- Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara (Malut) menyimpan potensi perikanan melimpah. Termasuk tuna yang angka ekspornya terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2017, ekspor tuna capai 496 ton dan naik hingga 2.612 ton pada 2021.
- Di sisi lain, di balik tren ekspor yang terus meningkat, perikanan tuna Morotai menyimpan banyak persoalan. Dari himpitan industri kapal besar, akses terhadap BBM yang terbatas, fasilitas pendingin yang tak memadai, hingga konektivitas rendah. Akibatnya, sektor ini sulit untuk berkembang.
- Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Morotai Joppy Jatun berharap, pemerintah pusat bisa menambah fasilitas, seperti cold storage dan menyelesaikan problem konektivitas di Morotai. Ini juga untuk meningkatkan daya serap hasil tangkapan nelayan yang didapat dengan cara-cara lestari.
- Riset Titien Sofiati Dkk., dalam risetnya bersama Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), temukan pembatasan penjualan oleh perusahaan karena daya simpan yang terbatas menjadikan ikan lama tertahan di pengepul. Sehingga, ketika masuk ke perusahaan mutunya turun. Jika persoalan ini tidak selesai, masalah nelayan tuna ini juga akan terus berlanjut.
Suasana di pasar ikan Desa Daeo, Morotai, Maluku Utara, terlihat ramai pertengahan Desember lalu. Pagi itu, stok ikan tuna dari 15 armada tiba beberapa jam sebelumnya lumayan banyak. Tuna-tuna yang sesuai ukuran pun segera pengepul beli. Sisanya, jual kepada warga sekitar.
Ada tujuh orang di desa ini yang jadi pengepul tuna. Santo Turki, salah satunya. Dia sudah belasan tahun jadi pengepul. Tuna-tuna dia beli dari para nelayan lalu jual kepada perusahaan (eksportir).
Pagi itu, Santo sedang membelah daging tuna. Setelah memisahkan dengan tulang, daging tuna berukuran 20 kilogram itu dia pilah lagi. Dia pisahkan yang warna merah dengan hitam, lalu memotong kecil-kecil menjadi tuna loin, setelah itu pengemasan.
Dia begitu cekatan. Sudah tiga tuna dia kemas dengan berat lebih 70 kilogram. “Setelah dikemas, nanti kirim ke perusahaan,” katanya.
Sabiin Asar, pengepul asal Desa Sangowo lebih beruntung lagi. Hari itu, lebih dari satu kuintal tuna dia dapat dari 25 nelayan sekitar. “Ikan yang ditangkap nelayan di sini cukup banyak. Jika musim tuna banyak hasil tangkapan harian. Yang masuk itu ratusan kilogram,” katanya.
Bagi Sabiin, Morotai, memiliki tuna melimpah. Sekitar 25 nelayan yang tergabung di satu koperasi, misal, bisa mendapat 500-1.000 kilogram setiap bulan per orang. Tidak mengherankan bila menangkap tuna, jadi pekerjaan sebagian besar masyarakat di Morotai hingga jadikan daerah ini salah satu penghasil tuna terbesar di Maluku Utara (Malut).
Sejalan dengan itu, angka ekspor tuna asal Morotai terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagaimana data pemerintah daerah. Pada 2017, ekspor tuna capai 496 ton naik menjadi 1.863 ton pada 2018. Pada, 2019 ekspor kembali naik jadi 1.985 ton.
Pada 2020, volume ekspor mencapai 2223 ton dan pada 2021 ekspor sebanyak 2.612 ton. Ekspor tuna ini bahkan yang tertinggi di antara komoditas perikanan Morotai ekspor.
Dalam dua tahun terakhir, 2022-2023, produksi tuna dari Morotai rata-rata sekira 1.500 ton per tahun. Hingga Juni 2024 , sudah ekspor sebanyak 1.213 ton. Untuk Juni 2024, ekspor 534 ton tuna.
DKP Morotai menargetkan 2.000 ton produksi tuna dari nelayan tradisional di Morotai dengan alat tangkap tangan (handline) pada 2024. “Kita perkirakan tuna ekspor lebih 2.000 ton pada 2024,” kata Joppy Jatun, Kepala Dinas Kelautan Perikanan Morotai, belum lama ini.

Banyak persoalan
Sayangnya, kendati menyimpan potensi besar, para nelayan tuna di Morotai masih menghadapi berbagai persoalan. Misal, masuknya kapal-kapal besar, akses BBM sulit, stok es terbatas, hingga kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Salah satunya, larangan menjual tuna ke daerah lain.
“Hasil tangkapan memang banyak tetapi ada kebijakan Pemkab Morotai yang membatasi penjualan tuna. Di Morotai hanya ada satu perusahaan dan ada kebijakan Pemkab Morotai melarang ada penjualan keluar hasil tangkapan nelayan itu, menjadi masalah serius,” kata Sabiin.
Menurut dia, semua bermula dari kebijakan mantan Bupati Morotai, Benny Laos (almarhum) yang melarang penjualan tuna ke luar Morotai pada 2017. Kala itu, nelayan hanya boleh menjual tangkapan ke satu perusahaan di Morotai. Dampaknya, nelayan tidak memiliki daya tawar karena tidak memiliki alternatif penjualan.
Dulu, para nelayan sempat beramai-ramai membentuk koperasi, seperti di Kecamatan Morotai Selatan, Morotai Timur, Morotai Utara dan Morotai Jaya. Kini, semua mati suri, hanya menyisakan di Sangawo. Itu pun, hanya melayani jual beli tuna, tanpa kegiatan pendukung lain.
