Kala Industri Nikel Picu Lonjakan Kasus ISPA di Halmahera

1 month ago 57
  • Kehadiran kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera, Maluku Utara, menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat sekitar dan lingkungan. Kawasan industri dengan status proyek strategis nasional (PSN) dan objek vital nasional ini punya banyak pembangkit listrik batubara hingga warga terdampak polusi.
  • Berdasarkan laporan terbaru Perkumpulan AEER, Walhi Sulawesi Tengah, dan Environmental Rights Foundation (ERF), kebutuhan sumber energi listrik untuk menjalankan kawasan industri PT IWIP saat ini disuplai dari operasi pembangkit listrik batubara berkapasitas 3.400 megawatt dari 11 pembangkit.
  • Kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bertajuk “Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel” mengamini itu. Tercatat dua jenis gangguan kesehatan melonjak tajam pasca hadirnya IWIP, yakni, diare dan ISPA. Diare,  karena kualitas sanitasi turun dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena kualitas udara memburuk.
  • Supriyadi Sudirman, warga Desa Sagea, Weda Utara mengatakan, penggunaan pembangkit listrik batubara harus segera dihentikan dan tak lagi ada penambahan sumber polusi beracun itu di kawasan industri.

Kehidupan Hernemus Takuling berubah total sejak kawasan industri nikel berdiri di kampungnya,  Lelilef Sawai, Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Saban hari dia dan warga yang lain terpaksa menghirup udara kotor karena lalu lalang kendaraan tambang dan debu dari pembangkit listrik batubara.

Samua so kotor. Kaluar di jalan saja musti pake masker. Di muka rumah musti siram air tiap hari. Pintu musti kunci terus, abu masuk sampe di atas meja. Setiap hari ini torang kena penyakit karena hirup abu macam-macam,” kata Hernemus, kepada Mongabay beberapa waktu lalu.

Kondisi itu,  terjadi sejak operasi pertambangan dan kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada 2018. Pembangunan kawasan industri ini konon untuk mendukung proyek transisi energi melalui penyediaan bahan baku baterai kendaraan listrik.

IWIP,  merupakah patungan empat perusahaan asal Tiongkok, yakni, Tsingshan, Huayou, CATL, dan Zhenshi. Tsingshan memagang saham 32% merupakan operator utama IWIP. Oleh Presiden Joko Widodo, kawasan ini ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) dan masuk status obyek vital nasional.

Kendati banyak disanjung sebagai salah satu keberhasilan program hilirisasi pemerintah, bagi warga seperti Hernemus, IWIP tak ubahnya petaka. Betapa tidak, awal proyek itu mulai, dia sudah kena kriminalisasi lantaran  mempertahankan kebunnya.

Pun demikian dengan klaim sebagai proyek hijau dan ramah lingkungan. Bagi Hermenemus, dua label itu bertolak belakang dengan apa yang terjadi di lapangan. Di Weda Tengah dan Weda Utara, kondisi lingkungan terus memburuk setelah ada IWIP.

Hermenemus bilang, proyek itu banyak merusak ruang hidup warga, membabat hutan dan perkebunan yang jadi sumber pangan. Kehadiran IWIP juga menyebabkan sungai dan laut tercemar yang menyebabkan nelayan kehilangan wilayah tangkapan.

Polusi juga kian merebak hingga menurunkan derajat kesehatan warga. Kasus ISPA dan diare meningkat. “Jadi, torang di Lelilef pe hidup ini tinggal tunggu waktu. Samua so rusak dari utang [hutan] sampe air pante. Penyakit satu datang abis satu.”

Kajian Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) bertajuk “Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel” mengamini itu. Tercatat dua jenis gangguan kesehatan melonjak tajam pasca hadirnya IWIP, yakni, diare dan ISPA.  Diare,  karena kualitas sanitasi turun dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena kualitas udara memburuk.

Tim AEER menemukan terjadi peningkatan hingga 500 kasus diare per tahun. Sedangkan peningkatan ISPA terjadi sampai 800-1.000 kasus per tahun. Peningkatan kasus terjadi di desa-desa sekitar kawasan industri IWIP.

Data Puskesmas Lelilef di Weda Tengah menyebut, dalam 2020-2023, mencatat tren penderita ISPA naik setiap tahun. Pada 2020, misal, tercatat 434 kasus, naik jadi 10.579 kasus pada 2023. Hanya dalam tiga tahun, peningkatan kasus ISPA lebih 24 kali lipat.

Tren peningkatan ISPA juga terjadi di Weda Utara. Merujuk data Puskesmas Sagea, Weda Utara, pada 2019 penderita penyakit pernafasan ini hanya 282. Empat tahun kemudian (2023) naik jadi 1.051 kasus.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam laporan mereka menyebut, mungkin angka kasus lebih besar itu. Data yang dikumpulkan Puskesmas hanya bersumber dari warga yang mandiri periksa ke fasilitas kesehatan.

