- Rencana pemerintah pakai 20 juta hektar hutan buat cadangan pangan dan energi menuai kekhawatiran bagi kalangan masyarakat sipil. Di Riau, kebijakan itu menjadi kabar buruk terhadap keselamatan hutan alam tersisa termasuk memperparah kerusakan gambut.
- Pembukaan 20 juta hektar untuk pangan dan energi kalau di lahan gambut berisiko memicu kebakaran hutan, banjir, dan hilangnya keanekaragaman hayati seperti terjadi di Kalimantan Tengah.
- Tanpa pengawasan ketat, banyak lahan yang teralokasi untuk food estate justru ditumpangi izin perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, bahkan ada di lahan gambut dengan fungsi lindung.
- Eko Yunanda, Manager Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau mengatakan, kalau mau menyejahterakan rakyat, katanya, seharusnya pemerintah mengutamakan partisipasi masyarakat ketika menyusun rencana pengelolaan sumber daya alam agar memberikan rasa keadilan.
Rencana pemerintah pakai 20 juta hektar hutan buat cadangan pangan dan energi menuai kekhawatiran bagi kalangan masyarakat sipil. Di Riau, kebijakan itu menjadi kabar buruk terhadap keselamatan hutan alam tersisa termasuk memperparah kerusakan gambut.
“Sebaiknya, pemerintah membatalkan rencana itu. Lebih baik mempercepat dan memperluas pengakuan hak masyarakat adat serta komunitas lokal atas wilayah, pengetahuan dan cara tradisional mereka dalam mengelola, melindungi maupun hasilkan pangan,” kata Eko Yunanda, Manager Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, akhir Februari lalu.
Kalau mau menyejahterakan rakyat, katanya, seharusnya pemerintah mengutamakan partisipasi masyarakat ketika menyusun rencana pengelolaan sumber daya alam agar memberikan rasa keadilan.
“Jangan sampai pengelolaan justru menguntungkan korporasi. Akhirnya, terjadi deforestasi hutan alam, kerusakan lingkungan dan perampasan hak masyarakat,” kata Eko.
Analisis spasial Walhi Riau, hutan alam tersisa saat ini tinggal 1,3 juta hektar. Kalau ambisi buka hutan 20 juta hektar tetap lanjut, pemerintah bakal melanggengkan deforestasi. Akibatnya, bencana alam makin parah, seperti kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, banjir, pelepasan emisi, gagal panen hingga zoonosis.
“Kini, kondisi hutan Riau makin kritis. Kalau dibuka, bencana ekologis tidak bisa dielakkan dan akan semakin besar dampak buruknya.
Apalagi, katanya, separuh wilayah Riau merupakan lahan gambut.
Merujuk data pemerintah, luas gambut di Riau mencapai 4,9 juta hektar. Sekitar 2,4 juta hektar gambut lindung. Kondisinya, lebih separuh tutupan hutan gambut sudah hilang.
Pada 2020, tersisa 1 juta hektar lahan gambut. Hanya 22.000 atau 0,45% gambut Riau dalam kondisi baik.
Hutan gambut, katanya, beralih fungsi menjadi perkebunan, pertambangan, pertanian dan permukiman. Perubahan itu mengakibatkan kekeringan.
Gambut, katan Eko, rentan terbakar kalau rusak. Terbukti, sepanjang 2015-2020, lebih 284.000 hektar gambut hangus. Ketika musim penghujan, intensitas banjir makin parah dan luas.

Dalam Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) 2025, Walhi Riau mencontohkan, sebagian gambut Riau makin rusak, seperti di Lanskap Senepis. Ekosistem gambut yang membentang dari Kota Dumai dan Rokan Hilir itu seluas 322.183,74 hektar.
Dari luasan itu, sekitar 236.625,47 hektar merupakan kawasan hutan, hutan produksi (230.749,35 hektar), hutan lindung (1,74 hektar) dan 5.874,38 hektar cagar alam.
Kenyataannya, gambut Senepis sudah terbebani izin 172.423,12 hektar untuk sektor kehutanan dan sawit dan berada pada fungsi lindung gambut. Sedang perusahaan tidak memulihkan gambut rusak di areal kerja mereka.
