Catatan Akhir Tahun: Krisis Iklim yang Semakin Nyata Dirasakan Masyarakat Pesisir Sulawesi

1 month ago 44
  • Menjelang akhir tahun 2024, kenaikan air laut terjadi di Pulau Papan, Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, yang menggenangi rumah warga. Kenaikan air laut adalah salah satu dampak paling nyata dari krisis iklim.
  • World Meteorological Organization (WMO) melalui dokumen laporan State of the Global Climate Update 2024 untuk COP29, memberikan gambaran tentang situasi iklim global saat ini yang semakin mengkhawatirkan. Temuan ini menyebutkan bahwa tahun 2023 dan 2024 menjadi tahun terpanas dalam catatan mereka.
  • Dampak perubahan iklim di pesisir dan pulau kecil menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencahrian. Sebab, nelayan dan masyarakatnya yang secara umum telah menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut, mulai mengalami kesulitan akibat kerusakan ekosistem dan penurunan hasil tangkapan.
  • Dampak perubahan iklim telah menciptakan masalah turunan. Salah satunya jadi pemicu orang untuk bermigrasi, terutama bagi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

Memasuki akhir tahun 2024, warga di Dusun Pulau Papan, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, dikagetkan dengan kenaikan air laut yang tak seperti biasanya. Senin sore, 16 Desember 2024, air laut masuk ke rumah warga di pulau yang telah menjadi bagian dari kawasan konservasi bernama Taman Nasional Kepulauan Togean itu.

“Cuaca tidak menentu. Pagi hari hujan, lalu berganti panas terik hingga siang. Kemudian disusul angin kencang, dan tiba-tiba sorenya air laut naik ke halaman. Baru kali ini air masuk rumah warga,” kata Hajrah Marjanu, warga di Pulau Papan kepada Mongabay Indonesia, Senin (16/12/2024).

Cuaca yang tidak menentu, kini sering mereka rasakan. Di pulau ini, kenaikan air laut mulai terjadi tiga hari sebelumnya, tapi hanya sampai halaman saja. Namun di hari keempat, air laut mulai memasuki beberapa rumah warga.

Menurut Hajrah, dalam empat tahun terakhir, kenaikan air terus terjadi. Namun, baru menjelang akhir 2024, mulai menggenangi rumah. Kondisi yang tidak hanya terjadi di Pulau Papan, melainkan turut dirasakan warga di pulau-pulau lain di Kepulauan Togean.

“Teman-teman saya juga mengabarkan kenaikan air laut di tempat mereka, seperti di Pulau Dolong, Lembanato, Tongkabo, Kalia, Pautu, Malenge, Tangkiang, Bangkagi, dan beberapa pulau lain,” ungkapnya.

Kenaikan permukaan laut seperti yang dirasakan warga di Kepulauan Togean, merupakan  salah satu dampak paling nyata krisis iklim. Dampaknya signifikan yang dirasakan warga adalah mulai dari erosi pantai, hingga permukiman dan infrastruktur di pulau tersebut mulai rusak.

Baca: Pengelolaan Gurita Berkelanjutan: Kisah Sukses Nelayan di Sulawesi (1)

Nelayan perempuan sedang mencari gurita di terumbu karang di Desa Kadoda, Tojo Una-Una, Togean, Sulawesi Tengah. Mereka kini semakin sulit karena dampak perubahan iklim. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

World Meteorological Organization (WMO) melalui dokumen laporan State of the Global Climate Update 2024 untuk COP29 telah memberikan gambaran tentang situasi iklim global saat ini, yang semakin mengkhawatirkan. Temuan ini menyebut bahwa 2023 dan 2024, menjadi tahun terpanas dalam catatan mereka, yaitu konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat yang mendorong kenaikan suhu jangka panjang.

WMO menyebut, peningkatan suhu laut yang drastis memiliki konsekuensi sangat besar bagi iklim bumi, seperti kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, dan gangguan ekosistem laut. Pemanasan laut ini bukan hanya fenomena sementara, tetapi merupakan perubahan jangka panjang yang akan berlangsung selama ratusan hingga ribuan tahun.

Laut menyerap jumlah panas yang sangat besar, lebih dari 18 kali konsumsi energi seluruh dunia dalam satu tahun. Tingkat pemanasan laut meningkat sangat cepat dalam dua dekade terakhir dibandingkan periode sebelumnya. Kandungan panas laut yang terus meningkat, berkontribusi pada kenaikan permukaan laut dan intensifikasi badai.

“Antara tahun 2014 dan 2023, permukaan laut global rata-rata naik sebesar 4,77 mm per tahun. Ini lebih dari dua kali lipat laju kenaikan antara 1993 dan 2002. Peningkatan terus-menerus terjadi dari waktu ke waktu. Peningkatan ini disebabkan pemanasan global yang menyebabkan laut mengembang dan es mencair,” tulis laporan WMO.

Baca juga: Nasib Nelayan Gurita Sulawesi: Antara Ancaman Iklim, Kelestarian dan Ekonomi (2)

Gurita dan ikan masih menjadi andalan tangkapan nelayan di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Hilangnya Mata Pencaharian

Indonesia adalah negara kepulauan dan Indonesia bagian timur identik dengan sebaran pulau-pulau yang memiliki karakteristik khas, seperti halnya Kepulauan Togean yang berada di jantung Teluk Tomini. Namun kini, kawasan timur Indonesia sedang menghadapi tekanan dengan adanya dampak perubahan iklim.

