- Sebuah unggahan di media sosial yang diberi judul Cara Buat Rendang Monyet menuai kontroversi.
- Mengunggah video cara memasak monyet adalah tindakan yang sangat bermasalah dari berbagai sudut pandang. Rosek Nursahid, pendiri Profauna Indonesia berpendapat, persoalan itu setidaknya memiliki dua aspek yaitu hukum dan etik.
- Wendi Prameswari, dokter hewan yang aktif di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia [YIARI] dan International Animal Rescue [IAR] menjelaskan, perilaku makan daging atau produk dari satwa liar bukan hanya berisiko tertular penyakit hewan. Lebih dari itu, juga bisa menyebabkan pandemi yang mengancam umat manusia.
- Di alam, primata termasuk monyet, memiliki peran strategis dalam menjaga ekosistem hutan. Mereka adalah penebar biji alami yang membantu regenerasi hutan. Mereka juga turut menjaga keseimbangan populasi serangga dan beberapa jenis reptil, melalui pola makan.
Sebuah unggahan di media sosial yang diberi judul Cara Buat Rendang Monyet menuai kontroversi. Video berdurasi 16 detik yang diunggah pada 29 Oktober 2024 itu telah mendapat 118 ribu like dan 13,3 ribu komentar sampai saat berita ini ditulis. Bagi Anda yang berhati lembut, sebaiknya tidak menonton.
Video itu memperlihatkan seseorang mengguyur monyet yang sudah kaku dengan selang air. Selanjutnya, wajan yang tengah dipanaskan di atas kompor diberi bumbu. Lalu ada kepala monyet yang sudah terlepas dari leher dengan mulut menyeringai dimasukkan ke dalam wajan itu. Video diakhiri gambar seorang pria yang menyantap makanan sambil mengangkat dua jempolnya.
Video itu diunggah oleh Daniel Hermawan dengan alamat akun @danceuobob. Dalam profilnya, dia menuliskan keterangan Tukang Makan Binatang Extreme. Selain mengunggah adegan makan daging monyet, akun itu juga berisi video makan kecoa, tikus got, cicak, juga kelelawar.
Unggahan itu memancing reaksi warganet. Akun @dm_adipatigranada menulis, “Kali ini aku ngak setuju koko plz… Cari lain yang lebih manusiawi.. GOD bless u.” Akun @rizkikodokk menulis, “Jangan dikasih panggung yang begini dikiranya udah keren banget dia makan begituan wkwkwk 😂😂.” Sementara akun @yeti.remia berkomentar, “Ya ampun jahat amat.”
Baca: Monyet Ekor Panjang yang Panjang Akal dan Fakta Menariknya
Jerat Hukum
Mengunggah video cara memasak monyet adalah tindakan yang sangat bermasalah dari berbagai sudut pandang. Rosek Nursahid, pendiri Profauna Indonesia berpendapat, persoalan itu setidaknya memiliki dua aspek yaitu hukum dan etika.
“Saya lihat monyet itu monyet ekor panjang, status hukumnya memang tidak dilindungi. Tetapi, yang harus dipertanyakan adalah apakah monyet itu ditangkap dari kawasan hutan atau tidak. Kalau di kawasan hutan itu bisa kena pidana,” jelasnya kepada Mongabay Indonesia, Rabu [18/12/2024].
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, terdapat pasal yang melarang setiap orang mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi UU dari kawasan hutan tanpa izin. Pasal ini dikecualikan untuk masyarakat adat atau yang turun temurun tinggal di dalam hutan.
“Itu ada sanksi pidana, penjara satu tahun dan denda Rp50 juta. Persoalannya, kalau itu di luar kawasan hutan akan susah. Bisa, misalnya pakai KUHP tentang pasal kekerasan atau kekejaman terhadap binatang. Tetapi pidananya kecil. Maksimal 9 bulan dengan denda Rp4.500, itu kan produk zaman Belanda.“
Sementara secara etika, unggahan memasak dan mengonsumsi primata seperti monyet itu tidak patut. Apalagi, sengaja dipertontonkan ke publik secara luas.
“Saya melihat, secara morfologi primata itu ada kemiripan dengan manusia. Artinya, ada rasa membuat orang jadi iba. Selain tontonan itu juga, menjijikkan bagi saya,” ungkapnya.
Menurut Rosek, media sosial seperti Instagram atau Facebook sebenarnya punya kebijakan melarang konten berisi kekejaman terhadap binatang [animal cruelty]. Masyarakat bisa melaporkan konten-konten yang mengganggu itu untuk dihapus.
Selain itu, agar perilaku serupa tidak menyebar dan dianggap sesuatu yang normal, warganet bisa bersama mengecam praktik itu sembari mengkampanyekan perlindungan terhadap satwa liar.
