Catatan Akhir Tahun 2024 : Menguak Praktik Eksploitasi Pekerja dalam Industri Udang Nasional

1 month ago 45
  • Bertahun-tahun lamanya, udang selalu menjadi komoditas andalan produk perikanan Indonesia di pasar internasional. Komoditas tersebut bahkan menjadi kontributor utama untuk neraca perdagangan komoditas perikanan nasional
  • Setiap tahunnya, udang selalu rutin menjadi pemuncak klasemen ekspor produk perikanan dari Indonesia, dengan pasar utama adalah Amerika Serikat. Periode Januari-September 2024 saja, udang berkontribusi USD1,18 miliar atau 28,1 persen dari total ekspor perikanan Indonesia
  • Namun, di balik keperkasaan industri udang nasional yang semakin kokoh, ada fakta memilukan yang harus dialami para pekerja yang terlibat langsung dalam proses produksi di tambak udang. Mereka harus menghadapi praktik kerja paksa yang membuat kesejahteraan ekonomi tidak ada
  • Lebih khusus, produksi udang nasional juga ternyata melibatkan pekerja perempuan yang berkontribusi pada produktivitas. Tetapi, mereka juga tidak sejahtera, karena posisinya tidak pernah dinilai penting oleh industri udang nasional

Udang menjadi komoditas andalan bagi produk perikanan ekspor yang dikirim ke sejumlah negara. Komoditas tersebut bahkan menjadi kontributor utama surplus neraca perdagangan komoditas perikanan Indonesia sepanjang Januari sampai September 2024.

Selama periode tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ada transaksi senilai US3,87 miliar atau meningkat hingga 7,2 persen dibandingkan neraca perdagangan komoditas perikanan pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Capaian tersebut berhasil dibukukan oleh KKP di tengah isu anti dumping yang terjadi di pasar udang Amerika Serikat. Udang bisa menjadi kontributor utama, karena berhasil mencatatkan nilai transaksi ekspor sebesar USD1,18 miliar atau 28,1 persen dari total ekspor perikanan Indonesia.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan perikanan (PSDPKP) KKP Budi Sulistiyo kepada Mongabay Indonesia, November lalu menyebutkan, udang ditemani komoditas lain yang ikut berkontribusi besar pada capaian surplus adalah tuna cakalang tongkol (TCT) dengan kenaikan transaksi hingga 7,9 persen dan cumi sotong gurita (CSG) dengan kenaikan 24,7 persen, serta rajungan-kepiting yang meningkat 40 persen.

KKP sendiri saat ini sedang bekerja keras untuk menyelesaikan persoalan anti dumping dengan melakukan investigasi menyeluruh bersama Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USDOC). Hasilnya, tidak ditemukan pemberian subsidi kepada petambak dan eksportir udang beku Indonesia.

Kemudian, keputusan final determination yang dirilis USDOC menetapkan bea masuk tambahan sementara sebesar 3,9 persen untuk udang Indonesia. Angka tersebut lebih rendah dibanding hasil preliminary determination yang sempat dikeluarkan yakni sebesar 6,3 persen.

Baca : Mimpi Produksi Udang 2 Juta Ton Dimulai dari Kebumen

Udang yang ditangkap dari kawasan hutan mangrove. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Direktur Pemasaran PSDPKP KKP Erwin Dwiyana menjelaskan kalau pihaknya tengah menyiapkan upaya perluasan pasar udang ke beberapa negara potensial. Upaya itu disertai dengan upaya peningkatan kualitas produksi udang di sektor hulu. Salah satunya melalui program modeling budidaya berbasis kawasan yang sedang dikembangkan di Indonesia.

Merujuk pada situs Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dumping adalah situasi diskriminasi harga internasional, di mana harga suatu produk saat dijual di negara pengimpor lebih rendah daripada harga produk tersebut di pasar negara pengekspor. Atau, penjualan di luar negeri lebih murah dibandingkan harga di dalam negeri.

Praktik Eksploitasi Pekerja Industri Udang

Selain persoalan dumping yang saat ini masih berlangsung di pasar udang AS, fakta lain juga terungkap di balik besarnya industri udang nasional. Temuan itu adalah berkaitan dengan kondisi kerja dan proses lain yang menimpa para tenaga kerja.

