Kala Tambak Udang Cemari Lahan Tani dan Laut Jember

2 days ago 11
  • Ratusan warga dari Desa Mayangan dan Kepanjen, Kecamtan Gumukmas,  mendatangi gedung DPRD Jember, Februari lalu. Mereka menuntut tambak udang milik PT Delta Guna Sukses (DGT) dan PT Anugerah Tanjung Gumukmas (ATG) karena dinilai mencemari lahan pertanian dan perairan pesisir selatan Jember selama puluhan tahun. 
  • Arif Sukoco, Ketua Kelompok Petani Masyarakat Kepanjen (KPMK) sebut, banyak lahan pertanian  di sekitar tambak tidak bisa berproduksi, tergenang air dan dipenuhi rumput liar. Hasil uji lab pH tanah tinggi melampaui baku mutu, begitu juga salinitas. Total ada 150-200 hektar lahan pertanian terdampak aktivitas tambak ini. 
  • Sigit Boedi Ismoehartono, Sekretaris Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Jember mengakui ada sekitar 200 hektar lahan yang produktivitas turun terus karena diduga terdampak limbah tambak. Atas permasalahan tersebut, Dinas TPHP meminta perusahaan bertanggung jawab.
  • Sugiyarto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember menyebut izin tambak di pesisir selatan Jember lengkap.  Termasuk, izin pembuangan limbah cair dari Instalasi Pengolahan Air limbah (IPAL). Perusahaan juga rutin kirim laporan setiap enam bulan sekali dan mengklaim hasilnya masih di bawah baku mutu.

“Kepanjen tidak diam. Selamatkan pesisir selatan Jember dari industri tambak udang modern yang mencemari dan merusak lingkungan hidup. Tutup tambak udang modern!”. 

Begitu tulisan spanduk warga dari dua desa: Kepanjen dan Mayangan, Kecamatan Gumukmas, Jember, Jawa Timur,  saat mendatangi Kantor DPRD setempat, akhir Februari. Spanduk itu sebagai protes pencemaran aktivitas tambak udang  PT Delta Guna Sukses (DGS) dan Anugerah Tanjung Gumukmas (ATG) di pesisir selatan Jember. 

Mereka menuntut penutupan tambak udang milik kedua perusahaan itu.“Tambak tak pernah untungkan petani, justru merugikan. Namun petani tidak pernah merugikan perusahaan tambak,” kata Setiyo Ramires, petani asal Desa Kepanjen dalam orasinya. Dia pun meminta penutupan tambak udang di Gumukmas.

Setiyo katakan, keberadaan tambak tidak sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 51/2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Sebagai area yang berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem, sempadan seharusnya bebas dari aktivitas industri, termasuk tambak. 

“Nyatanya,  tambak modern di pesisir Jember itu banyak di sempadan pantai. Meskipun ada izin, apakah tambak seenaknya bisa buang limbah?”

 Selain dugaan limbah ke laut, tambak juga  buang ke sungai akhirnya mencemari perairan sekitar. 

Menurut Setiyo, produktivitas pertanian warga terus turun lantaran sungai yang menjadi sumber irigasi, diduga  tercemar limbah tambak. Begitu juga dengan para nelayan. Mereka harus melaut lebih jauh. 

Para petani, kata Setiyo, memang tidak memiliki kemampuan  menganalisa dampak dari limbah tambak  tetapi, meyakini  produktivitas dan tangkapan ikan, salah satunya karena limbah tambak. “Di luar daerah, banyak hutan dibabat untuk pertanian. Di Jember, lahan pertanian malah dirusak dan dicemari.” 

Saluran pembuangan limbah dari tambak udang di pesisir selatan Jember. Foto: dukoumen warga/Mongabay Indonesia.

Cemari sungai

Ahmad Zaini, perwakilan warga Mayangan mengatakan, limbah tambak udang mencemari sungai dan menyebabkan ikan dan biota mati. Pendapatan nelayan kecil juga berkurang karena ikan-ikan menjauh lantaran laut tercemar. “Lahan-lahan produktif juga rusak,” katanya.

Dia  meminta, penutupan tambak hingga limbah tak ke perairan. 

Iqbal Abipraya, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Gumukmas  mendukung warga  memperjuangkan haknya. Dugaan pencemaran oleh tambak-tambak udang  perusahaan itu sudah berlangsung lama. 

“Upaya mediasi, baik tingkat desa maupun kecamatan sudah  berulangkali, tetapi tetap saja tidak ada penyelesaian.” 

