Nasib Warga Rantau Bakula Terdampak Tambang Batubara

1 week ago 17
  • Masyarakat Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan mengeluhkan dampak pertambangan batubara yang berada dekat pemukiman mereka.  Tambang yang beroperasi hampir 24 jam sehari ini pun menyusahkan kehidupan warga dari  bunyi bising, pencemaran, kebun rusak,  sampai rumah ambruk.   
  • Mariadi, perwakilan warga, dalam RDP menyebut MMI enggan transparan sejak masuk ke kampungnya pada 2009. Perusahaan mengaku hanya akan membangun kompleks perkantoran, namun justru menambang batubara dengan sistem bawah tanah.
  • Sumardi, warga desa Rantau Bakula, jadi salah satu korban kriminalisasi. Petani 60 tahun itu jadi tahanan kota dan wajib mengenakan gelang elektronik yang membatasi geraknya selama 5 bulan.
  • Walhi Kalsel, yang mendampingi warga, menuntut transparansi penuh dari MMI. Juga, evaluasi seluruh dokumen perusahaan, perizinan, AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL), serta Peta Konsesi dan Tata Batas Wilayah Tambang.

Masyarakat Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan mengeluhkan dampak pertambangan batubara yang berada dekat pemukiman mereka. Tambang yang beroperasi hampir 24 jam sehari ini pun menyusahkan kehidupan warga dari  bunyi bising, pencemaran, kebun rusak, sampai rumah ambruk.   

Warga pun melaporkan kasus ini ke DPRD Kalsel. Pada 26 Februari lalu, puluhan warga RT 4 Desa Rantau Bakula dengan dampingan Walhi Kalsel ikut rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III yang membahas pertambangan batubara bawah tanah PT Merge Mining Industry (MMI)  ini.  

Hadir perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel, Inspektorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, serta manajemen MMI. 

Mariadi, perwakilan warga, dalam RDP mengatakan,  MMI enggan transparan sejak masuk ke kampung pada 2009. Perusahaan mengaku hanya akan membangun kompleks perkantoran, justru menambang batubara dengan sistem bawah tanah.

“Lokasinya sangat dekat dengan permukiman, tidak sampai ratusan meter. Akibatnya, beberapa rumah warga di RT lain ambruk,” kata Mariadi. 

Operasi perusahaan asal Tiongkok ini juga menimbulkan beberapa dampak buruk. Getaran mesin pencucian batubara perusahaan yang beroperasi hampir hampir 24 jam sehari menyebabkan rumah-rumah warga retak, bahkan hancur. 

“Kami juga sulit tidur karena mesin terus beroperasi siang dan malam.” 

Sebagian warga juga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena pencemaran udara.

Tahun lalu, bahkan terjadi kebocoran settling pond, membuat limbah tambang perusahaan mencemari sungai di sekitar desa.

“Air sekitar sudah tidak bisa digunakan. Untuk memasak, mencuci, dan mandi, kami harus membeli, minimal dua galon per hari untuk setiap kepala keluarga,” katanya. 

Mariadi bilang, hasil tambak dan pertanian warga pun ikut terpengaruh. Hasil panen yang dulu bisa sampai 100 Kilogram, sekarang berkurang hingga separuhnya.

“Lingkungan yang dulu asri sekarang sudah rusak.” Dia juga mengeluhkan bau busuk dari septic tank kompleks perkantoran perusahaan yang terlalu dekat pemukiman. 

Rusdi Hartono, warga lain, mengutarakan, keluarganya menderita penyakit kulit karena air yang tercemar.

“Penyakit ini dirasakan langsung oleh anak saya.”

Warga sudah berulang kali meminta perusahaan bertanggung jawab. Hasilnya nihil, mereka dianggap mengintimidasi dan menghalangi kegiatan perusahaan. 

Wilayah pertambangan PT MMI dipotret dari udara. Foto: Walhi Kalsel.

Kriminalisasi petani

Sumardi, warga desa Rantau Bakula, merupakan korban kriminalisasi. Petani 60 tahun itu jadi tahanan kota dan wajib mengenakan gelang elektronik yang membatasi geraknya selama lima bulan.

Pengadilan Negeri Martapura jatuhkan hukuman pertengahan November 2024. Sumardi kena dakwa mengancam Huang Yongsheng, manajemen MMI. 

Kejadian berawal ketika kebunnya—3.000 tanaman singkong dan 47  pisang yang siap panen—rata dengan tanah, akhir April 2024. Dia menduga kebun tergusur alat berat perusahaan saat pembersihan lahan. Padahal, lokasi kebun berada di luar konsesi MMI, di jalan hauling perusahaan tambang.

