Kearifan Masyarakat Adat Malako Kociak: Menjaga Sungai Subayang dengan Aturan Lubuk Larangan

1 month ago 59
  • Desa Tanjung Beringin yang dikenal juga dengan nama Kenegerian Malako Kociak, merupakan ruang hidup masyarakat adat. Mereka bermukim di tepi Sungai Subayang, dipagari perbukitan yang merupakan kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.
  • Malako Kociak yang terbagi empat dusun, masuk wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Jumlah masyarakatnya sebanyak 600 kepala keluarga atau sekitar  000 jiwa.
  • Di Sungai Subayang, masyarakat Malako Kociak turun-temurun menjaga sumber penghidupan mereka dengan mempertahankan ‘lubuk larangan’ yang dapat dimaknai sebagai simbol praktik penangkapan ikan pada lokasi khusus dan waktu tertentu, serta alat tradisional ramah lingkungan.
  • Sesuai namanya, di lokasi ini dilarang menangkap ikan kecuali pada waktu yang disepakati ninik mamak. Umumnya, satu tahun sekali. Atau, ketika tamu besar berkunjung, tapi tetap mengikuti keputusan para tokoh adat.

Desa Tanjung Beringin disebut juga Kenegerian Malako Kociak.

Ini dikarenakan Malako Kociak merupakan ruang hidup masyarakat adat. Mereka bermukim di tepi Sungai Subayang, dipagari perbukitan yang merupakan kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.

Malako Kociak yang terbagi empat  dusun, masuk wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Jumlah masyarakatnya sebanyak 600 kepala keluarga atau sekitar  1.000 jiwa.

Mereka dapat diidentifikasi berdasarkan suku: Domo Bukik, Domo Bawah, Putopang, Caniago, dan Melayu. Pemimpin adat tertinggi ditunjuk dari garis keturunan Domo Bukik, yang disebut Datuk Pucuk.

Meski begitu, tiap suku memiliki pimpinan yang disebut mamak. Domo Bukik, meski bertanggung jawab sebagai pucuk adat, tetap memiliki mamak suku bergelar Datuk Gindo Tanome. Selanjutnya, ada mamak Domo Bawah, Datuk Senaro dan Datuk Pelindi, lalu mamak Putopang bergelar Datuk Bendaro Kuniang, mamak Caniago bernama Datuk Gindo Said, dan Melayu dipanggil Datuk Gindo Semajo.

Baca: Bergandengan Tangan Menyelamatkan Sungai Subayang

Ikan ukuran satu kilogram ini didapat saat lubuk larangan di Sungai Subayang dibuka setahun sekali. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Pucuk Adat Datuk Ajismanto, menuturkan bahwa semula hanya Suku Domo di Malako Kociak, sebelum empat suku lain berkembang. Sebab, masyarakat adat ini melarang perkawinan sesuku, maka Suku Domo dibagi dua: Domo Bukit dan Domo Bawah. Sesuai namanya, masing-masing suku berwenang atas hutan dan sungai sebagai wilayah adat mereka.

Di Sungai Subayang, masyarakat Malako Kociak turun-temurun menjaga sumber penghidupan mereka dengan mempertahankan ‘lubuk larangan’.

Lubuk larangan dapat dimaknai sebagai simbol praktik penangkapan ikan pada lokasi khusus  dan waktu tertentu, serta alat tradisional ramah lingkungan. Merujuk kebijakan pemerintah saat ini, mereka telah menerapkan penangkapan ikan terukur sejak nenek moyang mereka.

Di Malako Kociak terdapat tiga lubuk larangan, yaitu milik ninik mamak, pemuda, serta masyarakat keseluruhan. Tiap lubuk larangan diberi tali pembatas yang diikat pada dua pohon, sehingga tampak melintang di atas sungai. Jarak tali penanda satu ke tali berikutnya sekitar 500 meter.

Penetapan lubuk larangan mempertimbangkan faktor geografis. Alasannya, untuk memperhatikan tingkat kemudahan penangkapan ikan. Mengingat, Sungai Subayang yang jernih karena bebatuan di bawahnya. Sehingga jaring, jala, lukah dan segala jenis alat tangkap tidak terhalang oleh material alam tersebut.

Sesuai namanya, di lokasi ini dilarang menangkap ikan kecuali pada waktu yang disepakati ninik mamak. Umumnya, satu tahun sekali. Atau, ketika tamu besar berkunjung, tapi tetap mengikuti keputusan para tokoh adat.