Ketimbang buka hutan 20 juta hektar, kata Eko, pemerintah sebaiknya mendesak perusahaan di Riau memulihkan gambut rusak pada areal kerjanya. Apalagi, sudah ada putusan pengadilan menghukum perusahaan yang alami kebakaran lahan gambut di konsesi mereka, seperti PT Nasional Sago Prima (NSP), PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) dan PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL).
“Sampai sekarang, belum ada hasil eksekusi putusan. Belum ada pemulihan gambut di areal perusahaan itu dan tidak ada pemantauan pemerintah. Bayangin saja, gimana kondisi gambut rusak belum diperbaiki, tapi dibuka lagi areal baru 20 juta hektar,” ucap Eko.
Investasi berbasis sumber daya alam juga mengancam pulau kecil bergambut di Riau. Seperti Pulau Mendol atau Penyalai, Kecamatan Kuala Kampar, Pelalawan, Riau. Bupati pernah menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) buat PT Trisetia Usaha Mandiri (TUM) untuk menanam sawit. Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional juga terbitkan hak guna usaha (HGU).
Konsesi TUM berada di lahan gambut lindung. Masyarakat bergejolak. Pemerintah Pelalawan akhirnya mencabut izin itu. Begitu juga Menteri ATR/BPN. TUM gugat Bupati Pelalawan dan menang sampai kasasi. Sedang gugatan ke Menteri ATR/BPN belum ada putusan sampai saat ini.
Masyarakat Mendol meminta Bupati Pelalawan mencabut ulang IUP TUM sesuai prosedur. Hingga sekarang, belum ada tindak lanjut dari Bupati Zukri yang terpilih kembali pada Pilkada serentak 2024.
Buka hutan untuk proyek pangan dan energi, juga bisa memperluas masalah perampasan lahan dan tak atasi ketimpangan penguasaan lahan, termasuk ada peluang korupsi.

Hati-hati dan tinjau ulang
Dalam materi paparan pada 5 Desember 2024 sebanyak 15 halaman yang Mongabay peroleh, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menjelaskan luas hutan daratan Indonesia saat ini 120,33 juta hektar. Statusnya, hutan lindung 29,51 juta hektar; hutan produksi 67,73 juta hektar dan hutan konservasi 22,09 juta hektar.
Sekitar 56,62 juta hektar hutan Indonesia belum berizin. Dari situ, pemerintah mencanangkan sebagai cadangan pangan dan energi. Alokasinya, diambil dari hutan lindung 2,29 juta hektar dan hutan produksi 13,24 juta hektar. Total 15,53 juta hektar.
Untuk melengkapi 20 juta hektar, pemerintah juga menyasar hutan sudah berizin. Yakni, areal perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) yang potensi dicabut karena tidak aktif seluas 3,17 juta hektar.
Usai pertemuan dengan presiden, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, mengatakan akan menerbitkan keputusan menteri untuk mencabut 18 izin PBPH tersebar dari Aceh sampai Papua seluas 526.144 hektar. Perusahaan itu tidak maksimal memanfaatkan kawasan hutan. Tak lama, keluar surat pencabutan 18 izin itu.
“Presiden memerintahkan agar fungsi hutan dimaksimalkan untuk menyejahterakan masyarakat,” kata Raja, dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden.
Selain dari konsesi PBPH tak aktif, pemerintah juga membidik hutan melalui skema persetujuan perhutanan sosial (PS) sebanyak 1,9 juta hektar. Dalam materi paparan Kemenhut, sebagian atau sekitar 52.3354 terdapat di Riau. Pemerintah merencanakan penanaman padi gogo pada areal itu.
Untuk ketahanan energi, pemerintah berencana menanam aren pada hutan cadangan itu. Pemerintah menghitung, menanam satu juta hektar aren akan memproduksi 24 juta kiloliter bioethanol per tahun. Jadi, bisa menutup kebutuhan impor bahan bakar minyak (BBM) Rp396 triliun, berdasarkan catatan 2023.