Emosi, Sumardi mendatangi Huang yang tengah memberi instruksi pada operator bulldozer tidak jauh dari kebun. Seperti kebiasaan petani di kampungnya, Sumardi selalu membawa parang untuk berkebun. Benda itu dia cabut dari sarung dan diacungkan ke arah Huang.

Sementara tangan yang lain mencengkram kerah baju Huang. Mulutnya menggerutu setengah memaki. Dia bicara cepat sampai warga asli Tiongkok yang kurang fasih berbahasa Indonesia itu tidak sepenuhnya paham. 

Huang mencoba meredam situasi. Meminta Sumardi bersabar, dan menunggu pembahasan masalah bersama pimpinan perusahaan. 

Sumardi memilih pulang. Malamnya, dia didatangi perangkat desa yang menyerahkan uang Rp3,5 juta sebagai ganti rugi atas kebunnya. 

Insiden itu berbuntut panjang. Huang mengadu ke polisi keesokan harinya. Laporan berlanjut ke pengadilan, hingga Sumardi kena ganjar hukuman. 

Kisah Sumardi disampaikan Iqbal Hambali, Walhi Kalsel, pada forum RDP dengan dewan.

“Kasus Pak Sumardi menunjukkan bahwa kehadiran perusahaan hanya membawa mudarat bagi masyarakat,” katanya. 

Dia meminta dewan membayangkan situasi yang Sumardi alami. 

“Siapa yang tidak kesal ketika tanaman yang hampir panen, dengan potensi hasil sekitar Rp30 juta, tiba-tiba digilas perusahaan? Wajar jika beliau marah.” 

Rudy Fahrianor, aktivis Walhi yang lain, menambahkan, warga Desa Rantau Bakula adalah masyarakat transmigrasi yang telah mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) sejak  1993. 

“Sehingga wilayah pemukiman mereka bukanlah termasuk hutan produksi.” 

Walhi menuntut, transparansi penuh dari MMI. Juga, evaluasi seluruh dokumen perusahaan, perizinan, amdal, rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan (RKL-RPL), serta peta konsesi dan tata batas wilayah tambang.

Lokasi konsesi PT MMI yang sangat dekat dengan pemukiman warga Desa Rantau Bakula. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia

Tanggapan perusahaan

Yudha Ramon, Direktur Utama MMI membantah semua tudingan. Dalam paparannya, dia bilang MMI beroperasi legal dengan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP) melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Koordinator Penanaman Modal, 16 Mei 2016. Berlaku hingga 11 Februari 2030. Juga, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) lewat SK Menteri Kehutanan, 2 Oktober 2013, dengan masa berlaku serupa. Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) 2024–2026, persetujuan diberikan melalui SK Direktorat Jenderal Minerba, 25 Maret 2024. 

MMI, katanya, menggunakan metode tambang bawah tanah, lebih ramah lingkungan karena tidak mengubah bentang alam. Perusahaan juga tidak menggunakan metode blasting (peledakan) dalam aktivitas tambangnya. 

“Keretakan pada rumah warga diduga oleh aktivitas tambang lain di sekitar yang menggunakan metode blasting.” 

Yudha bilang, perusahaan  rutin  uji kebisingan di wilayah operasionalnya untuk meminimalisasi dampak buruk. Pengujian terakhir  Badan Standardisasi dan Pelayanan Jasa Industri (BPSJI) Banjarbaru, 27 Desember 2024-7 Januari 2025. 

Hasilnya, tingkat kebisingan aktivitas tambang MMI sebesar 53,6 dB. Jauh di bawah standar kebisingan yang ditetapkan, 85 dB, sesuai SNI 7231-2009. 

“Kami memastikan kebisingan dari aktivitas tambang tidak melebihi batas yang diperbolehkan.”  

MMI juga berkala melakukan pengujian kualitas udara dan tanah di lokasi tambang. Hasilnya, kualitas lingkungan masih sesuai dengan standar yang ditetapkan.

“Sehingga soal penyakit ISPA dan kulit, perlu ada kajian lebih lanjut untuk memastikan penyebabnya.”

Terkait pencemaran sungai akibat limbah tanggul settling pond, Yudha pastikan masalah itu telah selesai. Tanggul sudah mereka perbaiki. 

“Saat ini, kondisi lokasi yang terdampak sudah kembali normal tanpa masalah.”

Untuk bau septic tank, katanya, perusahaan telah melakukan perbaikan dan penutupan septic tank pada akhir 2024. 

Dia juga membantah tudingan aktivitas perusahaan menyebabkan tanaman produktif masyarakat mati. 