Peneliti Pusat Analis Sosial Akatiga Indrasari Tjandraningsih memaparkan temuan tersebut belum lama ini di Jakarta. Menurutnya, kondisi kerja di tambak dan di pengolahan memiliki ciri kerja paksa dalam indikator yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO).

“Terutama dalam hubungan kerja informal,” ucapnya.

Temuan kedua, adalah berkaitan dengan produk udang yang dikirim untuk kebutuhan ekspor, di mana setengahnya berasal dari produksi pada tambak yang hanya memiliki hubungan kerja yang informal. Juga, rentan terhadap pelanggaran hak pekerja dan hak asasi manusia.

Ketiga, tentang praktik kerja yang berjalan dengan memaksimalkan keuntungan namun berdampak signifikan terhadap kondisi kerja para pekerja industri udang nasional. Kondisi itu mengakibatkan harga beli dari petani tambak tidak dapat menutup biaya produksi.

Terakhir, temuan yang terindikasi ciri kerja paksa adalah terjadinya kegagalan pasar pada industri udang nasional. Ciri tersebut adalah hubungan yang jelas antara pekerja dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti kondisi jeratan hutang, dalam rantai produksi udang dan strategi harga.

Baca juga : Industri Budidaya Udang Dinilai Lemah soal Pelestarian Lingkungan dan Perlindungan HAM

Tambak untuk modeling budidaya nila salin berbasis kawasan seluas 80 hektare di kawasan Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang, Jawa Barat. Pembangunan dilakukan di lahan bekas tambak udang yang sudah tidak produktif. Foto : KKP

Berdasarkan temuan itu, Indrasari menyimpulkan bahwa peran dan struktur pasar internasional dalam rantai pasok adalah penjelas kondisi pekerja di negara produsen. Itu berpadu dengan pembiaran di negara produsen dan negara konsumen.

Kemudian, struktur harga dan model bisnis dalam rantai pasok udang berdampak juga signifikan terhadap kondisi pekerja. Biaya tenaga kerja minimal dan pelacakan terhadap sumber produk sulit dilakukan oleh pembeli.

Selain dua kesimpulan di atas, dia menyebut ada faktor sosial ekonomi yang memengaruhi industri udang nasional. Faktor tersebut mendorong terjadinya pasokan tenaga kerja yang berlebihan melalui jalur informal.

“Rezim upah murah dan regulasi yang tidak efektif,” pungkasnya.

Tantangan Rumit Industri Udang

Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Haris Muhtadi menjelaskan bahwa industri udang nasional saat ini menghadapi sejumlah tantangan yang rumit dan kompleks. Di antaranya, adalah ketidakpastian dan ambiguitas dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).

Kemudian, tantangan masih adanya kompleksitas perizinan; ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas khususnya untuk tenaga analis dan teknisi laboratorium; pengendalian penyakit udang seperti acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND), dan enterocytozoon hepatopenasei (EHP).

Tantangan berikutnya, adalah pasar ekspor udang yang sampai sekarang masih bergantung kepada Amerika Serikat, terus terjadinya peningkatan biaya produksi, dan pengelolaan limbah organik dari budidaya udang (pengolahan air limbah).

Akan tetapi, di balik tantangan yang berat, udang juga masih menyisakan peluang yang besar untuk dikembangkan dan bermanfaat bagi semua. Komoditas tersebut, sampai sekarang adalah penyumbang ekspor terbesar dari sektor perikanan dengan perkiraan sekitar USD2,16 miliar.

Menurut Haris, peluang besar dari udang bukan hanya ada di pasar luar negeri saja, namun juga pasar dalam negeri. Analisis itu ada, karena Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk sangat besar yang saat ini jumlahnya lebih dari 275 juta orang.

Selanjutnya, peluang besar dari industri udang nasional ada pada pasar luar negeri di luar AS yang selama ini mendominasi transaksi ekspor Indonesia. Negara yang berpotensi besar seperti AS, adalah Tiongkok, Korea Selatan, dan Uni Eropa.

“Peluang terakhir, adalah dukungan lingkungan atau daya dukung, ketersediaan lahan, khususnya di wilayah indonesia timur,” sebutnya.

