Ketika Sumber Pangan Bisa Tingkatkan Ancaman Resistensi Mikroba

1 month ago 64
  • Krisis iklim makin menyulitkan petani. Cuaca tak menentu bikin waktu tanam berubah,  hama meningkat dan ujung-ujung memicu penggunaan pestisida berlebih untuk mengatasinya. Krisis iklim yang menyulitkan petani, berujung ancaman resistensi mikroba. Ini jadi ancaman besar bagi lingkungan,  sampai kesehatan manusia. 
  • Imam Teguh, Kabid Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan Cilacap, mengatakan,  pestisida anorganik secara berlebihan tak hanya menurunkan hasil panen juga mengancam kesehatan masyarakat.
  • Penggunaan pestisida tak terkendali tak hanya merusak ekosistem tanah juga mendorong adaptasi mikroba. Mikroba yang terus terpapar pestisida belajar bertahan hidup, menjadi resisten, akhirnya menimbulkan risiko kesehatan yang besar. Proses ini serupa dengan fenomena resistensi antibiotik, yang mengancam efektivitas pengendalian hama maupun pengobatan penyakit.
  • Taruna Ikrar, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengingatkan ancaman resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR)   di Indonesia. AMR bukan hanya mengancam sektor kesehatan, juga kehidupan sehari-hari. Jika tidak diatasi segera, AMR akan menjadi krisis global yang memengaruhi kehidupan di bumi.

Mentari di Sidareja, Cilacap,  terik menyengat. Waliman melangkah perlahan di sawah kering yang retak. Pencarian siput untuk pakan bebek makin sulit, tanah yang dulu subur kini mengeras karena kekeringan.

“Kalau ada air, baru bisa tanam. Sekarang airnya susah,”kata pria 65 tahun ini, pertengahan Oktober lalu.

Kondisi ini,  tak hanya Waliman yang merasakan. Ribuan petani di Cilacap,  Jawa Tengah, rasakan hal serupa. Perubahan iklim telah mengubah dinamika alam, serangan hama meningkat, irigasi langka. Dalam perjuangan melawan hama, pestisida jadi senjata utama—sayangnya, senjata ini juga membawa risiko besar.

Kekeringan berkepanjangan, curah hujan tak menentu, dan suhu terus meningkat menjadi ancaman besar bagi petani di Sidareja. Kondisi ini,  memicu pertumbuhan hama lebih agresif, memaksa petani meningkatkan dosis pestisida untuk melindungi tanaman mereka.

Laporan   Intergovernmental Panel on Climate Change  (IPCC) menyoroti, perubahan iklim memperburuk dinamika hama dan penyakit tanaman. Pola cuaca tak menentu, kekeringan berkepanjangan, serta peningkatan suhu menciptakan kondisi ideal bagi hama untuk berkembang.

Akibatnya, di Sidareja, pestisida cair kerap digunakan bahkan sebelum hama menyerang, sebagai langkah antisipasi yang berimbas pada kesehatan masyarakat. Situasi ini menunjukkan bahwa masalah pertanian bukan sekadar persoalan hasil panen, juga kesehatan lingkungan dan manusia.

Kondisi sulit ini diperparah ketergantungan pada pestisida dan pupuk kimia. “Kalau tidak disemprot, habis dimakan ulat,” kata Waliman.

Namun, penggunaan pestisida berlebihan menciptakan siklus berbahaya, merusak ekosistem, meningkatkan resistensi hama, dan membahayakan kesehatan manusia.

Purmiasi, perempuan buruh tani juga meyakini kalau tak disemprot tanaman akan rusak. Dia bekerja untuk menghidupi empat anaknya.

Petani Cilacap yang berjuang di tengah cuaca tak menentu. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

Dia tak sadar pola itu bisa membawa konsekuensi serius dari kerusakan tanah, residu kimia pada pangan, dan ancaman bagi kesehatan masyarakat.

Bambang, Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Sidareja, mengatakan, sudah lakukan sosialisasi penggunaan pestisida, tetapi belum signifikan.

“Kami ingin mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia. Ini butuh dukungan lebih agar petani beralih ke metode ramah lingkungan,” katanya.

Antara 2021- 2022, luas tanam dan produksi padi di Sidareja mengalami fluktuasi signifikan. Program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB) yang rilis pada 2020 berhasil meningkatkan luas tanam dan mendukung pasokan pangan selama pandemi COVID-19.