Perubahan-perubahan yang disebabkan iklim, telah meningkatkan frekuensi dan intensitas badai, gelombang pasang, dan banjir rob di pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencaharian. Sebab, nelayan dan masyarakat yang secara umum menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut, mulai mengalami kesulitan akibat kerusakan ekosistem dan penurunan hasil tangkapan.

Nita Rukminasari, profesor dari Pusat Studi Perubahan Iklim, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat di kawasan timur Indonesia bergantung pada perikanan sebagai sumber utama pendapatan, baik melalui penangkapan ikan tradisional maupun budidaya. Kegiatan ini menjadi pilar ekonomi bagi banyak keluarga nelayan.

Namun, perubahan iklim memberikan dampak pada masyarakat pesisir dan pulau kecil, terutama pada sektor perikanan. Perubahan iklim telah menyebabkan pergeseran distribusi ikan akibat perubahan suhu dan arus laut, kerusakan terumbu karang, mangrove, dan padang lamun akibat peningkatan suhu, pengasaman, dan peristiwa ekstrem. Hingga pada akhirnya, menyebabkan penurunan hasil tangkapan dan berdampak pada pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Baca: Kepulauan Spermonde: Dari Ancaman Abrasi, Overfishing, hingga Kerentanan Ekonomi Nelayan

Halaman dan rumah warga di Pulau Papan, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, tergenang air akibat kenaikan permukaan air laut. Foto: Dok. Tania Aminullah

Berdasarkan penelitian yang ia lakukan di empat pulau di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, sebanyak 79,5 persen masyarakat di empat pulau tersebut memiliki kerentanan ekonomi nelayan yang berada pada level lima yakni gagal untuk pulih. Hal itu disebabkan krisis iklim terjadi di pulau-pulau kecil, karena masyarakat merasakan langsung perubahan jumlah hasil tangkapan, maka secara otomatis pendapatannya menurun.

“Dengan adanya perubahan iklim maka waktu tempuh mencari ikan semakin lama dan daerah tangkapan semakin jauh. Nelayan khawatir dengan usaha penangkapan ikan akibat perubahan iklim yang berdampak pada adanya perubahan biaya operasional,” ungkap Nita pada webinar yang diselenggarakan oleh Jaring Nusa belum lama ini.

Dijelaskannya, sektor perikanan telah menciptakan berbagai jenis pekerjaan, mulai dari nelayan hingga pengolahan ikan, distribusi, dan penjualan, yang sangat penting untuk mengurangi angka pengangguran di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Selain itu, kata dia, perikanan bukan hanya soal aspek ekonomi, tetapi juga merupakan bagian integral dari budaya masyarakat lokal. Banyak tradisi, ritual, dan kebiasaan masyarakat di kawasan timur Indonesia yang terkait erat dengan kegiatan perikanan.

“Perikanan sering kali menjadi bagian integral dari identitas budaya komunitas. Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan sektor ini berarti juga melestarikan tradisi dan nilai-nilai budaya lokal,” ungkapnya lagi.

Baca juga: Merdeka dari Bencana Ekologis dan Krisis Iklim

 

Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, yang merasakan langsung dampak perubahan iklim. Foto drone: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Krisis Iklim dan Migrasi

Dampak perubahan iklim telah menciptakan persoalan turunan. Salah satunya, jadi pemicu orang untuk bermigrasi, terutama bagi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Krisis iklim itu nyata, mulai dirasakan masyarakat, apalagi di tengah kehancuran lingkungan di Indonesia,” kata Muhammad Al Amin, Direktur Walhi Sulawesi Selatan kepada Mongabay, awal Desember 2024.

Amin menjelaskan, krisis iklim telah menjadi beban dan masalah baru bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Setelah kehilangan mata pencahrian, krisis iklim membuat banyak masyarakat pesisir dan pulau kecil bermigrasi dengan tujuan mencari tempat-tempat yang dianggap mampu memberikan penghidupan layak.

Tantangan ini semakin meningkatkan kemiskinan ekstrem, ditambah lagi situasi ekonomi yang memburuk. Dengan bermigrasi, juga dapat menimbulkan persaingan memperebutkan sumber daya di daerah tujuan, hingga bisa memicu terjadinya konflik sosial.

Masyarakat Pulau Papan di Kepulauan Togean, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, merasakan langsung kenaikan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Foto drone: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Selain itu, dengan banyaknya orang bermigrasi dapat menyebabkan masyarakat pesisir kehilangan ikatan dengan lingkungan dan budaya leluhur mereka.

“Untuk mengatasi masalah ini, beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan moratorium aktivitas ekstraktif di wilayah pesisir, laut dan pulau kecil. Aktivitas yang telah menimbulkan kebijakan diskriminasi terhadap nelayan tradisional dan nelayan kecil,” tegas Amin.

Krisis Iklim Global: Tahun 2023 Mencatat Rekor Suhu Laut Terpanas

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|