Baca juga : Kritik Tambak Udang Cemari Perairan Karimunjawa Berbuntut Jerat Hukum Aktivis Lingkungan

Para bekerja tengah memberikan pakan udang di tambak Budi daya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Haris mengatakan, dari tantangan dan peluang pada industri udang, bisa disimpulkan kalau kegiatan budi daya udang adalah sangat dinamis dan penuh tantangan. Terutama, dari segi teknis maupun nonteknis yang berjalan di lapangan.

Sampai sekarang, udang masih menjadi komoditas utama untuk kegiatan budi daya yang berlangsung di Indonesia. Komoditas utama sektor perikanan itu sudah menciptakan lapangan kerja besar dengan kebutuhan empat orang untuk setiap hektare lahan tambak.

Belum Diakuinya Peran Sentral Pekerja Perempuan

Penasihat Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Ismayanti lebih spesifik menyoroti pekerja perempuan yang terlibat pada produksi udang nasional. Menurutnya, petambak perempuan kerap mengalami beban kerja ganda.

“Selain mengurus tambak, mereka juga harus bertanggung jawab pada urusan domestik,” ungkapnya menyebut contoh petambak perempuan yang ada sentra produksi udang Dipasena dan Bratasena yang berlokasi di Provinsi Lampung.

Namun, walau petambak perempuan berperan sentral dalam produksi udang nasional, namun posisi mereka tidak pernah bisa menjadi penentu harga jual dan pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan. Petambak perempuan tidak pernah mendapatkan posisi strategis itu.

Oleh karena itu, Ismayanti menilai kalau petambak garam berhak mendapatkan keadilan gender, karena mereka berkontribusi besar pada ekonomi lokal dan nasional. Selain itu, mereka juga memerlukan kenyamanan dalam bekerja.

Sebabnya, karena sampai sekarang petambak perempuan masih menemui kendala saat bekerja, seperti ruang produksi udang yang licin, ruang kerja kedap udara, penggunaan klorin yang tinggi, target 950 udang per jam untuk mendapatkan upah minimum.

Tegasnya, kebersihan tempat kerja, faktor fisik, pengaruh bahan kimia dan biologi yang berpotensi mengganggu kesehatan masih belum menemukan standar yang diharapkah. Salah satu contohnya, kekhawatiran petambak perempuan terhadap bahan kimia yang bisa mengganggu kesehatan reproduksi mereka.

Secara umum, dia menjelaskan kalau tenaga kerja pada produksi udang, baik laki-laki atau perempuan, terbagi kepada kelompok pekerja baru dan pekerja berpengalaman. Bagi pekerja baru, kisaran gaji yang diterima setiap bulan mulai dari Rp2.456.401 hingga Rp4.839.804.

Sementara, bagi pekerja berpengalaman lima  tahun, kisaran gaji yang akan diterimanya setiap bulan adalah berkisar antara Rp2.736.224 hingga Rp4.593.218. Baik pekerja baru atau pengalaman, keduanya akan bekerja selama 40 jam untuk seminggu.

Selain dua kelompok itu, dia juga menyebut ada kelompok buruh kasar atau pekerja harian pada produksi udang nasional dengan upah harian sebesar Rp100.000. Kemudian, ada juga pekerja quality control yang menerima gaji sekitar Rp3-4 juta per bulan.

Baca juga : Tambak Udang Tak Berizin di Batam: Ancaman Ekosistem Laut

Panen udang dari tambak. Foto : Dirjen Perikanan Budidaya KKP/Mongabay Indonesia

Perbaikan Hak Pekerja

Ismayanti menerangkan, saat ini upaya untuk meningkatkan kondisi dan hak pekerja pada budi daya udang sudah dilaksanakan dengan inisiator utama adalah Pemerintah Pusat melalui KKP. Di antara fokus yang dilakukan adalah menata peraturan dan standart ketenagakerjaan pada industri udang.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan KKP telah memperkuat regulasi terkait kondisi ketenagakerjaan di subsektor perikanan budi daya. Aturan-aturan terkait itu mencakup upah minimum, jam kerja, dan standar keselamatan.

“Inspeksi ketenagakerjaan telah ditingkatkan untuk menegakkan kepatuhan, terutama bagi tambak udang yang lebih besar, guna memastikan kondisi yang aman dan adil,” ungkapnya.

Upaya perbaikan berikutnya, adalah memastikan tenaga kerja budi daya udang mendapatkan jaminan sosial dan kesehatan. Upaya ini dilakukan, karena banyak pekerja udang, yang sering kali menjadi bagian dari pasar tenaga kerja informal, secara tradisional tidak memiliki perlindungan sosial.