Riko Kurniawan, Direktur Paradigma, meminta, pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dan meninjau ulang rencana mengubah 20,6 juta hektar hutan di Indonesia guna mendukung program swasembada pangan, energi dan air itu.
“Jika pemerintah tetap bersikukuh membuka hutan, akan bertentangan dan mengganggu jalannya komitmen perubahan iklim secara kebijakan internasional dan dalam negeri yang sudah dibangun dari sektor hutan oleh Presiden Prabowo,” katanya .
Komitmen internasional terbaru, Pemerintah Indonesia terkait penurunan emisi, yakni, pada Conference of the Parties (COP) 29 di Baku, Azerbaijan November 2024. Salah satunya akan menanam kembali lahan kritis seluas 12,7 juta hektar. Terdiri dari kawasan hutan 7,4 juta hektar dan 5 juta hektar lebih di luar kawasan. Termasuk program ketahanan pangan tanpa deforestasi.
Adapun komitmen dalam negeri, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi perjanjian Paris menjadi Undang-undang 16 tahun 2016. Selanjutnya, komitmen itu jadi kebijakan Indonesia’s Forestry And Other Land Use (Folu) Net Sink 2030, lewat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168/2022.
Target folu akan menyerap gas rumah kaca 31,89% dari usaha sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional. Ia sebagai usaha perlindungan dan pemulihan hutan seluas 95 juta hektar dengan target penyerapan karbon 140 juta ton CO2e.

Riko tekankan, pemerintah memandang lebih luas kalau tetap berkeinginan membuka hutan. Dia prediksi, bertambah banyak masalah mengintai dan bergejolak secara nasional. Salah satunya konflik agraria dan sumber daya alam, cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Berikutnya, bencana ekologis termasuk banjir, tanah longsor, la nina dan kebakaran hutan dan lahan.
“Sebagian besar akibat pembukaan hutan serta deforestasi secara masif,” kata Riko.
Paradigma mengingatkan, pemerintah bijak menerapkan rencana pembukaan hutan 20 juta hektar karena akan menimbulkan dampak masif dan merugikan masyarakat.
Sebaliknya, pemerintah sebaiknya merebut kembali hutan yang telah beralihfungsi secara ilegal.
Senada, Besta Junandi, Direktur Perkumpulan Elang juga mengingatkan, pemerintah harus sangat hati-hati dalam menetapkan dan mengelola hutan cadangan untuk pangan dan energi. Terutama pada kawasan hutan yang belum berizin baik di hutan produksi, terlebih di hutan lindung.
“Jangan sampai itu justru menjadi modus membabat hutan untuk diambil kayunya lalu lahan terlantar dan muncul kebun sawit ilegal,” katanya.
Pada kawasan hutan yang sudah izin PBPH namun tidak aktif, pemerintah juga perlu mengidentifikasi tutupan hutan di dalamnya. Perkumpulan Elang, mendorong pada wilayah-wilayah cadangan pangan dan energi yang masih berhutan agar tetap mempertahankannya dan tak terbabat habis jadi tanaman pangan maupun energi.
Dia bilang, buka hutan seluas 20 juta hektar dapat menimbulkan persoalan lingkungan dan sosial serius. Bahkan, katanya, menjadi preseden buruk terhadap komitmen penurunan emisi Indonesia pada sektor hutan dan lahan (FoLu Net Sink 2030).
Besta mengusulkan, untuk kedauatan pangan dan energi, sebaiknya pemerintah fokus pada upaya meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan. dengan intensifikasi lahan yang ada.
“Misal, dengan penggunaan bibit unggul, penggunaan teknologi pertanian yang efektif, membantu petani meningkatkan kesuburan tanah dan lain-lain. Daripada harus mencadangkan kawasan hutan dengan jumlah yang sangat fantastis.”

Perparah bencana
Kekhawatiran serupa juga muncul dari pegiat lingkungan di Kalimantan Tengah, juga daerah dengan lahan gambut luas. Mereka khawatir, kalau ekspansi hutan untuk pangan dan energi skala besar dapat memicu bencana lebih besar.
