- Petani di Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kebandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tidak resah dengan kehadiran satwa liar di kebun mereka.
- Satwa liar berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem alam. Babi hutan misalnya, alih-alih banyak yang menganggap sebagai hama, justru membantu mengurangi populasi tikus. Begitu juga peran penting trenggiling yang memakan serangga.
- Kehadiran satwa liar penting menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan, sehingga kita saling membutuhkan. Berbagi ruang merupakan jalan terbaik.
- Masyarakat Kampung Sukagalih, yang didampingi Absolute Indonesia, tahun 2023 mendapatkan izin pengelolaan Perhutanan Sosial melalui skema Kemitraan Konservasi bersama TNGHS, melalui Perjanjian Kerjasama (PKS). Jumlah penerima SK sebanyak 33 KK dengan luas kelola 16,54 ribu hektar.
Bagi Piah (55), petani asal Kampung Sukagalih, Desa Cipeuteuy, Kecamatan Kebandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bercocok tanam di kawasan hutan bukan hal mudah.
Dia tidak hanya menghadapi perubahan cuaca dan risiko gagal panen, tetapi juga kedatangan satwa liar. Sebut saja babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), trenggiling, hingga ular.
“Satwa liar kan hidup di alam, mereka punya hak,” ujar Piah, ditemani anaknya saat memetik kacang buncis di kebunnya, Rabu (12/2/2025).
Bagi Piah, kedatangan satwa liar bukan masalah besar, melainkan berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem alam. Babi hutan misalnya, alih-alih banyak yang menganggap sebagai hama, justru membantu mengurangi populasi tikus. Begitu juga peran penting trenggiling yang memakan serangga.
“Interaksi dengan satwa liar adalah bagian dari siklus alam yang mesti kita terima. Hidup itu mesti berbagi. Paling penting adalah hasilnya masih bisa kita makan,” imbuhnya.
Tidak hanya buncis (Phaseolus vulgaris), Piah juga menanam singkong dan tomat. Hasil kebun tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan harian keluarga, tetapi juga menjadi bagian sistem pertanian ramah lingkungan.
Baca: Kasepuhan Cibedug, Potret Perjuangan Warga Adat yang Hidup dalam Tradisi

Yanto Iwan, petani yang juga Ketua RT Sukagalih, mengatakan, awalnya kehadiran satwa liar dianggap sebagai masalah. Monyet ekor panjang dan babi hutan, sering merusak tanaman.
“Banyak warga yang menganggapnya hama, sehingga diburu,” ujarnya, Rabu (12/2/2025).
Seiring waktu, persepsi masyarakat mulai berubah berbarengan adanya program Model Kampung Konservasi (MKK) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
“Paling diberi penghalau saja, agar tidak masuk kebun.”
Penghalau dilakukan dengan berbagai cara, yaitu mengerahkan petani untuk menjaga kebun atau menggunakan alat-alat yang dapat menakuti satwa. Misal, kaleng untuk menghasilkan suara bising.
Meski tidak ada jaminan 100 persen efektif, namun pola ini cukup membantu petani mengurangi gangguan satwa liar di kebun.
“Kehadiran satwa liar penting menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan, sehingga kita saling membutuhkan. Berbagi ruang merupakan jalan terbaik,” jelasnya.
Baca: Akses Terbatas, Masyarakat Kasepuhan Jamrut Tuntut Pengakuan Wilayah Adat

Koridor ekologi
Secara geografis, Kampung Sukagalih, Cipeuteuy, berada di koridor ekologi yang memisahkan dua ekosistem penting di Jawa Barat, yaitu bagian utara ekosistem Gunung Halimun dan di selatan ekosistem Gunung Salak. Koridor ekologi ini juga bagian dari kawasan TNGHS.
Taman nasional seluas 113.357 hektar ini juga dihuni macan tutul jawa (Panthera pardus melas), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachyipithecus auratus), dan elang jawa (Nisaetus bartelsi).
Awal November 2024, sepasang macan kumbang/macan tutul terekam kamera jebak di taman nasional yang meliputi tiga wilayah Kabupaten yaitu Sukabumi, Bogor dan Lebak.
“Jumlah individu macan tutul untuk seluruh TNGHS diperkirakan 50 individu,” terang Aganto Seno, Kepala Seksi I TNGHS Lebak dilansir dari detikom.
Baca juga: Menggugat Hak Hidup Macan Tutul Jawa di Hutan Jabar

Izin kelola perhutanan sosial
Ginung Pratidina, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Djuanda Bogor, dalam dalam tulisannya “Implementasi Kebijakan Model Kampung Konservasi Taman Nasional” menjelaskan melalui konsep MKK, masyarakat terlibat kegiatan rehabilitasi dan reboisasi.
Setiap orang, yang diberi jatah garapan lahan kritis seluas 4.000 meter persegi, harus menanam tanaman keras, yang di selanya diperbolehkan menanam padi atau palawija. Namun demikian, dalam catatan itu, petani tidak diperkenankan memperluas lahan garapannya. Selain itu, warga juga dilibatkan dalam observasi partisipatori.
“Dua kali dalam sebulan, masyarakat melakukan pengontrolan ke hutan,” jelasnya.

Masyarakat Kampung Sukagalih, yang didampingi Absolute Indonesia, lembaga swadaya masyarakat lokal, tahun 2023 mendapatkan izin pengelolaan Perhutanan Sosial melalui skema Kemitraan Konservasi bersama TNGHS, melalui Perjanjian Kerjasama (PKS). Jumlah penerima SK sebanyak 33 KK.
Izin pengelolaannya seluas 16,54 ribu hektar. Area ini terbagi zona rehabilitasi (10,07 ribu hektar), zona pemanfaatan (6,34 ribu hektar), dan zona rimba (0,13 ribu hektar).
“Setelah adanya kejelasan hak akses, baik di dalam maupun luar kawasan, para petani mulai menerapkan sistem agroforestri dengan menanam jenis pohon keras,” ujar Muhammad Kosar, Ketua Badan Pengurus Absolute Indonesia, pertengahan Februari 2025.
Tak hanya mendampingi petani menjaga dan memulihkan ekosistem Gunung Halimun Salak, perkumpulan yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian alam ini juga melakukan berbagai program rehabilitasi hutan. Mereka juga menanam kembali pohon-pohon endemik, serta mengedukasi masyarakat pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem.
“Tujuannya, kelestarian hutan tetap terjaga, keanekaragaman hayati dapat dipertahankan, dan masyarakat sekitar merasakan manfaat ekonomi dari pengelolaan hutan berkelanjutan,” tegasnya.