Baca: Waspada, Ada Penyakit Zoonosis di Sekitar Kita
Ancaman Penyakit
Wendi Prameswari, dokter hewan yang aktif di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia [YIARI] dan International Animal Rescue [IAR] menjelaskan, perilaku makan daging atau produk dari satwa liar bukan hanya berisiko tertular penyakit hewan. Lebih dari itu, juga bisa menyebabkan pandemi yang mengancam umat manusia.
“Primata itu sangat dekat dengan manusia, jadi memungkinkan untuk menularkan penyakit ke manusia. Tertular mulai dari proses memburu, mengolah, hingga mengonsumsi,” terangnya, Kamis [19/12/2024].
Wendi mencontohkan kasus ebola yang berasal dari kebiasaan makan bushmeat, daging satwa liar yang dikonsumsi manusia. Virus yang berasal dari satwa itu menyebar ke manusia.
Sejumlah parasit juga bisa berpindah dari kelompok monyet ke manusia. Misalnya, bakteri salmonela. Selain itu, cacar monyet juga harus diwaspadai. Meski belum ditemukan di Indonesia, tapi menurut Wendi, dalam sejarahnya penyakit ini ditemukan bermula dari Afrika.
Terkait jenis monyet dalam unggahan tersebut, Wendi belum bisa memastikan. Sebab, tidak ada petunjuk pasti yang mengarah ke spesies itu. Apalagi, monyet sudah dalam keadaan tanpa rambut dan ekornya yang bisa menjadi penanda tidak terlihat. Namun yang pasti, itu berasal dari kelompok Macaca.
Menurutnya, di Indonesia terdapat 9 spesies Macaca, 7 di antaranya dilindungi dan kebanyakan hidup di Sulawesi dan Pulau Mentawai. Sementara 2 lainnya yaitu Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang dan Macaca nemestrina atau beruk tidak dilindungi.
Selain risiko zoonosis, menurutnya mengonsumsi satwa liar juga mengancam biodiversitas, karena dengan adanya perburuan maka populasinya bakal terganggu. Terlebih, praktik berburu dengan cara menjerat, menjebak, membunuh, hingga memelihara biasanya jarang terukur.
“Kita tidak tahu, tiba-tiba satwa tertentu sudah habis karena mungkin sudah dikonsumsi tanpa terkontrol. Apalagi, jika hewan itu termasuk satwa dilindungi.”
Dia tidak menampik, masih adanya masyarakat di beberapa daerah yang menjadikan satwa liar sebagai sumber makanan. Namun, dengan upaya sosialisasi terus menerus diharapkan kesadaran mereka untuk menjaga sekaligus tidak mengonsumsi satwa liar semakin meningkat.
Baca juga: Cacar Monyet dan Darurat Kesehatan Global
Peran Strategis Primata
Primata berasal dari kata primas yang berarti pertama atau utama. Mereka merupakan kelompok mamalia yang paling cerdas dan berkembang. Volume otak mereka besar, mata menghadap ke depan, serta sebagian memiliki kaki dan tangan yang bisa mencengkeram.
Beberapa negara pemilik hutan tropis menjadi pusat penyebaran primata di dunia termasuk Indonesia. Dalam buku terbitan BRIN, 2024, Membingkai Satwa Primata Indonesia dalam Tiga Pilar: Biologi, Konservasi, Biomedis, disebutkan bahwa monyet ekor panjang merupakan jenis yang ditemukan di Indonesia.
“Macaca fascicularis merupakan spesies primata nonmanusia yang sukses beradaptasi di berbagai habitat, mulai hutan, perkebunan, kawasan wisata, bahkan hidup berdampingan dengan manusia, baik di lingkungan rural maupun urban,” tulis Hery Wijayanto, dalam buku itu.
Meski tingkat kecerdasannya masih di bawah kera, namun monyet (Cercopithecinae) khususnya monyet ekor panjang, memiliki sejumlah keunggulan. Satwa ini merupakan primata dengan perilaku sosial yang kompleks, yang memiliki kemampuan belajar, menggunakan alat, bernegosiasi, serta secara anatomi dan fisiologi mirip manusia. Misalnya, seperti yang dilaporkan kajian mengenai perilaku monyet ekor panjang di Uluwatu, Bali.
Di alam, primata termasuk monyet, memiliki peran strategis dalam menjaga ekosistem hutan. Mereka adalah penebar biji alami yang membantu regenerasi hutan. Mereka juga turut menjaga keseimbangan populasi serangga dan beberapa jenis reptil, melalui pola makan.
Mengonsumsi primata, tidak hanya merusak keseimbangan ekologis, namun juga melahirkan krisis etika dalam hubungan antara manusia dengan satwa liar yang harus terus dipelihara.