“Kami tidak pernah melakukan kegiatan yang mematikan tanaman produktif. MMI juga tidak beroperasi di lahan yang belum diusahakan.” 

Tudingan kriminalisasi juga dia tepis. “Kami tidak pernah berniat mengkriminalisasi siapa pun. Kami memahami usaha pertambangan pasti ada tantangan,”

Mariadi berdiri di tepian settling pond milik PT MMI yang jebol pada Juli 2024 silam. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

Terabaikan

Marwata, Camat Sungai Pinang, mengetahui konflik antara warga RT 4 Desa Rantau Bakula dan MMI. Dia bahkan menerima aduan dari masyarakat dan memediasi pertemuan antara perusahaan dan 29 keluarga yang perusahaan rugikan, 3 Mei 2024.

Dalam pertemuan itu, warga meminta kejelasan terkait legalitas kepemilikan lahan di sekitar tambang. Warga berikan dokumen dan minta kepala desa sampaikan kepada perusahaan. 

Selanjutnya, perusahaan verfikasi dokumen  untuk memastikan keabsahannya. Verifikasi ini menjadi dasar menentukan ganti rugi lahan yang tergarap. 

Sebagai langkah awal, sudah pengukuran lahan untuk mengecek klaim warga. Namun, Marwata tidak tahu ihwal kerampungan proses itu.

Seharusnya, setelah pengukuran, warga dapat kesempatan menentukan nilai ganti rugi yang harus perusahaan bayarkan. Ada kesepakatan penyelesaian proses dalam waktu 30 hari kerja. 

“Namun, hingga kini, belum ada hasil lanjutan mengenai  itu.”

Rahmadi, Kepala Desa Rantau Bakula, menyatakan, bukan pertama kali konflik terjadi. Sebelum RT 4, aktivitas perusahaan juga pernah merusak pemukiman warga di RT lain. 

“Tanah ambles saat itu menyebabkan 39  keluarga terdampak, dan mereka harus dipindahkan. Dari jumlah itu, enam keluarga hingga kini masih belum mendapatkan penyelesaian.”  

MMI, katanya, juga sering mengganti manajemen. Hal ini memperumit penyelesaian masalah.

“Manajemen sudah berganti tiga kali sejak mereka mulai beroperasi. Setiap manajemen punya pendapat berbeda.” 

Dia mendesak, perusahaan segera menyelesaikan persoalan termasuk mempekerjakan lebih banyak warga lokal sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat sekitar. 

Rudy Fahrianor membantah pernyataan Camat dan Kepala Desa. Menurut dia, warga memang meminta tanggung jawab, tetapi bukan minta ganti rugi atas lahan.

“Warga tidak ingin tanahnya dibeli. Mereka menghendaki agar aktivitas pertambangan dihentikan. Kembalikan lingkungannya.”  

Tambang bawah tanah, katanya, hanya terlihat tidak merusak di permukaan. Dampak yang muncul justru lebih berbahaya, karena tak langsung terlihat.

Buktinya, warga rasakan tanah amblas. “Memang benar tambang ini tidak langsung mematikan, tapi efeknya adalah mengusir warga secara perlahan.”  

Rudy juga meragukan klaim perusahaan yang menyatakan kualitas tanah, udara, dan air di sekitar wilayah tambang masih sesuai standar. Dia  menilai pengujian bisa jadi tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. 

“Ayo bentuk tim bersama, uji kebisingannya 24 jam penuh, bukan hanya sesaat. Bisa saja saat pengujian dilakukan perusahaan, mesinnya sengaja dimatikan.”. 

Terkait pengujian kualitas tanah dan udara, dia curiga titik pengambilan sampel di lokasi yang jauh dari tambang. Jadi, hasilnya tampak aman.

“Pengujian ini harus bersama-sama di lokasi yang benar-benar mencerminkan kondisi lingkungan tambang. Tidak boleh ada manipulasi.”

Mariadi amini ucapan Rudy. Menurut dia, warga sempat berpikir menjual tanah tetapi  berubah pikiran karena perusahaan mereka anggap mengabaikan tuntutan warga.

“Dulu, kami sempat ingin menjual tanah, tapi karena perusahaan tidak peduli, kami memilih untuk bertahan,” kata Mariadi. 

Walhi dari berbagai daerah, termasuk Kalsel mengadukan dugaan korupsi sumber daya alam ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Jumat (7/3). Foto: Walhi Kalsel.

Tanggapan dinas dan DPRD

Hardini Wijayanti, Kepala Bidang Penataan Hukum Lingkungan di DLH Kalsel mengaku telah menanggapi keluhan warga ihwal tanggul settling pond MMI yang sempat jebol. 