Pembukaan lubuk larangan juga memperhatikan keadaan sungai. Biasanya, ketika air dangkal atau musim kemarau. Pada situasi ini, air lebih jernih sehingga mudah mengoperasikan alat tangkap ikan. Prosesnya diawali dengan serangkaian ritual adat dan agama—semuanya menganut Islam—sebelum masyarakat turun ke sungai. Selanjutnya, pagar jaring pada dua pembatas lubuk larangan dipasang.

Tujuannya, membuat ikan terjebak di tengah lubuk larangan. Pada kondisi tersebut, masyarakat masuk ke sungai melempar jaring, jala, bahkan menyelam untuk menembak ikan dengan senapan besi. Dilarang menggunakan racun.

“Jumlah ikan tergantung keterlibatan masyarakat. Semakin banyak yang turun, semakin banyak ikan yang didapat. Semua berusaha mendapatkan ikan yang banyak,” terang Datuk Ajismanto, Jumat (25/10/2024).

Baca juga: Ternyata ada Lubuk Larangan di Sungai Subayang, Seperti Apa?

Ikan-ikan di Sungai Subayang masih terjaga dan mudah didapat. Meski ditangkap pada malam hari. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Mereka yang “nyebur” ke sungai umumnya anak-anak, remaja, dewasa, dan hanya sedikit sedikit yang lanjut usia. Mereka terus melahirkan generasi nelayan tangkap sungai yang tetap mematuhi kearifan lokal.

Para pemuda berperan besar di kehidupan masyarakat Malako Kociak. Selain mengurus perhelatan menangkap ikan di lubuk larangan yang disebut mencokau, mereka juga menjadi pelaksana setiap ritual adat.

“Kalau mau tau soal jenis-jenis ikan di Sungai Subayang, tanya pada pemuda,” kata Harunzen, pemuda adat Suku Domo Bukit.

Mencokau dimulai pagi dan berhenti jelang sore. Seluruh tangkapan dikumpul lalu dibagi  sama rata, berdasarkan jumlah pembeli yang telah mendaftar ke panitia. Tumpukan-tumpukan ikan yang dikenal dengan istilah andel itu terdiri beragam jenis ikan tanpa ditimbang.

“Tak ada yang protes. Tak ada juga yang rebutan. Prosesnya tertib. Semua masyarakat menerima yang telah ditetapkan panitia dan ninik mamak. Kalau ada yang dapat ikan agak besar berarti keberuntungan,” lanjut Harunzen.

“Kalau disuruh ambil sendiri, nantinya akan diambil ikan yang banyak dan besar,” timpa Zulmaidi, juga pemuda adat.

Hanya ikan-ikan kecil yang diandel dengan harga per andel Rp10-15 ribu. Satu kepala keluarga maksimal hanya dua andel. Jumlah pembeli biasanya mencapai ratusan orang dan untuk harga pembeli dari luar sedikit lebih tinggi.

Adapun ikan besar, ukuran satu kilogram lebih, dijual dengan cara dilelang. Satu ekor bisa tembus Rp2 juta. Tahapan ini bersamaan namun pada tempat terpisah. Orang yang membeli ikan dari andel tak dilarang ikut lelang, selama uangnya cukup.

Jenis-jenis ikan ukuran kecil dan sedang yang kerap didapat adalah selimang (Chrossocheilus oblongus), pantau (Rasbora cephalotaenia), mak lelan (Diplocheilichthys pleurotaenia), kapiak (Barbonymus schwanenfeldii), termasuk udang galah (Macrobrachium rosenbergii). Sementara, jenis ikan besar yang selalu didapat, seperti baghau (Hampala macrolepidota) dan baung (Macrones planiceps).

Pelelangan tidak berhenti pada ikan. Selepas hasil tangkapan terjual seluruhnya, ninik mamak dan panitia membuka kesempatan lelang lubuk larangan. Ini dikhususkan untuk penangkapan ikan malam hari. Sekaligus, memfasilitasi keinginan masyarakat yang belum puas mencokau. Satu lubuk larangan boleh diikuti lebih satu peserta, asal dapat membayar harga tertinggi.

Terkadang ada juga yang mampu bayar sendiri, tapi lebih sering berkelompok. Ketentuannya, tetap mematuhi penggunaan alat tangkap ramah lingkungan. Ikan hasil tangkapan cukup dibagi sesama pemenang lelang, tanpa diandel kembali. Penguasaan lubuk larangan dengan lelang, biasanya hanya sampai tengah malam.

Dosen Biologi, FKIP Universitas Riau, Darmadi, mengatakan secara biologi untuk dapat bereproduksi, bertumbuh, dan berkembang, setiap makhluk hidup membutuhkan ruang dan waktu. Ini termasuk ikan.