Dia  mendesak,  DPRD dan dinas terkait yang hadir dalam pertemuan  mengambil tindakan guna menyelamatkan masa depan petani.

Arif Sukoco, Ketua Kelompok Petani Masyarakat Kepanjen (KPMK) juga cerita soal pencemaran. Lahan di sekitar lokasi tambak bahkan sudah 10 tahun ini tidak produksi, tergenang air dan penuh rumput liar. 

“Begitu pula pH tanahnya, lahan pertanian dengan jarak 1.698 meter dari saluran pembuangan limbah. Menunjukkan skala angka 4,5 komponen pH tanah yang ideal seharusnya berada di angka 6,5-7,5 dari 0-14. PH tanah yang memiliki angka di bawah 6,5 menandakan sangat asam,” katanya. 

Tanah dengan pH tinggi, katanya, akan menurunkan kemampuan menyerap unsur-unsur hara yang tanaman perlukan. Begitu juga dengan salinitas (kadar garam terlarut dalam air) akan mengganggu proses fotosintesis. 

Menurut Arif, dengan kadar PH 8,3 menunjukkan kategori air alkali atau basah. Padahal, kadar air yang ideal bagi pertanian harus memiliki pH antara 5.0-7.0 (sedikit masam). kadar pH air basa dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman.

Dari berbagai komponen antara pH tanah, salinitas air serta kadar pH air menunjukkan tanah  tercemar dari berbagai aspek. Sedangkan tanaman sangat peka terhadap perkembangan ekosistem sekitar. 

“Dari data ini, mana kinerja dinas terkait ketika bicara pengawasan tambak ini. Apakah akan tetap dibiarkan begini saja? Kalau dinas terkait tidak tahu persoalan ini, tidak mungkin. Karena masyarakat sudah berkali-kali minta agar persoalan ini diselesaikan.”

Dulu, katanya, pernah ada inspeksi mendadak (sidak) dari pemerintah. Hasilnya,  tidak jelas karena pada kenyataan tambak-tambak tetap beroperasi dan pencemaran terus berlangsung. “Limbah tersebut sudah jelas bahaya, faktanya masih dibuang ke sungai dan laut. Apakah itu boleh?” 

Sampai saat ini,  tercatat ada 150-200 hektar lahan pertanian di pesisir selatan Jember terduga tercemar limbah tambak ini. Selama puluhan tahun, lahan-lahan produktif itu tak bisa menghasilkan panenan maksimal dan tanpa penyelesaian yang jelas dari pemerintah. 

Berangkat dari situasi itu, dia  meminta pemerintah menghentikan aktivitas tambak dan mencabut izin semua izin tambak di pesisir selatan Jember, terutama di Desa Kepanjen dan Mayanganda dan mengembalikan sebagai fungsi lindung. Dia juga mendesak, revisi Perda RTRW Jember yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan ekologi Jember Selatan.

Lahan pertanian warga yang diduga tercemar limbah tambak udang. Foto: dokumen warga/Mongabay Indonesia.

Ahmad Fathu Fikron Mustofa, Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Jember mengatakan, kehadiran tambak-tambak skala besar di pesisir selatan Jember meminggirkan petani dan nelayan. Dia meminta pemerintah bersikap transparan dengan membuka semua data sebaran tambak di sana.

“Masyarakat tidak bodoh. Secara kasat, bisa bedakan mana air pekat dan air jernih. Nah, air limbah itu jelas pekat, dan itu masih dikatakan sesuai regulasi dan tidak merugikan? Ini kan kacau cara berpikirnya. Coba minum air limbah itu?”

dia  meminta,  pemerintah bersikap proaktif melihat kondisi di lapangan, tidak sekadar menunggu laporan warga.

Pada 2023, PMII Jember sempat dampingi warga pesisir Getem yang terdampak tambak ilegal. Kala itu, dengan dalih investasi, Dinas Perikanan bilang tidak bisa serta merta melakukan penutupan. “Ini kan lucu. Sudah ilegal dan dikeluhkan masyarakat, masih mau bikin aturan, artinya mau melindungi. Kan kacau.”

Dua tahun sebelumnya, PMII juga dampingi warga Kepanjen yang menolak pembukaan tambak baru di bagian selatan. Alih-alih menyelesaikan persoalan, pemerintah justru mengkriminalisasi masyarakat dengan memanggil mereka karena dinilai mengganggu pelaku usaha. 

