Krisis dan bencana ekologis menjadi persoalan arus utama dalam kehidupan manusia di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tidak saja sekedar fenomena alam, krisis ini adalah bentuk watak eksploitasi manusia atas alam.
Demikian juga bencana dapat terjadi karena perubahan kebijakan yang dilakukan, seperti yang terjadi dari perubahan status atau alih fungsi kawasan seperti yang terjadi di Gunung Mutis, Pulau Timor, NTT.
Pada 8 September 2024, kawasan ini diubah dari Cagar Alam dan Hutan Lindung menjadi Taman Nasional (TN) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui Keputusan Menteri LHK Nomor 96 Tahun 2024 tentang Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional dan Perubahan Fungsi Antar Fungsi Pokok Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau Menjadi Taman Nasional di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi NTT. TN Mutis Timau ini memiliki luas 78.789 hektar.
Berada di ketinggian 2.458 mdpl, hutan ini adalah salah satu dataran tertinggi dan terbasah di Pulau Timor dengan curah hujan mencapai 2.000-3.000 mm/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata yang hanya berkisar 800-1.000 mm dan merupakan hutan pegunungan yang didominasi spesies endemik seperti ampupu (Eucalyptus urophylla), bonsai alam, serta tempat tinggal berbagai spesies burung, mamalia, termasuk rusa timor.
Dengan keadaan iklim mendukung, wilayah ini pun menjadi penyangga utama tiga daerah aliran sungai (DAS) besar; Noel Mina, Noel Benanain, dan Noel Fail di pulau Timor.
Masyarakat Adat di Mutis
Gunung Mutis adalah tumpuan hidup bagi masyarakat yang mendiami pulau Timor; Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, dan Belu, khususnya bagi Masyarakat Adat Atoni Pah Meto atau suku Dawan yang sudah berabad-abad bermukim, menjaga, melestarikan, dan berpenghidupan dari ekosistem di kawasan Mutis.
Bagi masyarakat adat Atoni Pah Meto, hutan dan gunung merupakan bagian dari jati diri mereka. Batu, pohon, dan air tak sekadar objek fisik, tetapi memiliki jiwa dan nama yang sakral, dan menjadi bagian terpenting dari identitas kehidupan spiritual komunitas ini.
Hutan (nasi; bahasa Dawan) memiliki dua fungsi, yakni spiritual dan penghidupan. Fungsi spiritual, yaitu hutan sebagai tempat melaksanakan ritual penghubung bagi masyarakat adat kepada Sang Pencipta atau Tuhan (Apinat-Aklahat; bahasa Dawan).
Dengan melangsungkan upacara adat, masyarakat setempat percaya jika permohonan dan rasa syukur mereka telah dijembatani oleh perantara roh-roh leluhur yang bersemayam di pohon-pohon belantara Mutis, kepada Apinat-Aklahat. Sedangkan fungsi penghidupan, hutan merupakan pemberi kehidupan berupa air bersih dan sumber makanan (madu, umbi-umbian, dan sebagainya).
Selain itu, Masyarakat Adat masih meyakini, jika batu-batu di kawasan hutan Mutis adalah nenek moyang yang memberi perlindungan dan menyimpan sejarah. Merusak bebatuan, berarti menghilangkan bagian dari identitas atau peradaban mereka.
Kisah Batu Bernama (Fatukanaf), Pohon Bernama (Haukanaf/Haumonef/Hauteas), dan Air Bernama (Oekanaf), seakan menjadi panggilan moral untuk melawan dan menjaga kedaulatan Gunung Mutis.
Ini yang kemudian menjadi dasar penolakan ribuan masyarakat Timor setelah deklarasi penetapan TN Mutis Timau oleh KLHK bersama tim Bezos Earth Fund (BEF) sebuah lembaga filantropi asal Amerika Serikat, -melalui teleconference, tanpa pernah ada sosialisasi kepada masyarakat terlebih dahulu.
Hegemoni Ekonomi dan Agenda Kapital
Taman nasional adalah konsep global, yang dipandang lebih progresif dan banyak diadopsi oleh banyak negara melalui penetapan sistem zonasi pengelolaan. Konsep ini dapat cocok diterapkan di beberapa tempat, tapi ada kalanya bertolak belakang dengan sosio-ekologis dan corak produksi masyarakat setempat (Gunawan, 2024).
Di lain sisi, negara masih menciptakan mitos bila kemiskinan adalah penyebab kerusakan lingkungan. Dikenal mitos orang miskin tak bisa mengelola lingkungan karena minimnya pengetahuan. Parameter tidak punya pengetahuan umumnya dihubungkan dengan tingkat pendidikan formal yang relatif rendah.
Kejanggalan ini telah dibantah oleh Forsyth (2003) dalam Satria (2019) yang mengatakan, bahwa orang kaya (elite negara dan korporasi) memanfaatkan sumberdaya alam lebih banyak dari orang miskin atau kelas proletar (Tauhid, 2019).