“Panen lubuk larangan setahun sekali itu sangat baik, memberikan kesempatan ikan berkembang biak tanpa gangguan,” jelasnya, Senin (9/12/2024).

Menurut Darmadi, lubuk larangan dibuka saat air dangkal dan jernih, secara ekologis, sejauh pengetahuannya belum ada makna tertentu. Itu lebih pada teknis panen: ikan lebih mudah ditangkap.

“Secara ekonomis, panen pada air yang dangkal dan jernih akan lebih efisien,” tuturnya.

Masyarakat melepaskan ikan dari jaring hasil tangkapan di lubuk larangan. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Sumber Penghidupan dan Kearifan Lokal

Meski mencokau hanya sekali setahun, namun mampu menghasilkan puluhan juta Rupiah. Datuk Ajismanto mengatakan, hasil penjualan ikan dari lubuk larangan tahun lalu, sekitar Rp21 juta. Sepenuhnya milik masyarakat adat.

Porsinya dibagi buat ninik mamak, pemuda, dan keperluan pembangunan di masyarakat, seperti sarana olahraga maupun masjid. Ninik mamak juga mengalokasikan dana buat bantu masyarakat miskin, seperti program keluarga harapan ala pemerintah.

“Daerah ini tak ada pendapatan lain yang diharapkan, Kecuali lubuk larangan. Tidak seperti daerah maju yang punya perusahaan dan pabrik yang mendatangkan penghasilan,” terangnya.

Datuk Ajismanto, mengatakan lubuk larangan merupakan satu-satunya aset masyarakat adat Malako Kociak. Momentum ini juga waktu yang tepat mengundang sanak keluarga di perantauan untuk pulang sejenak, ikut beli ikan dan lelang sungai.

Dari mereka, uang transaksi penjualan ikan mengalir di tengah masyarakat. Duit mereka juga turut membantu ekonomi masyarakat. Misal, belanja di warung-warung setempat selama mencokau berlangsung.

Setelah satu hari penuh lubuk larangan dibuka, area konservasi sungai ini kembali ditutup dengan serangkaian ritual dan doa. Semua alat tangkap harus dikeluarkan dari lokasi. Selama satu tahun ke depan, siapapun dilarang mencari ikan. Pelanggaran akan disebut sebagai tindakan mencuri dan mendapat sanksi adat.

Meski begitu, masyarakat Malako Kociak tidak pernah kekurangan ikan. Mereka tetap mendapatkan ikan di lokasi yang dibenarkan. Bahkan, menembak ikan malam hari dengan penerang yang diikat di kepala dan senjata besi, sudah jadi budaya.

“Satu jam saja (menembak ikan) sudah cukup untuk makan malam,” kata Ahmad Fauzi, seorang pemuda adat.

“Sejauh masih ada masyarakat adat, ikan tidak akan habis, karena proses penangkapannya tidak merugikan. Dari dulu seperti itu, sejak masyarakat adat ada di sini sampai sekarang,” timpal Datuk Ajismanto.

Masyarakat Malako Kociak tidak menjadikan aktivitas mencari ikan di sungai sebagai tujuan komersil. Mereka hanya menangkap secukupnya, untuk kebutuhan harian semata. Sehingga, tidak ada transaksi jual beli ikan di pasar atau dijaja ke rumah-rumah penduduk.

Datuk Ajismanto, Pucuk Adat Kenegerian Malako Kociak. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Pengetahuan Lokal Masyarakat

Kurniawan, dari Unit Kerja Percepatan Pemetaan Partisipatif, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar, menyebut ikan di Sungai Subayang seolah tahu mana daerah larangan penangkapan dan tidak. Sehingga, ikan-ikan tersebut merasa tidak aman kalau berada di luar lubuk larangan.

Salah satunya, ikan baghau. Jenis ini sangat jarang didapat di luar lubuk larangan. Sebaliknya, dia terpantau banyak berkembang biak dalam areal konservasi kelola masyarakat (AKKM) tersebut.

“Kalau dalam lubuk larangan beronggok dia. Padahal dibuka sampai malam, besok sore dilihat masih banyak. Bukan semata keyakinan, tetapi memang nyata begitu,” lanjutnya.

Masyarakat adat Malako Kociak juga melarang penangkapan ikan kecil. Sehingga alat tangkap mereka disesuaikan dengan ukuran ikan yang layak diambil. Ini berlaku pada mencokau saat pembukaan lubuk larangan maupun hari biasa. Sehingga, masih mudah mendapatkan ikan ukuran lebih lima kilogram.

“Banyak keuntungan, baik segi materil maupun sungai itu sendiri. Terutama keragaman hayati. Setelah dibuka pagi dan ditutup keesokan pagi lagi, satu tahun ke depan, ikan yang tidak ditangkap itulah jadi generasi berikutnya di lubuk larangan,” terang Kurniawan.

