Ramadan dan Fenomena Dua Gerhana

3 hours ago 2
  • Pada Ramadan 1446 Hijriah ini, terjadi dua gerhana yaitu Gerhana Bulan Total [14 Maret 2025] dan Gerhana Matahari Sebagian [29 Maret 2025].
  • Gerhana Bulan Total tahun ini merupakan yang pertama sejak November 2022, sedangkan Gerhana Matahari Sebagian adalah yang pertama di tahun 2025.
  • Fenomena bulan memiliki keterkaitan erat dengan aktivitas menangkap ikan masyarakat pesisir atau nelayan di Nusantara bahkan seluruh dunia. Hal ini karena adanya pengaruh kuat siklus bulan dengan perilaku organisme laut.
  • Fakta ini menjadi landasan lahirnya sejumlah pengetahuan menangkap ikan masyarakat pesisir dan nelayan, yang berperan penting dalam memastikan keberlanjutan penangkapan ikan.

Di Bulan Ramadan 1446 Hijriah ini, Matahari dan Bulan akan bergantian menutupi satu sama lain. Gerhana Bulan Total diperkirakan akan terjadi pada 14 Maret 2025, sedangkan Gerhana Matahari Sebagian pada 29 Maret 2025.

Dikutip dari situs resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], Gerhana Bulan adalah fenomena ketika Matahari, Bumi, dan Bulan sejajar. Sementara Gerhana Matahari Sebagian adalah fenomena ketika sebagian Matahari tertutup Bulan.

Menariknya, dikutip dari Scientific Visualization Studio National Aeronautics and Space Administration [NASA], Berhana Bulan Total tahun ini merupakan yang pertama sejak November 2022.

“Seluruh Bulan berada di bagian tergelap bayangan Bumi, yang disebut umbra. Saat itu, warnanya merah jingga. Gerhana Bulan terkadang disebut ‘Bulan Darah’ atau Blood Moon karena fenomena ini,” dikutip dari situs NASA, Jumat [7/3/2025].

Lebih lanjut dijelaskan, alasan perubahan warna Bulan menjadi merah dikarenakan sebagian sinar Matahari yang melewati atmosfer Bumi mencapai permukaan Bulan, meneranginya dengan redup.

“Semakin banyak debu atau awan di atmosfer Bumi selama gerhana, semakin merah Bulan tampak.”

Sementara, Gerhana Matahari Sebagian merupakan Gerhana Matahari pertama pada 2025 ini. Umumnya, terjadi sekitar 2-5 kali setahun.

“Peristiwa terjadi saat Bulan bergerak di antara Bumi dan Matahari, sehingga sebagian sinar Matahari terhalang dan menghasilkan bayangan.”

Sayangnya, dua fenomena langka ini tidak dapat disaksikan di langit Indonesia. Gerhana Bulan Total hanya terjadi di wilayah Amerika dan sebagian Afrika Barat pada malam 13-14 Maret 2025.

Sementara Gerhana Matahari Sebagian juga hanya bisa dilihat di wilayah Eropa, Afrika Utara, dan Eropa Barat, pada 29 Maret 2025.

Baca: Gerhana Bulan Penumbra, Fenomena Malam Luar Biasa

Gerhana Bulan akan menghiasi langit di Bulan Ramadan 1446 Hijriah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Fenomena Bulan dan kehidupan ikan

Menurut Sulaiman [2018] dalam penelitiannya yang mengkaji pengetahuan nelayan tentang fenomena Bulan dalam aktivitas perikanan, pada awal peradaban, terutama dalam tradisi Islam, benda-benda langit memainkan peran krusial sebagai panduan hidup sehari-hari.

“Masyarakat pada tahap ini memahami bahwa benda astronomi dapat dimanfaatkan sebagai pengendali waktu, penunjuk perubahan musim, ketersediaan sumber makanan, arah, dan perkiraan pasang surut,” tulisnya.

Penelitian ilmiah menunjukkan adanya hubungan erat antara siklus Bulan dan pasang surut dengan perilaku makhluk hidup, mulai dari organisme sederhana hingga hewan laut.

Pada 1926, Knight mengembangkan teori yang menghubungkan pergerakan Bulan, Matahari, dan pasang surut untuk memprediksi aktivitas ikan, yang sangat membantu nelayan dalam menentukan waktu penangkapan optimal.

“Teori ini, yang dikenal sebagai Teori Solunar, terbukti akurat berdasarkan data penangkapan ikan, yang menunjukkan bahwa sebagian besar tangkapan [90 persen] terjadi saat Bulan baru [fase Bulan gelap],” jelas Sulaiman.