Meski begitu, data Dinas Pertanian Cilacap memperlihatkan,  produksi padi sawah turun dari 20.840 ton pada 2019 jadi 16.649 ton pada 2022. Penyebabnya, kata Bambang,  karena cuaca ekstrem, pola tanam berubah, dan degradasi lahan.

Selain itu, produksi padi ladang menurun drastis, dari 1.760 ton pada 2019 jadi hanya 177 ton pada 2022. Penurunan ini, katanya, dampak nyata perubahan iklim pada hasil panen petani.

Petani Sidareja,  juga mengembangkan budidaya hortikultura, dengan terong jadi unggulan pada 2022, dengan hasil 6.445 ton, lalu kacang panjang 5.000 ton dan kangkung  2.578 ton.

Produksi bumbu dapur seperti cabai besar 9.759 kg, cabai rawit 7.293 kg. Namun, katanya, karena cuaca tak menentu terus mempengaruhi stabilitas hasil panen, menambah tantangan bagi petani.

Tanaman palawija seperti jagung, kacang hijau, dan ubi kayu juga mengalami penurunan drastis. Produksi jagung, misal, turun dari 40.068 ton pada 2019 jadi hanya 1.359 ton pada 2022. Kondisi ini, katanya, memperlihatkan tekanan tambahan bagi petani dalam menjaga produktivitas lahan.

Imam Teguh, Kabid Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan Cilacap, mengatakan,  pestisida anorganik secara berlebihan tak hanya menurunkan hasil panen juga mengancam kesehatan masyarakat.

“Ini bukan hanya masalah petani, juga masyarakat yang mengonsumsi hasil panen mereka. Pestisida anorganik punya batas aman yang harus diikuti,” katanya.

Resistensi mikroba

Penggunaan pestisida tak terkendali tak hanya merusak ekosistem tanah juga mendorong adaptasi mikroba. Mikroba yang terus terpapar pestisida belajar bertahan hidup, menjadi resisten, akhirnya menimbulkan risiko kesehatan yang besar. Proses ini serupa dengan fenomena resistensi antibiotik, yang mengancam efektivitas pengendalian hama maupun pengobatan penyakit.

Sebuah studi oleh Kurenbach et al. (2015) mengungkap, hubungan antara paparan herbisida dan resistensi antibiotik pada mikroorganisme. Penelitian ini menunjukkan, paparan subletal terhadap herbisida, seperti glifosat (Roundup), dicamba (Kamba), dan asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), dapat memicu respons adaptif bakteri, termasuk Escherichia coli dan Salmonella enterica. Hasilnya, resistensi lebih cepat terhadap berbagai kelas antibiotik.

Dalam paparannya, Kurenbach et al. menyatakan,  herbisida yang rutin digunakan dalam pertanian ditemukan mengubah tingkat resistensi antibiotik hingga enam kali lipat. Mekanisme ini terkait dengan peningkatan ekspresi pompa eflux, yang membantu mikroorganisme mengeluarkan zat beracun, dan berkurangnya sintesis porin membran luar, yang membatasi masuknya antibiotik ke dalam sel bakteri.

Studi ini juga menemukan,  konsentrasi herbisida subletal—masih dalam tingkat aplikasi yang digunakan pada pertanian—dapat menginduksi perubahan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) antibiotik. Respons adaptif ini, meskipun sering kali subletal, dapat mempercepat resistensi bakteri terhadap antibiotik, yang berujung pada terapi medis yang kurang efektif.

Efek ini tidak hanya terbatas pada manusia  juga berdampak pada hewan ternak dan serangga penting seperti lebah madu. Penggunaan herbisida secara bersamaan dengan antibiotik di lingkungan pertanian memunculkan potensi kerusakan ekosistem, gangguan terapi antibiotik, dan peningkatan risiko mutasi spontan menuju tingkat resistensi yang lebih tinggi.

Efek aditif juga ditemukan, di mana kombinasi antara paparan herbisida dan antibiotik menghasilkan resistensi lebih cepat.

Penelitian ini menjadi pengingat penting bahwa penggunaan herbisida secara luas tidak hanya memengaruhi gulma sasaran, juga membawa dampak tak langsung pada mikroorganisme di lingkungan.

Dengan makin luas penggunaan herbisida di sektor pertanian, kebun rumah tangga, dan ruang publik, risiko kemunculan patogen yang resisten terhadap antibiotik menjadi ancaman nyata bagi kesehatan global.

“Kita perlu memperluas perspektif kita tentang kontributor lingkungan terhadap evolusi resistensi antibiotik,” tulis para peneliti.

