- Komitmen restorasi lahan di seluruh dunia, yang mencakup 115 negara akan membutuhkan biaya antara USD 311 miliar hingga USD 2,1 triliun.
- Biaya ini sangat bervariasi tergantung pada metode yang digunakan: mulai dari USD 185 per hektar untuk manajemen hutan, hingga lebih dari USD 3.000 per hektar untuk sistem silvopastoral.
- Negara-negara di Afrika sub-Sahara, perlu mengalokasikan 3,7% dari PDB tahunannya untuk memenuhi komitmen tersebut, yang menunjukkan perlunya dukungan global.
- Perkiraan biaya dalam studi ini tidak mencakup variabel biaya pemantauan dan biaya peluang (opportunity cost), yang menunjukkan bahwa biaya restorasi sebenarnya mungkin lebih tinggi dari yang diproyeksikan.
Berapa banyak lahan terdegradasi di dunia dan berapa banyak dana yang diperlukan untuk memulihkannya?
Sebuah studi baru menunjukkan hasil analisis komprehensif pertama tentang biaya komitmen restorasi global ini. Biaya pemulihan lahan terdegradasi di seluruh dunia akan menelan biaya antara USD311 miliar hingga USD 2,1 triliun.
Menurut Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (United Nations Convention to Combat Desertification), setiap dolar yang dihabiskan untuk memulihkan lahan terdegradasi bakal menghasilkan imbalan ekonomi antara USD 7 hingga USD 30 di kemudian hari.
Dengan perkiraan 40% lahan global terdegradasi, 115 negara telah berkomitmen untuk memulihkan hampir 1 miliar hektar lahan, area yang kira-kira seukuran luas Kanada.
Meskipun jumlahnya besar, nominal itu setara dengan 0,04-0,27% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) global tahunan setelah dibagi dalam rentang 10 tahun. Namun, permasalahannya adalah distribusi kebutuhan restorasi yang tidak merata. Negara-negara yang lebih miskin akan menanggung bagian biaya yang lebih besar.
Komitmen ini, yang dibuat melalui perjanjian lingkungan internasional seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Bonn Challenge, yang mencakup pemulihan ekosistem alami serta peningkatan pengelolaan lahan pertanian.
Sebagian besar komitmen restorasi terkonsentrasi di negara-negara berkembang, khususnya di Afrika sub-Sahara, yang menyumbang hampir setengah dari semua komitmen global. Namun, wilayah ini perlu mengalokasikan 3,7% PDB tahunannya untuk memenuhi komitmen tersebut. Ini menjadi beban finansial yang besar.
Tim peneliti menganalisis data dari 243 proyek restorasi di seluruh dunia, yang mengungkap variasi biaya yang besar — mulai dari USD 185 per hektar untuk pengelolaan hutan, hingga lebih dari USD 3.000 per hektar untuk sistem silvopastori yaitu menggabungkan restorasi penanaman pohon dengan lokasi penggembalaan ternak.
“Dari perspektif global, sangat efisien untuk melakukan banyak restorasi di negara-negara berpenghasilan rendah, karena di sana biayanya relatif murah. Tetapi mereka membutuhkan bantuan,” kata penulis utama studi, Dewy Verhoeven, seorang kandidat Ph.D. di Wageningen University & Research di Belanda, kepada Mongabay.
“Negara-negara miskin menanggung kebutuhan restorasi terbesar, tetapi paling tidak mampu membiayai tindakan restorasi yang diperlukan,” kata Robin Chazdon, seorang ahli restorasi lahan yang tidak terlibat dalam penelitian ini kepada Mongabay.
“Fakta ini menegaskan perlunya mekanisme berbagi biaya antar negara dan implementasi pendekatan restorasi berbasis lanskap dengan biaya rendah ketika kondisinya sesuai.”
Studi ini, salah satunya menyarankan berbagai variasi Pembayaran untuk Jasa Ekosistem (PES) dan pemberian subsidi lahan.

Upaya Restorasi Lahan Terdegradasi
Studi ini mendefinisikan restorasi secara luas: mulai dari memulihkan ekosistem sepenuhnya ke keadaan alaminya, merehabilitasi lahan untuk pertanian, hingga sekadar meningkatkan cara lahan dikelola saat ini.
Ini mencakup tindakan seperti agroforestri, praktik penggembalaan yang lebih baik, dan regenerasi alami dengan bantuan. Lahan tidak perlu sepenuhnya terdegradasi untuk dipulihkan.
Para peneliti melihat tiga sumber data pembiayaan: Bank Dunia, basis data World Overview of Conservation Approaches and Technologies (WOCAT), dan literatur akademik. Dengan menggunakan data ini, mereka mengembangkan model ekonomi yang memperkirakan biaya implementasi untuk hampir 1 miliar hektar lahan untuk dipulihkan.
Menariknya, studi ini menemukan bahwa organisasi yang berbeda melaporkan biaya yang berbeda untuk proyek serupa. Misalnya, WOCAT menyebut biaya pemulihan lahan adalah sekitar tiga kali lebih mahal dibandingkan ketika Bank Dunia melacaknya. Hal ini menunjukkan perlunya cara standar untuk mengukur dan melaporkan biaya tersebut.
“PDB tingkat negara adalah faktor utama yang memengaruhi biaya restorasi, khususnya biaya tenaga kerja dan persediaan untuk kegiatan restorasi sangat terkait dengan tingkat PDB nasional,” kata Chazdon.

Studi ini berfokus terutama pada biaya implementasi langsung, tidak termasuk biaya peluang (opportunity cost), atau kesempatan berusaha pemilik tanah yang hilang saat lahan pertanian atau kegiatan ekonomi tidak bisa lagi digunakan.
Hal ini yang kemudian digarisbawahi oleh Chazdon. Dia menyebut faktor ini yang menentukan apakah restorasi lahan adalah pilihan rasional bagi pemilik tanah.
“Kita perlu mencari perencanaan praktik hemat biaya dan menemukan sumber pendanaan yang tidak terlalu menjadi beban bagi pemilik tanah atau anggota masyarakat,” katanya.

Selain mengukur biaya secara akurat, negara-negara mungkin membutuhkan bantuan dalam memutuskan area mana yang akan dipulihkan dan metode apa yang akan digunakan.
“Ada banyak pendekatan dan alat untuk memprioritaskan pendekatan dan peluang restorasi yang dapat digunakan oleh negara-negara,” kata Chazdon.
Dia menyebutkan tools seperti WePlan Forests untuk restorasi hutan tropis, dan tools Plangea untuk berbagai jenis ekosistem.
“Alat-alat ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi area-area kunci untuk penilaian lebih lanjut berdasarkan kebutuhan dan prioritas lokal,” pungkasnya.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 7 Februari 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Verhoeven, D., Berkhout, E., Sewell, A., & Van der Esch, S. (2024). The global cost of international commitments on land restoration. Land Degradation & Development, 35(16), 4864-4874. doi:10.1002/ldr.5263
***
Foto utama: Mangrove salah satu ekosistem penting di dunia yang juga perlu direstorasi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia
Studi: Jadi Ekosistem Penting Penyimpan Karbon, Baru 17% Lahan Gambut Dilindungi di Dunia