Dalam hal ikan, masyarakat memiliki pengetahuan lokal terhadap sifat-sifat biota sungai tersebut. Ketika musim banjir, telur ikan yang hanyut sampai ke kampung-kampung sepanjang Sungai Subayang, setelah menetas diyakini akan kembali pada lokasi pertama kali sang induk bertelur.

Masyarakat adat menyebut migrasi itu dengan istilah ikan mudik. Ikan yang menghempaskan telur terlebih dahulu juga diberi istilah ikan main. Saking banyaknya telur, situasi ini bisa merubah sungai menjadi keruh. Satu piyau masyarakat adat bisa penuh.

Saat ikan bertelur memang bukan waktunya melakukan penangkapan. Namun, momen ini menjadi penanda masyarakat adat untuk bersiap menjaring.

“Dari kecil sampai sekarang, perkembangbiakan ikan di Sungai Subayang sangat pesat. Setelah menghempaskan telur, tak sampai satu bulan kemudian, ikan-ikan sudah besar. Kami tidak pernah kekurangan ikan, walau bukan musim pembukaan lubuk larangan,” tutur Zulmaidi.

Jaring perangkap ikan di lubuk larangan. Sebuah praktik konservasi sungai di masyarakat adat sepanjang Sungai Subayang. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Ketua AMAN Kampar, Himyul Wahyudi, menyebut lubuk larangan tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kampar, sebagai kawasan perlindungan masyarakat adat. Tidak hanya di Malako Kociak, melainkan mencakup seluruh areal konservasi di sepanjang Sungai Subayang.

Menurut Wahyudi, lubuk larangan merupakan penyelamat wilayah adat. Kearifan lokal ini menandakan masih ada minat masyarakat adat menjaga hutan. Juga, satu-satunya bukti mereka cinta alam dan lingkungan.

“Mereka bergantung sungai dan hutan.”

Yudi ingin cerita lubuk larangan disebarluaskan. Sebab, ini bisa mencegah perusakan hutan dan ancaman di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar. Di hulu Sungai Subayang yang berbatasan dengan Sumatera Barat, terancam pembukaan hutan besar-besaran untuk dijadikan perkebunan sawit.

“Ini ancaman luar biasa bagi masyarakat adat. Kalau hulu tercemar sudah pasti kearifan lubuk larangan hilang. Kalau itu jadi (sawit) habis lubuk larangan. Informasinya sudah mulai ada penebangan kayu dan pendirian sawmill,” terangnya.

Sangat mudah mendapatkan ikan di lubuk larangan. Bukti kekayaan sungai masih terjaga berkat praktik konservasi. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Knowledge Management Working Group ICCAs Indonesia (WGII), Lasti Fardilla Noor, mengatakan lubuk larangan yang dikelola berdasarkan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, mencerminkan sebuah bentuk konservasi khas nusantara. Aspek adat-budaya dan pengetahuan tradisional, memainkan peranan penting dalam pengelolaan lingkungan.

“Dari praktik ini, kita bisa lihat bahwa manusia mampu hidup berdampingan dengan alam, mendapatkan manfaat langsung maupun tidak dengan tetap mempertahankan sisi kelestariannya,” terang Asti, panggilan akrabnya, Jumat (8/11/2024).

Meskipun lubuk larangan luasannya kecil, kurang dari 2 hektar, namun menurut Asti, menjadi contoh tercapainya tiga pilar konservasi: pengawetan, perlindungan, dan pemanfaatan berkelanjutan. Bahkan, dari hasil lubuk larangan, masyarakat mampu membangun masjid dan sarana olahraga untuk pemuda.

“Ini memberi bukti kuat bahwa tradisi lokal dapat berjalan, seiring tujuan perlindungan lingkungan dan aspek kesejahteraan masyarakat.”

Praktik masyarakat adat Malako Kociak, berbeda dengan pendekatan konservasi yang dijalankan negara. Tolok ukur dan tujuan yang berpusat pada spesies dan ekosistem terawetkan, acapkali abai pada aspek hak asasi manusia (HAM), hak masyarakat adat, maupun masyarakat lokal setempat yang menggantungkan hidupnya dari alam.

“Pada akhirnya, konservasi negara sering kali berujung pada konflik dan menjadikan masyarakat, baik di dalam dan di sekitar hutan tidak berdaya,” tutup Asti.

Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay Indonesia dengan WGII.

Tambang Batubara Ini Ancam Hutan Desa dan Dekat Suaka Rimbang Baling

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|