Julfikar Sangaji, pegiat Jatam Maluku Utara mengatakan ragam penyakit warga tak lepas dari kenaikan ekstraksi, konsumsi, dan emisi batubara dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive IWIP. Kenyataan itu sekaligus membuktikan, klaim hijau pemerintah tak terbukti.

“Kenyataannya, seluruh mata rantai operasi IWIP membutuhkan tenaga listrik luar biasa besar, karena proses-proses peleburan dengan suhu tinggi itu disuplai dengan membakar batubara,” katanya, seperti dikutip dalam laporan Jatam.

Kawasan industri nikel di Halmahera. Foto: dari video CRI

Rakus energi

Catatan lain dari proyek hilirisasi nikel ini adalah rakus energi. Laporan terbaru yang AEER, Walhi Sulawesi Tengah, dan Environmental Rights Foundation (ERF) susun, 11 PLTU captive dengan kapasitas 3.400 megawatt dibangun untuk mengoperasikan IWIP.

Jumlah itu belum termasuk tiga PLTU yang sedang terbangun. Setelah 14 terbangun, total kapasitas mencapai 4.540 megawatt pembangkit dari batubara.

Beberapa perusahaan tercatat sebagai pemilik dan operator PLTU itu. Sebut saja PT Huayue Nickel Cobalt dengan kapasitas 250 MW, IWIP dengan dua PLTU, masing-masing berkapasitas 380 MW dan sedang membangun tiga PLTU tambahan total 1.140 MW.

Ada juga PT Libai Indonesia Metal Co., PT Sunny Metal Industri, PT Weda Bay Energi, PT Yashi Indonesia Investment, dan PT Youshan Nickel juga mengoperasikan PLTU dengan kapasitas mulai 250 MW-380 MW.

Produksi nikel untuk kebutuhan material transisi pembangunan rendah karbon dan beralih dari bahan bakar fosil. Laporan tiga organisasi ini, listrik untuk pemurnian dan pengolahan nikel dari pembakaran batubara yang mencemari udara dan menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Pembakaran batubara menghasilkan emisi zat berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat, dan gas rumah kaca. Emisi dari pembakaran batubara dapat meningkatkan risiko penyakit, menyerang pernapasan, pencernaan, hingga penyakit kulit. Partikel uap debu batubara dapat menyebar melalui berbagai jalur, termasuk udara, air, dan rantai makan.

Siti Zulaika, peneliti AEER mengatakan,  paparan debu batubara dengan diameter kurang dari 10 mikron (PM.10) dapat dengan mudah terhirup manusia. Dalam tempo lama, partikular ini dapat menumpuk di paru-paru dan menimbulkan penyakit kanker paru-paru bahkan kematian.

Bagi sebagian orang, kata Zulaika, paparan singkat dapat mengakibatkan gangguan pernapasan, seperti asma dan penyakit paru-paru kronis.

Sementara, debu dengan diamieter PM 2,5 atau lebih kecil dari diameter rambut manusia dapat berdampak lebih buruk pada kesehatan manusia.  Paparan singkat PM 2,5— 24 jam berturut-turut— dapat mengakibatkan kematian dini, bronkitis akut dan kronis, dan serangan asma.

“Gejala ini tidak hanya dapat dialami orang dewasa, juga bayi dan anak-anak. Jika terpapar dalam jangka panjang, orang yang sebelumnya memiliki masalah paru-paru atau jantung, dapat meninggal. Paparan PM 2,5 jangka panjang juga dapat menghambat pertumbuhan paru-paru pada anak,” kata Juli, sapaan akrab Zulaika.

Risiko-risiko kesehatan itu, katanya dapat dialami para pekerja dan warga sekitar IWIP.

Menurut dokter Fadhli Rizal Makarim, dalam sebuah atikel mengatakan, penyakit dan risiko pekerja tambang berkaitan dengan sistem pernapasan karena menghirup debu saat bekerja. Bahkan, penyakit pekerja tambang secara khusus sebagai mine dust lung diseases (MDLD) atau penyakit paru-paru debu tambang.

“Pekerja tambang berisiko tinggi mengalami penyakit yang berkaitan dengan sistem pernapasan. Itu karena pekerja tambang selalu terpapar debu dan menghirup dalam waktu selama bekerja,” katanya.

Polusi udara adalah pembunuh senyap, menurut studi Greenpeace. Ia dapat memicu risiko kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan. Penelitian itu mengungkapkan,  angka estimasi kematian dini akibat PLTU batubara mencapai sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia.

Supriyadi Sudirman, warga Desa Sagea, Weda Utara mengatakan, penggunaan pembangkit listrik batubara di kawasan industri itu harus segera setop. Selama ini, katanya, warga sudah sangat menderita dengan penyakit, terutama ISPA dan diare.

“Jika terus ditambah, investasi yang terlampau merusak ini makin membunuh kami sebagai warga yang hidup sehari-hari di kampung,” kata aktivis Save Sagea itu.

