- Kabar menyedihkan datang dari Riau. Satu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) terjerat perangkap babi di Desa Tibawan, Kecamatan Rokan IV Koto, Rokan Hulu, Riau. Alih-alih menyelamatkan, sekelompok pemburu liar ini membunuh, menguliti lalu mencincang harimau malang itu.
- Enam terduga pelaku pun berhasil polisi amankan bekerja sama dengan tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
- Bermula Minggu sore, (2/3/25), sekitar pukul 17.00 WIB, BBKSDA Riau menerima laporan, satu harimau terjerat perangkap babi di hutan di Desa Tibawan. Tim BBKSDA Riau segera berkoordinasi dengan kepala desa, kepolisian, dan Babinsa untuk mengamankan lokasi sebelum tim evakuasi tiba dari Pekanbaru. Saat sampai, harimau hilang, ternyata sudah dibunuh.
- Peristiwa ini menambah panjang daftar konflik antara manusia dan satwa liar di Sumatera, khusus di Riau. Pembunuhan harimau bukan hanya persoalan hukum, juga cerminan betapa gentingnya kondisi satwa-satwa liar yang kini makin terdesak.
Kabar menyedihkan datang dari Riau. Satu harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) terjerat perangkap babi di Desa Tibawan, Kecamatan Rokan IV Koto, Rokan Hulu, Riau. Alih-alih menyelamatkan, sekelompok pemburu liar ini membunuh, menguliti lalu mencincang harimau malang itu.
Enam terduga pelaku pun berhasil polisi amankan bekerja sama dengan tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau.
Ajun Komisaris Besar Budi Setiyono, Kapolres Rokan Hulu, mengonfirmasi penangkapan itu. “Mereka semua telah ditahan,” katanya pada Selasa malam, (4/3/25).
Para pelaku, satu warga Desa Tibawan, empat dari Desa Cipang Kiri Hilir, dan satu asal Kecamatan Selayang, Pasaman Timur, Sumatera Barat.
Jerat mematikan di Tibawan
Bermula Minggu sore, (2/3/25), sekitar pukul 17.00 WIB, BBKSDA Riau menerima laporan, satu harimau terjerat perangkap babi di hutan di Desa Tibawan. Tim BBKSDA Riau segera berkoordinasi dengan kepala desa, kepolisian, dan Babinsa untuk mengamankan lokasi sebelum tim evakuasi tiba dari Pekanbaru.
Perjalanan panjang dari Pekanbaru mulai sekitar pukul 23.00 WIB. Setelah menempuh jarak hampir delapan jam, tim tiba di Tibawan Senin pagi, (3/3/25). Mereka langsung menuju lokasi bersama aparat desa, Babinsa, dan Bhabinkamtibmas gunakan kendaraan roda dua.
Namun, harimau justru sudah menghilang. Tim lalu menyisir lokasi dan menemukan bekas jeratan terputus, ranting kena bacok dengan senjata tajam, bercak dan tetesan darah pada bambu sepanjang lima meter. Juga, jejak ban mobil di sekitar lokasi menjadi petunjuk suram.

