- Taman Nasional Tesso Nilo diperuntukkan untuk melindungi salah satu hamparan hutan dataran rendah terbesar yang tersisa di Provinsi Riau, sekaligus tempat perlindungan satwa liar kritis seperti harimau dan gajah sumatera yang terancam punah.
- Meskipun telah dinyatakan sebagai Taman Nasional pada tahun 2004 dan diperluas pada tahun 2009, Tesso Nilo terus-menerus mengalami deforestasi dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar disebabkan maraknya perkebunan sawit.
- Data satelit menunjukkan Tesso Nilo kehilangan 78% hutan hujan primer antara tahun 2009 dan 2023. Data awal tahun 2024, ditambah dengan citra satelit, menunjukkan hilangnya hutan terus berlanjut pada tahun ini.
- Pembukaan jalan membuat maraknya perburuan liar. Jika berlanjut, hanya ada 1 dekade tersisa hingga gajah sumatera punah di Riau.
Ketika pemerintah Indonesia mendirikan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) pada tahun 2004 di bekas konsesi HPH, ternyata warisan penebangan hutan dan deforestasi ini terus berlanjut selama bertahun-tahun bahkan setelah mendapatkan status resmi.
Setelah diperluas pada tahun 2009, TNTN sekarang mencakup lebih dari 80.000 hektar lahan di provinsi Riau, Sumatera, dan merupakan salah satu blok hutan dataran rendah terakhir yang tersisa di pulau tersebut.
Menurut World Wildlife Fund (WWF) TNTN merupakan rumah bagi hampir 3% mamalia dunia, termasuk harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), yang terancam punah.
Kawasan konservasi ini juga memiliki lebih dari 4.000 spesies tumbuhan yang merupakan salah satu tingkat keanekaragaman tumbuhan dataran rendah tertinggi yang ada di dunia.
Selama beberapa dekade sejak ditetapkan, TNTN telah mengalami deforestasi yang tak henti-henti, yang dipicu penebangan liar, pembangunan perkebunan sawit di dalam taman nasional, dan perambahan. Investigasi tahun 2018 dari World Wildlife Fund (WWF) menemukan bahwa hampir tiga perempat dari Tesso Nilo diubah menjadi perkebunan sawit, dan deforestasi yang terus menghancurkan hutan primer di kawasan itu.
Data satelit dari platform pemantauan Global Forest Watch (GFW) menunjukkan TNTN kehilangan 78% tutupan hutan primernya diantara tahun 2009 hingga 2023. Data di awal 2024 menunjukkan aktivitas pembukaan lahan pun terus berlanjut di hutan yang tersisa.
Google Timelapse menunjukkan bagaimana hutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Tesso Nilo kian menghilang seiring berjalannya waktu.
Perkebunan Sawit Ilegal di Area TNTN
Analisis data menunjukkan bahwa pendorong utama deforestasi di TNTN adalah konversi untuk perkebunan sawit. Sebuah laporan tahun 2013 menemukan bahwa dua perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia membeli buah kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan taman nasional. Pada tahun 2018, ada lebih dari 150 perkebunan sawit di dalam taman nasional, menurut data pemerintah, dan hampir 100 perkebunan di konsesi penebangan hutan yang berdekatan.
“Saat yang sama, harga minyak sawit yang meningkat menjadi daya tarik untuk pembukaan lahan bagi penanaman sawit. Khususnya saat kondisi lapangan kerja semakin sulit” kata Yuliantony Direktur Eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo kepada Mongabay pada tahun 2022.
Meskipun harga komoditas internasional minyak sawit telah mencapai puncaknya pada 2022, harga itu telah meningkat secara stabil pada tahun 2024 dan berada pada titik tertinggi dalam 2,5 tahun terakhir saat berita ini diterbitkan.
Pembukaan jalan yang menyertai pembangunan perkebunan juga membuka hutan bagi pemburu satwa liar. Citra satelit dari Planet Labs yang divisualisasikan di GFW menunjukkan jalan yang berkelok-kelok di antara area yang telah dibuka dan melalui hutan yang tersisa di Tesso Nilo.
Populasi Gajah Sumatera Sedang Menuju Kepunahan
Dampaknya terhadap satwa liar Tesso Nilo terlihat jelas. Riau memiliki populasi gajah sumatera terbesar kedua di seluruh provinsi yang ada di Sumatera. Namun antara tahun 2015 hingga 2020, 24 gajah ditemukan mati di area TNTN dan kawasan lindung lainnya Riau. Faktor kematiannya adalah karena tembakan, jerat, racun, dan penyebab lainnya yang disebabkan oleh manusia.
Badan pemerintah dan organisasi konservasi mengatakan mungkin ada kurang dari 1.000 gajah sumatera yang hidup di alam liar saat ini. Para ahli menyebut mungkin hanya ada waktu kurang dari satu dekade untuk menstabilkan populasi sebelum kepunahan mereka terjadi.
Artikel ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 30 November 2024. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
***
Foto utama: Gajah sumatera di wilayah Desa Suka Mulya, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Yudi Semai/Mongabay Indonesia
Catatan Akhir Tahun: Gajah Sumatera yang Terusir dari Habitatnya