Langkah ini penting untuk memperlambat krisis resistensi mikroba yang kini meluas di seluruh dunia.

Peneliti pada studi ini menegaskan, perlu pengawasan ketat terhadap penggunaan biosida, termasuk herbisida, dan pengujian lebih mendalam mengenai efek subletalnya terhadap mikroorganisme.

Ilustrasi. Ketika krisis iklim makin menyulitkan petani.  Cuaca jadi tak menentu, hama makin meningkat, mendorong penggunaan pestisida berlebih.  Ujung-ujungnya, kondisi ini bisa berisiko bagi manusia, antara lain ancaman terjadi resistensi mikroba. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Selain itu, integrasi kebijakan yang membatasi kombinasi penggunaan antibiotik dan herbisida di dekat ternak dan sumber daya pertanian lain jadi urgen.

Dengan resistensi mikroba menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar abad ini, hasil penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan holistik dalam mengatasi krisis antibiotik.

Taruna Ikrar, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengingatkan ancaman resistensi antimikroba (antimicrobial resistance/AMR)   di Indonesia.

Dalam seminar ilmiah baru-baru ini, dia bilang, AMR bukan hanya mengancam sektor kesehatan, juga kehidupan sehari-hari.

“Jika tidak diatasi segera, AMR akan menjadi krisis global yang memengaruhi kehidupan di bumi,” katanya.

Penyalahgunaan antibiotik, baik oleh masyarakat maupun tenaga medis, jadi penyebab utama. “Banyak yang menganggap antibiotik solusi untuk semua penyakit, termasuk yang disebabkan virus. Ini keliru.”

Dia mengkritik,  praktik pemberian antibiotik untuk kondisi yang sebenarnya tidak perlu, yang justru mempercepat resistensi mikroba.

Taruna juga menyoroti,  pengawasan distribusi antibiotik lemah. Dalam pengujian pribadi, dia berhasil mendapatkan antibiotik kelas tinggi di apotek tanpa resep.

“Saya membuktikan sendiri betapa mudahnya mengakses antibiotik tanpa pengawasan memadai,” katanya.

Untuk itu, perlu regulasi lebih ketat mencegah penyalahgunaan yang bisa memperburuk krisis AMR di Indonesia.

Rita Mahyona, Deputi Bidang Pengawasan Obat dan NAPPSA Badan POM, mengatakan, pengendalian resistensi antimikroba sudah jadi perhatian global. Di Indonesia,  ia tercantum dalam Instruksi Presiden No. 4/2019 soal peningkatan kemampuan dalam mencegah, menditeksi,  dan merespons wabah penyakit,  pendemi, global, dan kedaruratan nuklir, biologi dan kimia.

“Inpres  ini menegaskan, AMR adalah pandemi global yang memerlukan kolaborasi seluruh pihak terkait.”

Dalam konteks ini, BPOM dapat tugas untuk pengawasan obat dan makanan, termasuk antibiotik dan antimikroba, serta memastikan produk-produk itu aman, bermutu, dan efektif.

“Dengan ada regulasi lebih ketat, kami berharap dapat memperkuat pengawasan dan kerja sama antar stakeholder untuk memerangi AMR,” kata Rita.

Pengendalian AMR, katanya,  bukan hanya masalah Indonesia, juga global hingga memerlukan komitmen bersama  menyelesaikannya.

Konsep One Health,  dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menawarkan solusi terpadu mengatasi krisis kesehatan global ini. Pendekatan ini mengakui, kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem saling terkait dan tak terpisahkan.

Dengan memadukan upaya di berbagai sektor termasuk pertanian, kesehatan masyarakat, dan perlindungan lingkungan. One health bertujuan mengurangi risiko AMR dengan cara lebih holistik dan berkelanjutan.

Pemerintah, organisasi internasional seperti FAO, dan sektor pertanian memiliki peran penting dalam mengurangi dampak resistensi antibiotik. Dalam laporan mereka, FAO menyatakan, pentingnya regulasi lebih ketat terkait penggunaan antimikroba di sektor pertanian. Termasuk upaya mengurangi ketergantungan pada antibiotik dalam produksi pangan, serta memperkuat kapasitas regulasi negara-negara untuk menangani tantangan AMR.

********

*Liputan ini mendapat dukungan dari ReAct Asia Pacific dan Yayasan Orang Tua Peduli.

Krisis Iklim yang Berdampak pada Pangan Lokal di Lembata

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|