Mengatasi hal seperti itu, Pemerintah telah mendorong penyertaan pekerja perikanan budi daya dalam program BPJS Ketenagakerjaan (asuransi ketenagakerjaan) dan BPJS Kesehatan (asuransi kesehatan). Keduanya menyediakan dukungan finansial untuk perawatan medis, kecelakaan kerja, dan tunjangan pensiun, yang meningkatkan keamanan kerja bagi para pekerja.

Selanjutnya, program pelatihan dan keselamatan juga ditawarkan kepada para pekerja budi daya udang nasional. Tujuannya, agar mereka bisa memahami instruksi penanganan bahan kimia dengan aman, biosekuriti, dan penggunaan peralatan untuk mencegah kecelakaan.

“Program ini bertujuan untuk mengurangi cedera dan paparan risiko kesehatan dengan mendidik pekerja tentang praktik terbaik dalam budidaya udang,” jelasnya.

Baca juga : Ada Udang Selingkuh di Papua, Seperti Apa?

Panen udang. KKP menawarkan duet teknologi microbubble dan RAS untuk meningkatkan produktivitas budidaya udang. Foto : news.kkp.go.id

Ismayanti melanjutkan, upaya memperbaiki kondisi kerja dan hak pekerja industri udang dilakukan melalui kerja kemitraan antara asosiasi industri dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bekerja sama dengan tambak udang untuk menetapkan praktik ketenagakerjaan yang adil dan standar keberlanjutan lingkungan.

Program tersebut beberapa di antaranya berfokus pada praktik ketenagakerjaan yang etis, termasuk memastikan upah yang adil dan mencegah pekerja anak atau pekerja paksa. Selain itu, program sertifikasi seperti Aquaculture Stewardship Council (ASC) juga mengharuskan tambak yang tersertifikasi untuk menegakkan standar ketenagakerjaan dan keselamatan yang tinggi.

Keenam, upaya yang dilakukan Pemerintah adalah dengan menjajaki pemberian insentif untuk tambak udang yang menunjukkan perlindungan tenaga kerja yang kuat, seperti akses ke pembiayaan atau pengaturan ekspor yang menguntungkan.

Praktik ramah tenaga kerja seperti itu, diyakini akan mendorong tambak untuk berinvestasi dalam peralatan pelindung, meningkatkan kondisi kerja, dan menyediakan akomodasi hidup yang lebih baik. Semua akan mendorong pada perwujudan praktik kerja yang ideal.

Terakhir, Ismayanti menyebut advokasi dan formalisasi pekerjaan informal menjadi upaya untuk memperbaiki kondisi kerja dan hak pekerjanya. Upaya tersebut dijalankan dengan memberikan dukungan kepada budi daya skala kecil yang mempekerjakan tenaga kerja informal.

“Dukungan difokuskan pada formalisasi pengaturan kerja dan peningkatan kesadaran tentang hak-hak buruh. Itu akan mendorong perjanjian tertulis, upah yang adil, dan akses ke perlindungan penting, khususnya bagi pekerja yang rentan dan informal,” tegas dia.

Di luar upaya perbaikan yang sedang dilakukan, Ismayanti juga menyoroti kondisi sekarang industri udang nasional, di mana ada tambak yang kecil dan menghadapi tantangan dalam memenuhi produksi disebabkan keterbatasan sumber daya.

Tambak yang kecil itu hadir di tengah tambak udang yang besar di Indonesia dan sudah memenuhi standar internasional. Skala kecil pula, yang memaksa tambak kecil untuk merekrut tenaga kerja informal yang sulit mendapatkan perlindungan pekerja yang seragam.

Menurut dia, permintaan global untuk udang yang diproduksi secara berkelanjutan dan etis mendorong meningkatnya permintaan. Walaupun, peningkatan perlindungan ini memerlukan dukungan dan sumber daya yang berkelanjutan, terutama bagi produsen kecil.

“Inisiatif perlindungan pekerja di sektor akuakultur udang Indonesia mencerminkan komitmen terhadap kondisi kerja yang lebih aman dan adil,” pungkasnya. (***)

Komoditas Udang Nasional, Dikejar Target dengan Konflik Tak Berujung

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|