- Tingginya permintaan global akan tuna seringkali menjadi alasan mendorong penangkapan berlebihan, termasuk dengan menggunakan alat tangkap tak ramah sekalipun. Tetapi, tidak demikian dengan di Kepulauan Morotai, salah satu spot penghasil tuna Maluku Utara (Malut) yang konsisten menggunakan alat tangkap tradisional handline.
- Joppy Jutan, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Pulau Morotai sebut, apa yang ditunjukkan nelayan Morotai sebagai bentuk kearifan lokal dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya ikan (SDI). Penggunaan pancing akan membatasi upaya ekspoitasi berlebihan. Rata-rata, hanya 3-5 ekor tuna sekali melaut.
- Saat nelayan kecil konsisten menerapkan penangkapan ikan keberlanjutan, hal sebaliknya terjadi pada kapal besar jenis purse sein yang menggunakan jaring dan rumpon. Penggunaan jaring dan rumpon menjadikan ikan hasil tangkapan tak selektif. Baik dari sisi jenis maupun ukuran.
- Putra Satria Timur, Fisheries Lead MDPI sebut, massifnya penggunaan rumpon akan merugikan nelayan kecil karena tuna-tuna yang menjadi sasaran target akan terkumpul di sekitar rumpon. Data yang dikumpulkannya, nelayan kecil kini harus melaut di atas 12 hingga 50 mil.
Tingginya permintaan global tuna seringkali menjadi alasan penangkapan berlebihan, termasuk dengan pakai alat tangkap tak ramah lingkungan sekalipun. Tidak demikian dengan di Kepulauan Morotai, satu spot penghasil tuna Maluku Utara (Malut).
Menyadari pentingnya menjaga sumber daya ini, penangkapan tuna oleh nelayan tradisional dengan cara-cara sederhana yang sudah jadi kearifan lokal turun menurun. Mereka menangkap satu per satu dengan gunakan pancing ulur (handline).
Alat tangkap ini terdiri dari tali senar/benang nilon dengan mata kail berbagai ukuran, menyesuaikan target ikan yang ingin didapat. “Hampir semua nelayan disii pakai alat tangkap pancing ini,” kata Fandi Hole, nelayan tuna Morotai.
Cara penggunaan alat pancing itu pun sederhana. Nelayan cukup memasang umpan pada mata kail, lalu melepaskan langsung ke laut atau menggunakan alat bantu layang-layang. Ada juga yang menggunakan lot atau pemberat dari batu.
Nelayan asal Desa Momojiu, Morotai Timur ini sebut, praktik ini sudah berlangsung turun temurun. “Kecuali dengan alat bantu layangan, itu belajar dari nelayan tuna Sangihe, Sulawesi Utara. Itu warisan dari orang-orang tua dulu, tidak ada pakai alat tangkap lain,” katanya.
Bagi Fandi, yang nelayan praktikkan sebagai upaya menjaga kekayaan ikan tetap ada di masa depan. Dengan alat tangkap sederhana itu, ikan mereka dapat lebih selektif. Berbeda dengan kapal-kapal besar yang banyak gunakan alat tangkap tak ramah, seperti trawl dan lain-lain.
“Kalau yang kami dengar kapal besar besar itu sering menggunakan pukat harimau. Nelayan di Morotai hanya memancing dengan sistem handline yang sekali turun alat pancing hanya bisa menangkap satu ekor ikan.”

Kearifan lokal
Joppy Jutan, Kepala Dinas Perikanan Pulau Morotai mengatakan, apa yang para nelayan Morotai tunjukkan sebagai bentuk kearifan lokal dalam menjaga dan memanfaatkan sumber ikan. Alat pancing yang mereka pakai, akan membuat gerak nelayan terbatas. Rata-rata, hanya 3-5 tuna sekali melaut.
Praktik berbeda kapal-kapal besar lakukan, terutama yang mengantongi izin dari pusat. Kebanyakan dari mereka, kata Joppi, menggunakan jaring sebagai alat tangkap hingga menyebabkan hasil tangkapan tak selektif, cenderung berlebih. “Hasil tangkapannya kan tidak ada ukurannya. Semua kena. Tuna-tuna baby juga ditangkap.”
Banyak kapal dengan tonase besar masuk dengan alat tangkap tak ramah. Lemahnya pengawasan memperparah situasi itu yang akhirnya berdampak pada nelayan kecil.
“Padahal, kapal kapal ini jika menangkap ikan yang berukuran kecil, ketika dijual juga nilai jualnya kecil. Ikannya besar harganya juga mahal. Karena itu , kebijakan nasional perlu diperbaiki. Memang jumlah kapal telah diberikan tiap zona, tetapi di lapangan itu perlu ada pengawasan,” katanya.
Joppy mengatakan, sebagai komoditas unggulan, sangat penting memastikan keberlanjutan tuna. Salah satunya, menekan praktik penangkapan ikan ilegal melalui pendataan kapal, kelengkapan dokumen kapal. Mereka juga terus sosialisasi berkaitan dengan tata cara dan persyaratan produk tuna untuk tujuan ekspor ke Eropa, seperti proses mendapatkan sertifikasi Marine Steward Council (MSC).