“Artinya, masyarakat dilemahkan dengan memainkan peraturan segala macam. Sudah ruang hidupnya dicemari, manusianya dikerdilkan secara psikis. Mana hati nuraninya pemerintah? Jangan hanya berpihak pada investor, lalu mengorbankan masyarakat.” 

Fidyah Yulia Sari, Penata Perizinan Ahli Muda Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jember mengatakan, sampai saat ini, ada 50 tambak udang modern di Desa Kepanjen telah mengantongi izin.

“Izin itu melalui OSS (Online Single Submission). Pemohon bisa input sendiri dan NIB terbit secara otomatis. Sementara di Mayangan ada sekitar 12-15 tambak. Izin itu bukan dari DPMPTSP yang terbitkan. Itu kewenangan dari provinsi,” katanya.

Limbah tambak udang yang dibuang ke laut di pesisir selatan Jember. Foto: dokumen warga

Apa kata pemerintah?

Indra Tri Purnomo, Kepala Dinas Perikanan Jember mengklaim telah  penataan di pesisir selatan Jember sejak dua tahun lalu, meliputi Kecamatan Puger, Gumukmas, Kencong, Ambulu, hingga Tempurejo. Kami juga memasang papan larangan, pendirian bangunan dan usaha lainnya di wilayah pesisirnya. Jadi,  kami bukan hanya merespons keluhan dari masyarakat,  juga dari sisi aturan.”

Terkait keberadaan tambak, katanya,  tidak bisa serta merta mengambil tindakan.  Mereka akan mempelajari mana saja tambak yang tak sesuai ketentuan. Kalau melanggar,  akan  memprosesnya.

Sugiyarto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jember menyatakan hal serupa. Dia bilang,  tambak DGS dan ATG yang  warga persoalkan punya  izin lengkap. Termasuk, izin pembuangan limbah cair dari Instalasi Pengolahan Air limbah (IPAL). 

Perusahaan juga rutin kirim laporan setiap enam bulan sekali. “Semester kedua 2024, disampaikan ke DLH pada 15 Januari 2025. Hasilnya, limbah di bawah baku mutu yang diperbolehkan.” 

Kendati begitu, dinas  akan menindaklanjuti informasi  berbeda dari masyarakat.  Dia malah bilang,  tidak ada larangan membuang limbah ke sungai, apalagi  perusahaan sudah mengantongi izin IPAL. 

Berbeda dengan Sigit Boedi Ismoehartono, Sekretaris Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Jember. Dia mengakui,  ada sekitar 200 hektar lahan yang produktivitas turun terus  atas dugaan terdampak limbah tambak.  Dinas TPHP, pun meminta perusahaan bertanggung jawab. “Karena itu, saya pikir, pemerintah perlu bikin tim khusus atau satgas khusus untuk bagaimana lahan ini bisa kembali produktif.”

Widarto, Wakil Ketua DPRD Jember menyarankan,  eksekutif mendata semua tambak  di pesisir Jember dan verifikasi. Berikutnya,  DLH menggandeng pihak independen untuk menguji kualitas limbah dari kedua perusahaan tersebut. Uji kualitas juga perlu dilakukan pada tanah dan sungai yang ada di sekitar area tambak. 

Pelibatan pihak independen ini penting untuk memastikan kredibilitas data yang dihasilkan. Dengan begitu, informasi  cemaran atau baku mutu, tidak hanya berasal dari laporan perusahaan. “Karena kalau dari laporan perusahaan, itu tidak fair,” katanya. 

Mongabay berusaha meminta penjelasan dari  perusahaan terkait tudingan pencemaran oleh warga itu. Helmi, penangggung jawab DGS dan ATG hanya menjawab singkat. “Sudah dibahas di rakor kecamatan.”

Sukamid,  Kepala Desa Kepanjen, mengatakan, rakor di Kantor Kecamatan Gumukmas, dapat keterangan dari ATG, bahwa, tambak-tambak lain yang tidak berizin itu, mitra-mitra mereka. Jadi yang hadir dari ATG saja.

“Rakor kemarin itu, sebenarnya ingin mendapat solusi soal laporan warga tentang pembuangan limbahnya itu katanya melanggar.  Tapi ya itu, sayangnya, yang melaporkan tidak hadir. Jadi, hasilnya, ngambang.”

Dia mengaku, sejak 2023, tidak ada tambak baru berdiri di Kepanjen. Sejak menjabat dan minta pihak-pihak pengelola tambak ikuti aturan, tak ada keluhan masyarakat kecuali baru-baru ini.