Sejumlah penelitian mengkonfirmasi bahwa fase Bulan memengaruhi pemijahan ikan terumbu karang tertentu, dengan variasi jumlah tangkapan ikan yang terkait dengan fase Bulan purnama dan Bulan baru.

Seperti, studi di Brasil menunjukkan peningkatan tangkapan ikan selama pasang tinggi dan purnama, serta perbedaan signifikan dalam jumlah dan jenis ikan antara Bulan terang dan gelap.

“Pengaruh fase bulan juga terlihat pada spesies ikan tenggiri, yaitu tangkapan lebih rendah selama Bulan terang, berlawanan dengan beberapa spesies lain yang lebih aktif saat purnama.”

Selain di laut, efek fase Bulan juga memengaruhi komposisi ikan di hutan bakau, dengan jumlah dan berat lebih tinggi selama Bulan gelap.

Secara ilmiah, makhluk hidup merespons perubahan cahaya dan suhu, serta fenomena Bulan, melalui siklus purnama, setengah bulan, dan pasang surut, terhadap siklus biologis mereka.

Setiap spesies memiliki siklus reproduksi yang unik, dipengaruhi fase bulan dan kondisi lingkungan seperti cahaya dan pasang surut. Hormon seperti melatonin memainkan peran penting dalam respons ini.

“Meskipun pemahaman ilmiah tentang pemijahan ikan kelompok masih terbatas, namun pengetahuan lokal nelayan tentang fase Bulan dan musim sangat berharga dalam meningkatkan hasil tangkapan,” jelas riset tersebut.

Baca: Akankah Tiga Fenomena Bulan ini Terulang Kembali?

Pengetahuan nelayan tentang menangkap ikan terkait fenomena Bulan penting dipahami guna menjaga kelestarian ikan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Bulan dan pengetahuan masyarakat pesisir

Sebagian besar masyarakat pesisir di Nusantara atau dunia, memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai fenomena Bulan yang terkait langsung aktivitas sehari-hari mereka, terutama perikanan.

“Sejak dulu, Bulan gelap atau baru, merupakan saat yang tepat untuk menangkap sejumlah jenis ikan karena mereka sangat aktif di laut,” kata Ismu Bay, nelayan di Desa Batu Beriga, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung, kepada Mongabay, Selasa [11/3/2025].

Pengetahuan yang dimiliki Ismu, nyatanya juga dimiliki kelompok masyarakat pesisir atau nelayan lain di Indonesia. Misalnya, komunitas nelayan Bugis di Balobaloang memiliki pengetahuan tentang Bulan dan pasang surut air, menurut penelitian Ammarell [1999], dalam penelitian Sulaiman [2018].

“Memahami siklus pasang surut berdasarkan posisi Bulan, membantu mereka menentukan waktu terbaik menangkap ikan.”

Di Kupa, Sulawesi Selatan, nelayan meyakini bahwa Bulan terang adalah waktu terbaik untuk berburu cumi-cumi, dan pengalaman mereka mengkonfirmasi hal ini.

Baca juga: Hari Ini, Fenomena Gerhana Matahari Hibrid di Indonesia

Cumi-cumi menurut nelayan akan lebih mudah ditangkap saat purnama atau terang karena indukannya lebih agresif. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Pengetahuan tentang siklus Bulan telah mendorong pembuatan kalender khusus di berbagai budaya. Komunitas Polinesia, misalnya, menggunakan kalender berbasis bulan dengan siklus 29 hari. Di Jawa, siklus tiga Bulanan yang tidak terikat pada perhitungan Bulan memandu nelayan dalam memahami kapan ikan melimpah atau langka.

Selain itu, komunitas nelayan di berbagai wilayah seperti British Columbia, Sabah, dan Sulawesi juga memiliki pemahaman khusus tentang fase Bulan memengaruhi pergerakan ikan dan hasil tangkapan.

“Mereka menyesuaikan praktik penangkapan ikan dengan siklus Bulan untuk memaksimalkan hasil tangkapan. Pengetahuan ini sering diwujudkan dalam bentuk kalender tradisional yang membantu nelayan merencanakan kegiatan sepanjang tahun,” jelas Sulaiman.

Referensi:

Sulaiman, N. A. A. (2018). Fisherman’s knowledge of the moon phenomenon in fishing activities. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 8(11), 942–949. https://www.researchgate.net/publication/334499847_Fisherman’s_Knowledge_of_the_Moon_Phenomenon_in_Fishing_Activities

Ramadan dan Lahan Basah Sumatera Selatan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|