Mereka  turun lapangan bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banjar setelah kabar tersebut mencuat di media, 9 Juli 2024. 

“Kami bersama DLH Banjar melakukan pengawasan, dan perusahaan saat itu langsung memperkuat tanggul sepanjang 100 meter di kompartemen 3. Pekerjaan selesai dalam dua hari.” 

Pantauan lapangan menunjukkan, bekas lumpur seluas 30×30 meter yang sempat masuk ke kebun warga tetapi dia memastikan tidak ada tanaman mati. Selain itu, air dari tanggul jebol juga tidak mencemari sungai desa. 

“DLH juga telah melakukan uji sampel air, hasilnya menunjukkan, kualitas air tidak bermasalah,” katanya.

Pengawasan lebih lanjut DLH Banjar lakukan pada 13 Agustus 2024. 

Tanggul settling pond DLH perkuat lagi sepanjang 150 meter untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang. Namun, Hardini menekankan pentingnya pengujian lebih lanjut untuk memastikan dampak lingkungan. 

Terkait uji kebisingan, katanya, harus dilakukan selama 24 jam penuh karena ada perbedaan signifikan saat siang dan malam.

“Tidak bisa hanya dilakukan sesaat. Mesti pengawasan menyeluruh, terutama pada malam hari.” 

Heru Yulianto, Kepala Seksi Teknik dan Lingkungan Minerba Dinas ESDM Kalsel, bilang, tidak memiliki kewenangan menindak MMI  langsung. Pasalnya, perusahaan memiliki status penanaman modal asing, izin operasi dari pemerintah pusat.

“Kami tahu  keluhan masyarakat selama ini bukan pada proses pertambangan, tetapi pada mesin pencuci yang beroperasi siang dan malam tanpa henti,” katanya. 

Dinas meminta MMI mengurangi jam operasi mesin pencuci di malam hari demi kenyamanan warga sekitar. 

Dari RDP itu, akan ada tim investigasi dan identifikasi untuk memastikan kebenaran fakta dari kedua belah pihak. 

Ketua Komisi III DPRD Kalsel, Mustaqimah akan jadi ketua dengan tim dari instansi terkait, camat, kepala desa, sampai perwakilan warga. 

Kartoyo, Wakil Ketua DPRD Kalsel, mendukung  masyarakat, tetapi tidak mengabaikan legalitas perusahaan. 

“Kehadiran investor dan perusahaan di Kalsel seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat, bukan sebaliknya,” ujar politisi Partai Nasdem ini.

Walau tak memiliki kewenangan mencabut izin perusahaan seperti tuntutan masyarakat, dia mendesak ada solusi terbaik yang dapat melindungi hak masyarakat.

“Kami ingin ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. Masyarakat harus tetap mendapatkan hak-haknya.”

Warga Desa Rantau Bakula menyampaikan keluhan terkait aktivitas pertambangan PT MMI pada forum rapat dengan Komisi III DPRD Kalsel, Rabu (26/2). Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

Lapor ke Kejagung

Pada 7 Maret lalu, bersama Walhi dari berbagai daerah, Walhi Kalsel mengadukan MMI ke Kejaksaan Agung. Laporan mencakup dugaan pelanggaran perusahaan. 

Dalam laporan, Walhi menyebut, MMI beroperasi di kawasan hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi terbatas, namun aktivitas melampaui izin.

Berbagai fakta dari RDP juga menjadi bahan aduan. Walhi menyoroti dampak buruk yang warga Desa Rantau Bakula alami. 

Raden Rafiq Sepdian Fadel, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, mengatakan, harus ada tindak tegas terhadap MMI. “Kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat tidak boleh dibiarkan. Kami berharap Kejagung segera menindaklanjuti laporan ini dengan serius,” katanya. 

Walhi menuntut, cabut izin perusahaan yang terbukti melanggar regulasi lingkungan. Juga, menyerukan audit menyeluruh terhadap semua perizinan industri ekstraktif secara transparan serta penghentian penerbitan izin baru. Tindakan itu penting, katanya, karena Kalsel kini berada dalam kondisi darurat ruang dan bencana ekologis. Walhi pun meminta Kejagung memproses laporan yang  mereka sampaikan. 

“Kami juga siap bekerja sama dengan Kejagung, baik di tingkat nasional maupun daerah, untuk menindaklanjuti kasus-kasus korupsi sumber daya alam.”

*****

Nasib Orang Rimba di Tengah Himpitan Perkebunan Sawit dan Tambang Batubara

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|