Kawasan industri PT IWIP. Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia

Tingkatkan emisi

Ketergantungan industri nikel pada PLTU batubara sangat kontras dengan peran untuk mendukung transisi energi rendah karbon. Dalam prosesnya, pengolahan material baterai kendaraan listrik –yang diklaim hijau- justru dari listrik batubara berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca.

Studi terbaru menyebut, 80% emisi di pusat-pusat produksi nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara berasal dari industri nikel, dengan sebagian besar energi dipasok oleh pembangkit listrik tenaga batubara. Konsumsi batubara di Indonesia naik 33% antara 2021-2022, yang menyebabkan kenaikan emisi lebih 20% selama periode itu.

IMIP di Sulawesi dan IWIP di Halmahera adalah dua kawasan industri terbesar yang bergantung pada pembangkit listrik tenaga batubara dan bersama-sama menyumbang sebagian besar penggunaan batubara di Indonesia. Ketergantungan IWIP terhadap energi fosil memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi.

Menurut perhitungan Global Energy Monitor (GEM), estimasi emisi C02 tahunan dari 11 PLTU yang beroperasi mencapai 15,4 juta ton CO2. Ketika tiga PLTU tambahan beroperasi, emisi tahunan akan meningkat, menghasilkan total 20,36 juta ton C02 per tahun.  Dalam konteks ini, dekarbonisasi industri jadi krusial yang perlukan perhatian dan aksi nyata.

Emisi tahunan dari PLTU batubara di kawasan industri IWIP saat ini disebut melebihi emisi tahunan Slovenia, negara dengan populasi 2,1 juta jiwa, dan kota Amsterdam di Belanda. Kalau semua PLTU beroperasi, emisi tahunan setara emisi tahunan Kota Munich, Jerman, dan San Fransisco, Amerika Serikat.

“Ketergantungan yang terus berlanjut pada pembangkit listrik tenaga batubara di pertambangan nikel akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia,” catat laporan itu.

Situasi yang ironis, menurut kajian Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, Indonesia berada diantara tiga negara paling rentan terhadap perubahan iklim dan memiliki populasi terbesar kelima yang tinggal di pesisir dan daratan.

Laporan Climate Rights Internasional (CRI) “Nikel Dikeruk: Dampak Industri Nikel di Indonesia terhadap Manusia dan Iklim” 2024 menyebutkan, selain emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batubara di IWIP, pertambangan nikel di dekatnya juga jadi pemicu deforestasi signifikan, yang merupakan penyebab krisis iklim dan musnahnya keanekaragaman hayati.

Dengan menggunakan analisis geospasial, CRI dan AI Climate Initiative di University of California, Berkeley, menetapkan, setidaknya 5.331 hektar hutan tropis di Halmahera ditebang untuk tambang nikel. Jumlah itu setara kehilangan sekitar 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan itu.

PLTU batubara beraksi di malam hari di kawasan industri nikel di Halmahera. Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia

Apa kata perusahaan?

Muammar Fabanyo, Humas IWIP kepada Mongabay menyatakan,  seluruh kegiatan perusahaan berdasarkan pada ketentuan perizinan berlaku. “Seluruh kegiatan operasional secara bertanggung jawab,” katanya dalam jawaban tertulis.

Perusahaan, katanya,  memiliki mekanisme pencegahan dan monitoring menekan dampak lingkungan, sebagaimana dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) yang disetujui kementerian terkait.

Sebagai pengelola kawasan industri, manajemen IWIP juga melakukan pengelolaan lingkungan dan pemantauan rutin setiap enam bulan sekali. Baik aspek geofisik, kimia yang tersebar di 200 titik lokasi. Hal itu untuk memastikan setiap kegiatan IWIP memenuhi baku mutu yang pemerintah tetapkan.

Soal PLTU batubara di IWIP, kata Ammar, sesuai perundangan berlaku dan mendapat persetujuan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Meski begitu, mereka terus berusaha memenuhi bauran energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca melalui sejumlah hal seperti sedang siapkan pembangunan PLTS dan PLTA, penyediaan ruang terbuka hijau (RTH), hutan alami, serta penggunaan teknologi rendah karbon.

“Secara teknologi, IWIP juga membangun pengendalian emisi, yaitu flue gas desulphurization, ESP dan memantau emisi gunakan continuous emission monitoring system (CEMS),” katanya.

IWIP juga dilengkapi fasilitas kesehatan (Weda Bay Clinic) untuk membantu dan mendukung pemerintah dalam mengurangi penyakit, terutama penyakit pernapasan.

Apapun narasi hilirisasi nikel, di lapangan ada yang hadapi masalah: lingkungan dan masyarakat sekitar.  Bagi Supriyadi, warga alami banyak kerugian atas kehadiran industri nikel. “Hancurkan sumber pangan dan ruang hidup kami.”

Perairan di Halmahera kala ada kawasan industri nikel. Foto: dari video CRI

*********

Lingkungan Halmahera Tengah Terus Tergerus Industri Nikel

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|