James Scott pun dalam bukunya Seeing Like a State (1998), dengan kritis memperlihatkan bagaimana berbagai skema pembangunan dalam sejarah, ternyata terbukti gagal karena bertolak dari pemahaman yang keliru. Pembangunan yang bersifat developmentalis, ternyata memiliki dimensi agenda kepentingan global yang ternyata bertentangan dengan kepentingan warga lokal.
Seperti halnya yang sedang terjadi di Gunung Gede Pangrango, Salak, Kamojang, Ciremai, Padarincang, Parakasak, Slamet, Sorik Marapi, dan lain sebagainya. Beberapa TN dan HL, sedang dipersiapkan untuk beroperasinya pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP/geothermal) baik oleh negara maupun swasta.
Mutis bukan Tanah Kosong
Hakikatnya pelestarian hutan berkedok TN demi kepentingan korporasi global, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan hak asasi manusia yang meliputi masyarakat adat, perempuan, lingkungan, serta identitas sosial-kultural.
Dalam penguasaan tanah (objek hak) oleh individu atau kelembagaan (subjek hak) idealnya tanah harus mampu dikuasai baik itu secara de facto maupun secara de jure (Nirwana; 2007), namun dalam berbagai kasus agraria yang bersifat struktural, hal ini tidak terjadi. Umumnya sengketa terjadi karena perampasan dan pengambilalihan hak atas tanah, yang dilakukan oleh negara maupun korporasi terhadap rakyat.
Dalam konteks Mutis, dengan terang benderang negara melakukan perampasan lahan untuk pembukaan kawasan taman nasional (termasuk: industri ekowisata). Konflik ini yang selanjutnya dikhawatirkan akan berimbas pada eksploitasi lebih lanjut terhadap alam di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Timor Tengah Utara.
Kini, penetapan TN Mutis telah menjadi subjek perlawanan dan protes sosial dari komunitas masyarakat adat Atoni Pah Meto yang mengkhawatirkan dampak buruk terhadap hak atas tanah, pangan, air, dan akses terhadap fungsi spiritualitas gunung.
Jika berkaca dari konflik perampasan lahan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, pemerintah yang selama ini mengeluarkan kebijakan pengelolaan hutan seakan tutup mata dan cuci tangan terhadap kejadian semacam ini. Ada kesan setelah mengeluarkan kebijakan, pemerintah tak bertanggung jawab terhadap akibat dari kebijakan tersebut.
Dalam implementasi pengelolaan hutan yang terjadi, pemerintah tidak pernah lagi melibatkan Masyarakat Adat dan masyarakat sekitar wilayah konservasi, terlebih ketika ada konflik dan perbedaan pandangan atas tata batas. Masyarakat Adat dan lokal tidak dianggap sebagai stakeholder yang memegang peranan penting.
Bahkan dalam kasus-kasus sebaliknya, -dimana terjadi di tempat lain, alih-alih duduk bersama, pemerintah biasanya merespon dengan perlakuan intimidasi, propaganda, diskriminasi, hingga menggunakan kekuatan kepolisian dan militer untuk melemahkan gerakan rakyat.
Negara seharusnya berkewajiban melindungi dan mengakui keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat Atoni Pah Meto atas tanah ulayat, hutan adat, simbol kehidupan di kawasan Gunung Mutis. Hal ini seharusnya jadi prioritas negara, dengan mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang diusulkan sejak 2003 yang naskah akademiknya masih mangkrak di Gedung DPR RI.
Penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 32 tahun 2024 tentang Perubahan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sangat berpotensi menjerumuskan Masyarakat Adat Atoni Pah Meto ke dalam ketidakpastian pengelolaan hak ulayat adatnya.
Sejatinya manusia dan alam memiliki hubungan erat. Manusia dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya dengan memanfaatkan alam di sekitar; hutan, sungai, dan laut. Tidak terdapat satu manusia pun di dunia, yang bisa bertahan hidup tanpa alam.
Jika pemanfaatan hasil alam dilakukan dengan bijaksana, tentu saja harmoni kehidupan akan tercipta di antara keduanya. Sebaliknya, jika alam diperlakukan secara eksploitatif atau merusak, kemungkinan akan terjadi krisis dan menimbulkan bencana bagi manusia dan alam itu sendiri, khususnya yang bermukim di wilayah itu.
Referensi
Arif Satria. Politik Sumber Daya Alam, Yayasan Pustaka Obor Indonesia; Jakarta, 2019, hal. 154-155
Irwan Nirwana. Konflik Agraria di Kehutanan; Kasus Tanah Cigembong, Garut, Jawa Barat; Jurnal Pembaharuan Pedesaan dan Agraria, Edisi 1; 2007, hal. 72
James Scott dalam Yulia Sugandi. Orang Hubula; Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2024.
Mochammad Tauhid. Masalah Agraria, Yayasan Bina Desa; Jakarta, 2019, hal. 380
*B. Mario Yosryandi Sara, penulis adalah Pegiat Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional. Artikel ini adalah opini penulis.