Bongkar aksi pemburu
Temuan ini kemudian mereka bahas bersama personel Polsek Rokan IV Koto, Koramil Rokan IV Koto, dan Yayasan Arsari di kantor desa. Informasi mengarah pada dugaan beberapa warga mendekati lokasi jerat sekitar pukul 22.00 WIB, malam sebelum tim penyelamat tiba.
Kecurigaan makin menguat ketika penyelidikan mengarah pada mobil Toyota Innova hitam yang mereka temukan di tempat pencucian kendaraan di Kelurahan Ujung Batu.
“Bagian belakang mobil itu banyak bekas kotoran hewan,” kata seorang petugas.
Penelusuran lebih jauh, tim lalu membuntuti, polisi menghadang mobil di Kelurahan Rokan. Tiga orang dalam mobil Rz (32), Sn (58), Lp (30) mengakui, mereka baru saja membawa harimau yang terjerat. Dengan suara terguncang, mereka menceritakan bagaimana cara bunuh satwa langka itu.
Polisi amankan mereka.
Lantas tim gabungan mengembangkan informasi untuk mendapatkan harimau yang mereka sembunyikan. Di lokasi berjarak sekitar 20 Km dari lokasi jerat, tim menemukan dua orang diduga pelaku lain Zt (54) dan Em (38), bersama harimau yang tengah dikuliti di Dusun Kubudiono, Desa Cipang Kiri Hilir.
Bagian-bagian tubuh kemudian mereka cincang dan simpan dalam karung plastik.
En (60), warga Desa Tibawan, yang mendalangi perbuatan juga aparat amankan ke Polsek Rokan IV Koto. Jadi, ada enam orang ditangkap bersama sebilah parang, dua pisau, dua utas tali jerat nilon, tulang belulang, kulit dan daging harimau. Juga, handphone, dan satu mobil untuk mengangkut bangkai harimau.
Dengan bukti-bukti itu, polisi menjerat para pelaku dengan Pasal 40 ayat 1 juncto huruf D dan E, UU Nomor 32/2004 tentang perubahan atas UU Nomor 5/1990 dengan ancaman paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun.
“Modusnya, memperdagangkan atau memperjualbelikan tulang, gigi dan kulit harimau untuk memperoleh keuntungan lebih,” kata Budi.

Tantangan konservasi harimau
Peristiwa ini menambah panjang daftar konflik antara manusia dan satwa liar di Sumatera, khusus di Riau. Pembunuhan harimau bukan hanya persoalan hukum, juga cerminan betapa gentingnya kondisi satwa-satwa liar yang kini makin terdesak.
Genman S. Hasibuan, Kepala BBKSDA Riau, kecewa dan marah. “BBKSDA Riau menyayangkan dan mengecam keras perbuatan oknum masyarakat ini, serta berkomitmen mendorong aparatur penegak hukum untuk menindak tegas sesuai peraturan perundangan yang berlaku,” katanya.
Genman juga mengimbau masyarakat agar tidak bertindak anarkis, memelihara, memburu, menyiksa dan membunuh satwa liar, terutama yang dilindungi UU.
Dia berharap, masyarakat di sekitar kantong habitat harimau turut melindungi hidup harimau, dan beradaptasi dengan keberadaannya. Juga tak memburu satwa mangsa, yang menjadi pakan alaminya.
Iding Achmad Khaidir, Ketua Forum Harimau Kita (FHK) prihatin mendalam atas kejadian tragis yang menimpa harimau ini.
Kejadian ini jadi peringatan serius bagi upaya konservasi satwa yang kini di ambang kepunahan ini.
“Kami mengapresiasi langkah cepat BBKSDA Riau, Kepolisian, TNI, dan Yayasan Arsari dalam mengungkap kasus ini serta mengamankan para pelaku beserta barang bukti,” katanya.
Namun, kejadian ini juga menunjukkan ancaman satwa liar, terutama harimau Sumatera, masih sangat tinggi. Untuk itu, perlu tindakan lebih tegas dan sistematis mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Populasi harimau di alam dipengaruhi berbagai faktor, langsung maupun tak langsung. Konflik manusia-harimau merupakan satu ancaman langsung dan terberat bagi harimau.
Pemasangan jerat dan perburuan dengan senjata, katanya, pelanggaran paling banyak ditemui. Konflik dengan manusia juga khawatir memaksa harimau keluar ke wilayah pedesaan dan menimbulkan konflik tambahan.
Sedangkan ancaman tak langsung, katanya, berupa alih fungsi hutan. Sebagian besar hutan hujan tropis di Sumatera, berubah jadi perkebunan untuk mendukung perkembangan industri.
Konversi itu, katanya, mengakibatkan berkurangnya daerah yang jadi habitat harimau. Pembangunan jalan raya dan akses hutan mengakibatkan fragmentasi hutan yang dapat meningkatkan interaksi manusia dan harimau.
Konversi lahan juga berpengaruh terhadap kelangkaan mangsa harimau.

*****
Harimau Sumatera Muncul di Agam, Potret Ruang Hidup Terganggu?