Beberapa desa di Morotai terkenal sebagai sentral penghasil tuna di Malut. Keterlibatan Masyarakat dan perikanan Indonesia (MDPI) dan Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) berperan penting dalam membantu proses sertifikasi MSC para nelayan.
Riset Titin Sofiaty Dkk., dari Fakultas Perikanan Universitas Pasifik Morotai 2024 mengonfirmasi hal itu. Penelitian di tiga desa penghasil tuna di Morotai itu untuk mengukur tingkat keberlanjutan pemanfaatan tuna berdasar delapan parameter, antara lain, alat dan kapasitas alat tangkap .
Dari penelitian itu terungkap, para nelayan menggunakan handline dan layangan sebagai alat tangkap dengan rata-rata tangkapan di atas 20 kilogram. Kalau pun ada di bawah, tidak mendominasi.
“Nelayan masih sangat kuat mempraktikkan penangkapan ikan berkelanjutan. Karena mereka tidak menangkap ikan massif tetapi pada hanya ikan terpilih dengan alat tangkap yang sangat ramah lingkungan,” kata Titin.
MDPI yang banyak pendampingan nelayan sejak 2018 juga ungkap data serupa. Untuk mengetahui keberlanjutan tangkapan tuna, MDPI uji samping hasil tangkapan di tiga desa, yakni Daeo, Sangowo dan Bere bere. Dalam penelitiannya, MDPI mengukur satu per satu panjang, berat dan jenis tuna hasil tangkapan.
Dari 54 kapal yang melakukan pendaratan tuna, sekitar 90% memiliki berat di atas 20 kilogram setiap ekor. Sedangkan berdasar jenis, paling banyak yellow fin (sirip kuning), albacore (Thunnus alalunga) tuna mata besar ((Thunnus obesus) dan cakalang.

Penggunaan rumpon
Putra Satria Timur, Fisheries Lead MDPI mengatakan, albacore sejatinya spesies tuna yang banyak di zona perairan dingin, seperti sisi selatan Samudera Hindia atau Jepang. “Hasil identifikasi tuna jenis ini ditemukan juga di perairan Ternate, Morotai dan Sanana Maluku Utara,” katanya, seraya bilang temuan itu tak wajar.
Meskipun begitu, dia belum mengetahui lebih jauh penyebab munculnya albacore di perairan Morotai. “Bisa jadi karena perubahan suhu,” katanya .
Aktivitas memancing nelayan Morotai banyak di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715 (98%). Sisanya, di WPP 716. Hasil tangkapan harian rata-rata mencapai 64 kilogram, paling rendah, 25 kilogram. Ada juga yang mencapai 400 kilogram.
Sementara jumlah ikan tangkapan nelayan rata rata 2-3 ekor dengan ukuran di atas 20 kilogram. Ada juga sampai 13 ekor sekali trip. Yellowfin yang nelayan kecil tangkap ini mencapai 93,86% di atas 100 sentimeter, berarti sudah sudah bertelur dan memijah.
Putra bilang, penerapan keberlanjutan nelayan Morotai juga terlihat dari perlakuan mereka terhadap spesies endangered, threatened, and protected (ETP), atau terancam punah, terancam, atau dilindungi, seperti hiu atau penyu.
Hasil pengumpulan data tangkapan dari 54 kapal di desa-desa penghasil tuna tidak mendapati spesies kategori ETP mereka daratkan. “Karena saat pendampingan, nelayan juga mendapat pemahaman akan peran penting spesies ETP dalam menjaga keseimbangan ekologi.”
Penangkapan tuna nelayan kecil seperti di Morotai itu, katanya, tidak memberi ancaman keberlanjutan tuna. Karena dari segi keramahan lingkungan ikan besar semua yang mereka tangkap. “Yang jadi masalah dan ancaman, praktik pursein industri dan perusahaan.”
Abdurrahman Latif, nelayan asal Desa Bere-Bere Morotai mengatakan, kalau temukan tangkapan jenis ETP, biasa mereka lepas, terutama penyu, hiu atau jenis lain seperti lumba-lumba. “Kita sudah banyak mendapatkan informasi menyangkut ikan atau jenis yang masuk kategori ETP tersebut,” katanya.
Gambaran berbeda terjadi pada kapal jenis purse sein. Metode tangkapan dengan menggunakan jaring dan rumpon menjadikan ikan hasil tangkapan tak selektif, dari sisi jenis maupun ukuran.
Putra khawatir, penggunaan rumpon oleh kapal-kapal besar. Massifnya penggunaan rumpon, kata Putra, akan merugikan nelayan kecil karena tuna-tuna yang menjadi sasaran target nelayan kecil akan terkumpul di sekitar rumpon. “Ikan tuna akan tertahan di sana dan ikan tidak masuk sampai ke area tangkap nelayan kecil.”
Data yang mereka kumpulkan, makin kesini, aktivitas melaut nelayan kecil di Morotai kian jauh, di atas 12 mil. Beberapa bahkan mencapai 50 mil. “Ini jadi persoalan buat nelayan kecil karena berhubungan dengan penggunaan BBM semakin banyak sementara harganya juga makin mahal. Di lain sisi harga ikan begitu-begitu saja. Khawatirnya, ke depan nelayan semakin sulit.”
*****