Walhasil, para nelayan menjual hasil tangkapan kepada para tengkulak. “Tiga tahun lalu masih ada usaha mengolah sisa tuna yang dibuang. Terutama untuk rahang, kepala dan kulit tuna. Sekarang tidak ada lagi, tutup saat COVID-19 lalu.”
Keterbatasan cold storage juga jadi beban bagi nelayan. Sebagai satu-satunya, perusahaan tuna di Morotai, kapasitas penyimpanan (cold storage) PT Harta Samudera (HS) sangat terbatas yang berdampak pada serapan tuna dari para nelayan. Akibatnya, nelayan terpaksa mengurangi hari melaut karena tak mau merugi.
Di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SPT) Morotai, kapasitas cold storage hanya 6 ton per hari. Sementara tangkapan nelayan 12-16 ton perhari. Situasi ini tidak hanya mengancam pendapatan nelayan, tetapi juga perekonomian daerah. Kadang nelayan menghabiskan waktu seminggu tidak bisa melaut.
Bagi Sabiin, menambah kapasitas cold storage memang bisa menjadi solusi. Namun, cara lain juga bisa dengan memperbanyak pengangkutan ikan ke luar Morotai. “Sekarang, rata-rata cuma sekali sebulan, itu pun dengan kapasitas yang sangat kecil.”
Padahal, dulu, dua kapal dari program tol laut masuk Morotai dalam sebulan.
Pemerintah Morotai sempat mencoba memfasilitasi dengan mendorong kapal pengangkut ikan ke Bitung, Sulawesi Utara. Namun, menuai banyak penolakan karena memperpanjang rantai pasiok lantaran harus melewati Tobelo.
Selain itu, pemkab juga berupaya menggandeng investor agar bersedia masuk ke Morotai. “Sudah ada beberapa calon investor menyampaikan niatnya masuk membeli ikan tuna di Morotai. Beberapa sudah sudah melakukan survei dan menyatakan niatnya berinvestasi di Morotai,” kata Kepala DKP Morotai, Joppy Jatun.
Begitu juga dengan akses BBM. Mereka merencanakan menambah dua SPBN untuk memenuhi kebutuhan nelayan. “Beberapa infrastruktur lain, seperti es batu dan tempat tambatan perahu pasar ikan, juga sedang diupayakan tahun ini.”
Data DKP menyebutkan, ada sekitar 800 tuna berukuran rerata 30-40 kg ke atas per hari. Wilayah dengan kontribusi paling besar ada di Kecamatan Morotai Utara mencapai 40%, Morotai Timur 30%, Morotai Selatan 20%, sisanya 10%.
Pada 2023, KKP membangun cold storage berkapasitas 200 ton di Daeo Majiko dengan biaya dana hibah Jepang. Fasilitas ini lengkap dengan pendingin suhu minimum 60 derajat yang jadi standar untuk produk sashimi tuna. Masalahnya, armada angkutan dari Morotai ke Daeo Majiko, tidak mendukung. Armada kontainer hanya memiliki pendingin suhu 30 derajat, berarti mempengaruhi kualitas produk.
Joppy mengatakan, sashimi merupakan salah satu produk olahan tuna paling populer selain loin. Sashimi biasa makanmentah. Sebab itu, pendingin di bawah 60 derajat sangat penting karena bisa simpan tuna sampai dua tahun.
“Kalau rantai dingin ikan yang dikirim itu putus, jadi sia-sia karena kualitasnya turun dan sulit diterima di pasar Jepang. Morotai ada bahan bakunya, tapi fasilitas dan pengangkutannya tidak mendukung,” kata Joppy.
Dia berharap, KKP bisa mencari solusi penyediaan transportasi dengan fasilitas kontainer 60 derajat. Kalau tidak, persoalan para nelayan tuna tidak terselesaikan. “Karena alasan itu juga yang menjadi alasan calon investor untuk masuk ke Morotai. Ikan banyak, tetapi bingung juga ngangkutnya pakai apa, itu masalahnya.”
Joppy katakan, simpul masalah di Morotai paling besar adalah konektivitas baik, nelayan tuna, kakap, kerapu, tongkol dan lain-lain. Dulu, dari Morotai bisa kirim 100-200 ton per bulan. Sekarang, hanya sekitar 40 ton karena armada angkutan terbatas.

***
Morotai berada dalam tiga simpul Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715, 716, 717. WPP ini mencakup perairan Maluku, Sulawesi dan Halmahera. “Berdasarkan kajian KKP, dalam setahun potensi ikan Morotai bisa mencapai 1,9 juta ton. Sayangnya dalam setahun hanya bisa kelola dan ekspor 1.000-2.000 ton,” katanya.
Riset Titien Sofiati dan kawan kawan dari Fakultas Perikanan Universitas Pasifik Morotai 2023 bekerjasama dengan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), yang mempelajari “Status Pengelolaan Perikanan Tuna Secara Berkelanjutan dengan Pendekatan Ekosistem di Kabupaten Pulau Morotai,” menemukan, sejumlah persoalan nelayan hadapi, misal, akses BBM terbatas.
Titien juga temukan pembatasan kuota penjualan ikan oleh perusahaan karena daya simpan terbatas. Kondisi ini, membuat ikan lama tertahan di pengepul hingga ketika masuk ke perusahaan mutu turun. “Jika rantai pasok ini tidak bisa diselesaikan maka masalah nelayan tuna ini juga tidak bisa terselesaikan.”
***