“Kami  sebenarnya juga ,meminta masyarakat memahami usaha tambak di sekitar Kepanjen. Saya terus terang, ada kedekatan dengan tambak. Tapi kedekatan ini, hanya sebagai pemerintah desa yang bertugas untuk mengontrol. Karena itu, ada wilayah Kepanjen. Nah, di rakor kemarin, saya tahu ATG dan DGS itu katanya berizin dan memenuhi amdal-nya.”

Nino Eka Putra,  Camat Gumukmas, mengatakan, sengaja gelar rakor di Kantor Kecamatan karena ada laporan dari masyarakat terkait dugaan pencemaran sungai  karena limbah tambak udang di Gumukmas.

“Tapi dari pelapor tidak bisa hadir. Dalam konfirmasi kami, karena sedang menunggu laporan yang sudah dilayangkan ke DPRD Jember. Rapat tetap kami gelar.”

Dia bilang,  mendengarkan klarifikasi dari salah satu pengelola tambak termasuk instansi terkait, seperti Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum, Polsek dan Koramil.

“Dari  DLH katakan, perusahan tambak yang dalam laporan masyarakat membuang limbahnya itu ternyata sudah punya IPAL yang sesuai aturan,” katanya, 15 Februari lalu.

Nino tidak bisa memaksakan pelapor hadir karena hak mereka.  Begitu juga Dinas Perikanan dan Perairan juga masuk undangan tetapi berhalangan hadir karena berbenturan dengan acara lain.

Dia cerita, pernah melihat dokumen perizinan dan amdal ATG dan DGS pada 2022 ketika awal sebagai Camat Gumukmas. Kala itu,  sebatas melihat tetapi tidak dapat salinan dan tak meminta. Dia pun tidak bisa memastikan dan mengukur, apakah tambak itu benar-benar menjalankan aktivitas sesuai aturan atau tidak. Selain itu, pengukuran itu di luar tugas dan wewenangnya.

“Saat rakor kemarin, saya dapat keterangan dari DLH, aduan masyarakat soal tambak sebenarnya sering diterima DLH dan berkala. Namun,  terkait perusahaan DGS yang dilaporkan itu, pengelolaan limbahnya sudah sesuai standar baku. Kata DLH, air yang diduga dicemari kemarin sudah diuji lab,” kata Nino.

Dia mengaku, kecamatan sering menerima aduan soal limbah tambak untuk berbagai hal. Sejauh ini, dia mengklaim Upaya selesaikan dengan dua hal, mediasi informal dan formal. “Mediasi itu, kami sarankan ke pihak desa dulu yang lakukan penyelesaian. Akhirnya, mereka mediasi antara masyarakat dan tambak yang dilaporkan.”

Berdasarkan pendataan Pemerintah Kecamatan Gumukmas akhir 2022, sekitar 30 tambak beroperasi di pesisir. Dari jumlah itu, hanya dua yang berizin :, ATG dan DGS.  Yang lain, kabarnya masih proses.

“Dari 30 tambak itu, ada  ada di dua desa , Mayangan dan Kepanjen. DGS di Mayangan. Selebihnya di Kepanjen.”

Nino meminta,  setiap pengaduan berkomunikasi terlebih dahulu ke pemerintah desa, baik Mayangan maupun Kepanjen.

“Kami minta masyarakat mengedepankan kerukunan dan kebersamaan. Agar situasi kondusif. Hingga, masyarakat tetap bisa beraktivitas pun dengan tambaknya. Tidak ada pihak-pihak yang bergesekan.”

Dia katakan, Kecamatan Gumukmas tak bisa berbuat banyak soal kasus limbah tambak yang warga laporkan baru-baru ini. Alasannya, kewenangan pemerintah kecamatan terbatas.

Dia pun mendesak, tambak berizin memegang teguh aturan pemerintah. Termasuk,  pelaporan berkala soal usaha maupun pemanfaatan usaha dengan sebaik-baiknya.

Nino desa, tambak belum berizin segera urus perizinan. “Kalau izin sudah diurus dan sudah keluar, segera juga sosialisasikan juga ke masyarakat. Hingga masyarakat tahu.”

Dugaan pencemaran laut dan lahan pertanian warga di Kabupatehn Jember, dampak tambak. Foto: tangkapan layar video

*****

Lingkungan Rusak, Warga Pulau Bawean Tolak Ekspansi Tambak Udang

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|