan saluran pipa, yang akan meningkatkan sedimentasi dan mencemari air dengan polutan kimia. Semua ini akan membuat karang lebih sulit untuk tumbuh.
Penurunan kualitas air dan penetrasi cahaya yang berkurang akibat pembangunan proyek bakal menyulitkan karang dalam fotosintesis, sehingga semakin rentan terhadap pemutihan.
Ketika stres, karang mengeluarkan alga yang hidup di dalamnya, yang menyebabkan mereka menjadi putih. Dalam jangka panjang ini mengakibatkan karang mati. Untuk diketahui, secara global, karang saat ini tengah mengalami peristiwa pemutihan massal terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.
Dampak lainnya adalah proyek ini bakal memecah terumbu karang besar menjadi blok-blok lebih kecil dan terisolasi. Hal ini mendegradasi ekosistem secara keseluruhan dan keanekaragaman genetik terumbu karang.
“Meski dengan peraturan yang lebih ketat, [sebagai dampak proyek] ekosistem karang akan tetap mengalami kerusakan. Pengawasan yang lebih baik tentu dapat mengurangi sebagian dari risikonya,” sebut Affendi.
Affendi menambahkan rencana pengembangan proyek energi di Segitiga Karang harusnya mempertimbangkan strategi konservasi laut.
“Ini bisa berarti penerapan ‘zona penyangga’ di sekitar habitat kritis, penilaian dampak yang lebih ketat, dan mewajibkan industri untuk menggunakan teknik konstruksi dan operasional yang berdampak rendah.”
Dia pun menyarankan agar perusahaan minyak dan gas diwajibkan membayar deposit yang akan digunakan untuk upaya pemulihan apabila terjadi insiden.
Dampak Tumpahan Minyak
Lebih dari 120 juta orang di kawasan Segitiga Karang bergantung hidup dalam sektor perikanan dan pariwisata sebagai sumber pendapatan. Namun, jalur pelayaran yang semakin sibuk meningkatkan risiko tumpahan minyak.
Sejak 2020, SkyTruth mendeteksi telah terjadi 793 tumpahan minyak di sekitar kawasan, yang sebagian besar disebabkan oleh pembuangan ship bilge, yaitu, saat kapal membuang campuran air, minyak, dan cairan lain yang terkumpul di bagian bawah lambung kapal.
Insiden terbesar pernah terjadi pada Februari 2023, saat Kapal Princess Empress yang mengangkut 800.000 liter (211.000 galon) bahan bakar industri tenggelam di lepas pantai Filipina.
Tumpahan minyaknya memengaruhi 20 kawasan perlindungan laut dan pada pencaharian nelayan di 20 kota di Filipina. Para petugas pantai yang dikerahkan, membutuhkan waktu empat bulan untuk mengendalikan tumpahan ini. Kerugian kepada sektor perikanan diperkirakan hingga 3,8 miliar peso (sekitar USD68,3 juta).
Dampak Iklim Dari Metana LNG
Negara-negara di Segitiga Karang, saat ini tergantung kepada batubara sebagai sumber energi nasional. Dalam era transisi energi, LNG dipromosikan sebagai energi fosil yang ‘lebih bersih’ untuk mengurangi emisi karbon.
Namun, laporan Earth Insight menunjukkan LNG tidak sebersih yang dibayangkan semula. Komponen utama LNG adalah metana, gas rumah kaca yang sangat kuat dan dapat memanaskan Bumi 80 kali lebih kuat daripada C02 dalam periode 20 tahun.
Metana dapat masuk ke atmosfer dari kapal yang menggunakan LNG yang bocor akibat bahan bakar yang tidak terbakar dari mesin (methane slip), atau dari tanker yang mengeluarkan asap saat memuat atau membongkar kargo di pelabuhan, jelas laporan tersebut.
Sebuah studi tahun 2022 yang diterbitkan di Environmental Science & Technology menunjukkan peristiwa methane slip dari tanker LNG lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang dapat membatalkan manfaat iklim LNG, jika dibandingkan batubara.
“Kawasan Seetiga Karang dapat terjebak dalam ekonomi fosil yang tidak sejalan dengan Perjanjian Paris, ini tidak sejalan dengan Perjanjian Paris, serta membahayakan perjuangan global melawan perubahan iklim.”
Sebagai rekomendasi, laporan ini menyarankan agar kawasan Segitiga Karang memberlakukan moratorium pada pengembangan bahan bakar fosil di kawasan-kawasan sensitif. Juga menetapkan Particularly Sensitive Sea Area (PSSA), yang memberikan perlindungan khusus dan pengaturan aktivitas pelayaran.
“Ekspansi bahan bakar fosil sedang menghancurkan kehidupan laut yang kaya di Segitiga Karang,” kata Gerry Arances, Direktur Eksekutif Center for Energy, Ecology, and Development (CEED), yang turut berkontribusi dalam laporan dalam pernyataannya.
“Harusnya kita bisa memilih bijak dan menggunakan potensi besar energi terbarukan yang bisa kita manfaatkan untuk kebutuhan energi, tanpa perlu merusak pantai dan lautan kita,” tutupnya.
Artikel ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 13 November 2024. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Balcombe, P., Heggo, D. A., & Harrison, M. (2022). Total methane and CO2 emissions from liquefied natural gas carrier ships: The first primary measurements. Environmental Science & Technology, 56(13), 9632-9640. doi:10.1021/acs.est.2c01383
Howarth, R. W. (2024). The greenhouse gas footprint of liquefied natural gas (LNG) exported from the United States. Energy Science & Engineering. doi:10.1002/ese3.1934
***
Foto utama: Seorang penyelam diatas gugusan terumbu karang otak besar (great brain coral) di perairan Teluk Buyat, Kabupaten Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia
The Big Build: Upaya Restorasi Terumbu Karang Terbesar Dunia di Bontosua, Pangkep