Alih fungsi hutan berisiko menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta banjir, seperti terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Janang Firman Palanungkai, Manajer Advokasi Walhi Kalteng menilai, pembukaan hutan baru akan menimbulkan dilema di kemudian hari dan dapat merugikan hajat hidup orang banyak. Contoh, sudah ada seperti proyek strategis nasional (PSN) food estate dan program cetak sawah.
Alih-alih upaya itu dapat meningkatkan cadangan pangan dan berjalan dengan baik malah hasil jauh dari harapan. “Jangan sampai lahan gambut justru menjadi korban perusakan berkelanjutan,” katanya.
Saat ini, gambut di Kalteng juga sudah banyak terbebani izin konsesi perusahaan perkebunan sawit, hutan tanaman industri, dan sektor lain. Bahkan, aktivitas mereka di gambut dengan fungsi lindung.
“Kalimantan Tengah saat ini boleh saya katakan sudah darurat secara daya tampung dan daya dukung lingkungan,” kata Janang.
Ziadatunnisa Latifa, Juru Kampanye Kaoem Telapak yang baru-baru ini terlibat dalam studi kasus dan analisis ekosistem gambut di Kalteng, juga melihat langsung bagaimana kelestarian ekosistem gambut kian terancam.
Dia bilang, ada risiko meningkatkan emisi karbon, degradasi, hingga kehilangan keanekaragaman hayati kalau kondisi ini terus terjadi. Kerusakan akibat fungsi hidrologis membuat gambut makin rentan bencana.
Sejak Januari-Februari 2025, data menunjukkan Kalteng mengalami beberapa bencana ekologis. Banjir melanda berbagai wilayah, termasuk Barito Selatan dan Kapuas, mengakibatkan 3.824 keluarga atau 9.543 jiwa terdampak, serta merusak 97 fasilitas umum dan 1.707 rumah.
“Tentu terdapat berbagai ancaman yang menjadi tantangan bagi pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat sipil. Pengelolaan ekosistem gambut tidak bisa terbatas pada kawasan hutan, juga harus mencakup ekosistem spesifik seperti gambut yang memerlukan perlindungan khusus,” katanya.
Meskipun hingga kini belum ada kepastian mengenai titik lokasi persis pembukaan lahan untuk cadangan pangan dan energi it, tetapi risiko ancaman kelestarian gambut tetap ada.
“Ekosistem gambut jangan sampai jadi cerita lama yang punah, melainkan sesuatu hal yang harus tetap lestari di masa akan datang.”
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut menyoroti sedikitnya tiga hal terkait pembukaan hutan/lahan yang akan pemerintah lakukan itu.
Pertama, tidak pernah ada catatan sukses, baik dari rezim ke rezim—khusus sejak era Soeharto dengan proyek pembukaan lahan gambut (PLG) satu juta hektar pada 1995—hingga saat ini.
Kegagalan demi kegagalan itu, seharusnya jadi pembelajaran. Kalau pemenuhan pangan, katanya, bisa berjalan dengan melibatkan petani dan masyarakat langsung, serta memperhatikan ekosistemnya.
Studi terbaru yang Pantau Gambut lakukan menunjukkan bahkan dalam proyek food estate, kesesuaian lahan rendah.
“Dari tiga blok yang diuji dan diambil sampelnya di lapangan, hanya 1% dari lahan yang direncanakan untuk PLG di Kalimantan Tengah yang benar-benar cocok untuk ditanami padi,” katanya.
Kedua, fakta di lapangan bahkan menemukan area food estate malah ada konsesi yang makin parah dengan tanam sawit. Bukan evaluasi, fungsi kontrol, hingga penegakan hukum, pemerintah seolah membiarkan ini terjadi.
“Sehingga menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan tujuan sebenarnya dari program itu.”
Ketiga, kata Wahyu, pemerintah seringkali mengabaikan ekosistem gambut. Gambut, katanya, tidak selalu cocok untuk semua jenis lahan pertanian. Karena itu, penting untuk memperhatikan fungsi ekosistemnya.
“Jika tidak, seperti yang terjadi di eks PLG, bencana ekologis terus berulang, baik dalam bentuk kebakaran.”

********
Gambut Konsesi Terbakar di Kalteng, Bukan Restorasi Malah jadi Sawit